Soal Jatah Menteri, Jokowi Tak Harus Turuti Permintaan Parpol

Senin, 07 Oktober 2019 - 13:35 WIB
Soal Jatah Menteri, Jokowi Tak Harus Turuti Permintaan Parpol
Soal Jatah Menteri, Jokowi Tak Harus Turuti Permintaan Parpol
A A A
JAKARTA - Joko Widodo (Jokowi) akan kembali dilantik sebagai Presiden untuk Periode 2019-2024 bersama KH Ma’ruf Amin sebagai wakilnya pada
20 Oktober 2019 mendatang. Seiring dengan itu, isu penyusunan kabinet baru kini menjadi perhatian publik.

Meski presiden memiliki hak istimewa dalam menentukan nama-nama pembantunya, faktanya sejumlah partai politik (parpol) terang-terangan menuntut jatan kursi menteri. Bahkan, PDIP sebagai partai utama pengusung Jokowi-Ma’ruf Amin, melalui ketua umumnya, Megawati Soekarnoputri, terang-terangan meminta jatah kursi menteri pada kabinet yang akan datang.

Saat berpidato dalam pembukaan Kongres V di Sanur, Bali, Kamis (8/8/2019) lalu, Megawati menyatakan penolakannya jika hanya diberi jatah empat kursi menteri. "Iya dong. Jangan nanti, (Jokowi bilang, red) 'Ibu Mega, saya kira karena PDIP sudah banyak kemenangan, sudah ada di (ketua) DPR, nanti saya kasih cuma 4 ya'. Emoh...! (tidak mau). Tidak mau... Tidak mau...Tidak mau...!" tegas Megawati dengan intonasi tinggi kala itu.

Tak hanya Megawati, Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar ketika ditanya wartawan soal jatah menteri beberapa waktu lalu, dengan nada bercanda mengungkapkan keinginannya untuk mendapatkan jatah 10 kursi menteri. Kini, seiring Partai Gerindra disebut-sebut berpotensi masuk kabinet. Artinya, jatah kursi untuk parpol semakin jadi rebutan. (Baca juga: Gerindra Diisukan Masuk Kabinet, Menteri Jokowi Diprediksi Penuh Warna) Direktur Eksekutif Lembaga Survei Indonesia (LSI), Djayadi Hanan mengatakan suatu hal lumrah jika parpol menuntut untuk mendapatkan sebanyak mungkin kursi menteri. Namun, sebagai pemegang hak prerogatif atau hak istimewa, Jokowi diminta tegas dan tak perlu terlalu pusing dengan tuntutan parpol.

"Presiden tegas saja. Selama ini kan begitu. Memang partai-partai pasti meminta yang tertinggi dong, tapi dengan kekuatan leadership yang dimiliki dan kewenangan yang dimiliki, dengan kekuatan dukungan publik dan kapasitas kelembagaan eksekutif di presiden, partai-partai itu tidak akan terlalu banyak bermasalah," tutur Djayadi di Jakarta, Minggu (6/10/2019).

Djayadi mengatakan, saat ini semua partai merasa perlu berada di kabinet. Sebab, mereka berkepentingan untuk agenda Pemilu 2024.
"Semua merasa lebih pas akan lebih menguntungkan berada di kabinet karena itu akan lebih memudahkan konsolidasi partai-partai ke depan. Jadi, semua partai itu berada dalam keperluan untuk memperoleh konsesi politik dari presiden berupa posisi menteri antara lain," paparnya.

Karena itu, Presiden Jokowi dinilai memiliki posisi tawar yang cukup tinggi. Mengenai kemungkinan bergabungnya partai yang dalam Pilpres 2019 berlawanan arah dukungan, Djayadi berpandangan bahwa harus ada parpol yang berada di luar pemerintahan.

"Yang sudah tegas PKS. Meski PAN belakangan mengatakan itu, tapi masih abu-abu. Jadi sebaiknya ada beberapa parpol di luar, minimal dua kalau bisa tiga," katanya. (Baca juga: Diisukan Masuk Kabinet, Gerindra Dinilai Berpeluang Dapat 3 Menteri)

Soal kemungkinan bergabungnya Partai Gerindra yang belakangan ramai diberitakan, Djayadi mengatakan bahwa presiden harus
berpikir beberapa kali. Sebab, bukan tidak mungkin masuknya parpol baru ke Koalisi Indonesia Kerja justru membuat ada parpol yang semula berada di dalam koalisi memilih untuk keluar.

"Nah itu yang harus ditimbang oleh presiden. Saya sendiri setuju kalau presiden menambah satu (parpol) karena memang secara jumlah kursi (Parlemen) di atas 60 persen dari parpol pendukung, tapi dari segi jumlah partai kan baru lima. Mengambil keputusan di DPR itu tak hanya dari jumlah kursi, tapi juga berdasarkan jumlah parpol. Kalau Anda punya hanya lima parpol, satu parpol membelot, Anda kalah. Empat lawan lima," katanya.

Karena itu, Jokowi dinilai perlu menambah satu lagi dukungan parpol demi efektivitas roda pemerintahan lima tahun ke depan. "Tapi presiden harus bisa memastikan masuknya partai itu tidak mengakibatkan keluarnya yang lain, kecuali kalau presiden menghendaki
itu," tutupnya.
(kri)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4394 seconds (0.1#10.140)