Tambang, Kesejahteraan Semu, dan Krisis Pangan

Rabu, 28 Agustus 2024 - 05:00 WIB
loading...
A A A
Dampak aktivitas pertambangan terhadap perairan di Halmahera juga telah direkam oleh Sarianto et al. (2016) dalam Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia. Penelitian ini menjelaskan bahwa muatan padatan tersuspensi (MPT) di perairan Halmahera Timur berada di atas nilai ambang batas yang ditetapkan KLHK sebesar kurang dari 25 mg/L. Kandungan nikel (Ni) yang berada perairan pun telah mendekati nilai ambang batas.

Bahkan data terbaru dari penelitian Perkumpulan Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER) tahun 2023 menerangkan bahwa air laut yang berbatasan langsung dengan kawasan PT Indonesia Weda Bay Industrial Park mengandung kromium heksavalen dengan konsentrasi mencapai 0,024 mg/L. Kadar konsentrasi ini telah melebihi kriteria yang ditetapkan IRMA (Initiative for Responsible Mining Assurance) sebesar 0,0044 mg/L dan PP 21 Tahun 2021 wisata bahari dan biota laut.

Fakta-fakta di atas menunjukkan bahwa keretakan (rift) akibat dari aktivitas pertambangan nikel di Kepulauan Halmahera memberikan peningkatan risiko atas krisis pangan. Tidak hanya persoalan hilangnya ketersediaan sumber pangan, tetapi aspek keamanan pangan akibat dari pencemaran lingkungan juga harus menjadi perhatian bersama.

Lantas akan muncul pertanyaan kembali atas klaim dari PBNU dan PP Muhammadiyah. Aktivitas pertambangan ramah lingkungan atau pro lingkungan seperti apa yang hendak dilaksanakan dengan menerima tawaran kebijakan ini?

Berdamai dengan Bumi

Berdamai Dengan Bumi (2023), buku terjemahan dari judul asli Making Peace with The Earth yang ditulis oleh Vandana Shiva barangkali cocok menjadi refleksi bahkan rujukan bersama. Selain memberikan gambaran penyebab dari krisis ekologis, Shiva juga menawarkan perubahan paradigma ekonomi dan politik dari yang semula hanya berorientasi pada pertumbuhan ekonomi menjadi berpusat pada kelestarian bumi.

Di Indonesia, sudah banyak tawaran yang mirip dengan pandangan Shiva salah satunya ekonomi restoratif. Ekonomi restoratif berorientasi pada pemulihan kerusakan lingkungan, kolektivitas masyarakat lokal, dan transformasi sosial-ekologis yang holistik. Strategi ekonomi restoratif diproyeksikan dapat memberi manfaat ekonomi sebesar US$7-US$30 atau setara Rp112.000-Rp480.000 pada setiap Rp16 ribu uang yang diinvestasikan.

Penerapan ekonomi restoratif secara holistik juga tidak bertentangan dengan prinsip ekonomi sirkular yang telah dilaksanakan pemerintah. Ekonomi restoratif dapat menjadi bagian dari komitmen Pemerintah Republik Indonesia dalam menurunkan emisi gas rumah kaca yang tertuang dalam Nationally Determined Contribution (NDC) Indonesia.

Inisiatif inovasi berbasis alam berupa ekonomi restoratif juga telah dilakukan oleh Lingkar Temu Kabupaten Lestari (LTKL) untuk mendorong pembangunan yang berkelanjutan. Saat ini LTKL terdiri dari sembilan kabupaten diantaranya yaitu Aceh Tamiang, Siak, Kapuas Hulu, Musi Banyuasin, Sanggau, Sintang, Gorontalo, Sigi, dan Bone Bolango.

Inisiatif-inisiatif lain mengenai pembangunan berkelanjutan seperti inilah yang seharusnya didorong dan disebarluaskan penerapannya di Indonesia. Termasuk untuk para Ormas keagamaan terbesar di Indonesia, seperti NU dan Muhammadiyah. Bukan mengembangkan energi kotor batu bara yang akan menambah kerusakan di planet bumi.
(abd)
Halaman :
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1626 seconds (0.1#10.140)