Kesaksian Jenderal Kopassus saat Timtim Lepas dari Indonesia, Suasana Mencekam, 2 Kubu Saling Bunuh

Jum'at, 30 Agustus 2024 - 06:28 WIB
loading...
Kesaksian Jenderal Kopassus...
Tentara Interfet menangkap seorang yang dicurigai anggota Milisi di Liquisa, Timtim. Foto/istimewa
A A A
JAKARTA - Timor Timur (Timtim) yang kini telah merdeka dan menjadi negara sendiri bernama Timor Leste sebelumnya merupakan bagian dari wilayah Indonesia. Pisahnya provinsi ke-27 dari pangkuan Ibu Pertiwi sampai saat ini masih meninggalkan kepedihan yang mendalam.

Tidak hanya bagi penduduk setempat yang harus meninggalkan tanah kelahirannya di Bumi Lorosae. Namun juga para prajurit TNI-Polri yang pernah menjalankan tugas di daerah tersebut. Khususnya bagi keluarga mereka yang gugur saat awal masuknya Timtim menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Letjen TNI (Purn) J. Suryo Prabowo dalam bukunya berjudul “Mengantar Provinsi Timor Timur Merdeka Menjadi Timor Leste” menceritakan bagaimana suasana mencekam di Timtim menjelang dan sesudah jajak pendapat atau referendum.



Mantan Wakil Gubernur (Wagub) Timtim ini menjadi saksi sejarah peristiwa yang terjadi di daerah tersebut. Aksi penculikan, perusakan, penembakan hingga pembunuhan antara kedua kubu yang saling berseberangan yakni, kubu pro integrasi Indonesia dan pro kemerdekaan yang dukung Falintil hampir setiap hari mewarnai kehidupan di Timtim.

Ketidakmampuan Pemerintah Indonesia dan aparat keamanan TNI-Polri memberikan jaminan keamanan ditambah kehadiran United Nations Assessment Mission on East Timor (UNAMET) yang cenderung tidak netral dan berpihak pada kubu pro kemerdekaan, membuat situasi semakin tidak kondusif.



Situasi politik nasional di Indonesia yang sedang euforia terhadap Reformasi, membuat Presiden BJ Habibie saat itu menganggap pemberian opsi referendum bagi rakyat Timtim merupakan langkah yang tepat.

Saat menghadiri acara Munas Kamar Dagang dan Industri (Kadin) pada 11 Februari 1999, Presiden BJ Habibie menegaskan akan memberikan kemerdekaan Timor Timur mulai 1 Januari 2000 agar kelak tidak lagi menjadi beban bagi Indonesia.

Kesaksian Jenderal Kopassus saat Timtim Lepas dari Indonesia, Suasana Mencekam, 2 Kubu Saling Bunuh

Anggota Aitarak milisi pro Indonesia melakukan patroli di Timtim. Foto/istimewa

“Mengenai Timtim, insya Allah pokoknya mulai 1 Januari 2000 kita tidak mengenal masalah Timtim lagi, enggak mau dipersukar oleh masalah yang sebenarnya tidak perlu ada. Jika rakyat Timtim tidak mau tawaran otonomi yang diperluas, lebih baik wilayah itu berpisah sebagai kawan. Jadi selamat jalan, you tentukan sendiri, saya tidak mau ikut campur. Saya minta saudara-saudara kita di Indonesia tidak turut campur,” ujar Habibie.

Penegasan Presiden Habibie pun langsung memicu kegelisahan di masyarakat pro integrasi di Timtim. Eksodus besar-besaran terjadi di awal Maret 1999, Tidak hanya masyarakat umum tapi seluruh Pegawai Negeri Sipil (PNS) mengungsikan keluarganya keluar dari Timtim.

Di sisi lain, kelompok pro kemerdekaan mulai berani terang-terangan melakukan perlawanan. Mereka semakin menunjukkan eksistensinya dengan melakukan intimidasi, pemerasan dari rumah ke rumah.

Aksi Penculikan, Penembakan, Pembunuhan Marak

Seorang Bintara Pembina Desa (Babinsa) di Desa Uato-Lari Viqueque gugur ditembak GPK. Begitu juga di Baucau, seorang anggota Polri asal Bali Sertu I Made Koji gugur ditembak GPK saat hendak menelepon di wartel. Termasuk seorang guru SD Abel Martin yang juga ditembak di wilayah Faturase, Bobonaro.

Merasa ditinggalkan oleh pemerintah dan rakyat Indonesia, kelompok pro integrasi mulai mengorganisasikan diri dalam kelompok perlawanan atau milisi seperti Pasukan Aitarak pimpinan Eurico Guterres di Dili, Pasukan Besi Merah Putih (BMP) pimpinan Domingus Sousa. Pasukan Pejuang Junior Merah Putih atau Bebui Junior 59 di Viqueque dipimpin Bupati Martinho Fernandez, Hadomi Merah Putih (HMP) dipimpin Bupati Manatuto Vidal Doutel Sarmento dan sebagainya.

Bentrokan antara kedua kubu yang berseberangan semakin meningkat, seorang pro kemerdekaan bernama Bendito ditembak pada 14 Februari 1999, kemudian bentrokan di Liquica Laran pada 15 Februari 1999 membuat satu orang pro kemerdekaan tewas. Selang beberapa hari kemudian bentrokan juga mengakibatkan dua orang pro kemerdekaan tewas dan satu luka.

Kesaksian Jenderal Kopassus saat Timtim Lepas dari Indonesia, Suasana Mencekam, 2 Kubu Saling Bunuh

Pasukan Interfet dikawal TNI menuju Dili dari Bandara Komora pascajajak pendapat. Foto/istimewa

Pada 24 Februari 1999, kerusuhan terjadi di Becora, Dili. Dalam bentrokan itu, dua orang pro kemerdekaan ditembak dan satu anggota TNI gugur. Bahkan, di Maubara, sebanyak 100 orang pro otonomi disandera kubu pro kemerdekaan. Tidak hanya itu, dua orang pro otonomi yang diculik di Baucau ditemukan dalam kondisi tidak bernyawa.

Di Maliana, pada 19 Maret 1999 ditemukan empat orang pro otonomi tewas ditembak. Begitu juga di Baucau, ditemukan dua jenazah anggota TNI yang diculik kubu pro kemerdekaan sejak 7 Maret 1999. Bahkan, sejak opsi II yakni kemerdekaan bagi Timtim diumumkan sampai jajak pendapat tercatat 25 orang pro otonomi tewas, tujuh orang lka dan 119 orang dilaporkan hilang, diculik, atau disandera.

Sedangkan dari pihak pro kemerdekaan 54 tewas dan dua orang terluka. Sementara dari aparat keamanan delapan prajurit TNI gugur dan satu anggota Polri gugur serta sembilan orang luka.

Sejarah Timor Timur Menjadi Bagian Indonesia

Menengok jauh ke belakang, masuknya Timor Leste menjadi bagian dari Indonesia berawal dari kekhawatiran banyak kalangan termasuk Amerika Serikat terhadap penyebaran paham komunis.

”Perang dingin Blok Barat dan Blok Timur pada era tahun 1945-1989 telah menyesatkan Indonesia karena menyerbu Timur Leste pada 7 Desember 1975,” kata mantan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Jenderal TNI (Purn) Hendropriyono.

Serbuan itu dilakukan mengacu pada teori efek domino bahwa setelah tentara komunis memenangkan peperangan terhadap Amerika Serikat (AS) di Vietnam Selatan pada 1974 maka Asia Tenggara khususnya Indonesia akan juga jatuh ke tangan kaum komunis internasional.

Proklamasi kemerdekaan Timor Leste pada 25 November 1975 terkait dengan Revolusi Bunga Anyelir yang terjadi di Portugal oleh para perwira muda tentara beraliran sosial komunis akan menjadi basis kekuatan untuk menyerang Indonesia.

Politik perang di tataran internasional yang didominasi Amerika Serikat ini mendorong pemerintah Indonesia mengambil keputusan politik untuk menyerang Timor Leste. Apalagi bantuan peralatan militer untuk memperkuat tentara Indonesia berupa pesawat tempur udara taktis Rockwell OV-10, pesawat angkut Lockheed Martin C-30, Cadillac Gage V-150 dan kendaraan lapis baja APC Commando terus mengalir.

Namun seiring perjalanan waktu dan perubahan politik internasional yang mendorong Reformasi 1998 membuat Indonesia harus melepaskan Timor Leste melalui referendum di bawah pengawasan langsung PBB.
(cip)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1005 seconds (0.1#10.140)