Tambang, Kesejahteraan Semu, dan Krisis Pangan

Rabu, 28 Agustus 2024 - 05:00 WIB
loading...
A A A
Kerusakan lingkungan di tingkat lokal tidak dapat terhindarkan, seperti peningkatan deforestasi hingga kontaminasi sumber air, sehingga mengancam kualitas hidup masyarakat. Aktivitas pertambangan juga meningkatkan risiko bencana ekologis misalnya banjir dan longsor, seperti peristiwa berulang yang terjadi di Gorontalo baru-baru ini.

Jatah lahan tambang yang akan diberikan kepada ormas keagamaan, termasuk PBNU dan PP Muhammadiyah paling banyak berada di Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Tengah. Lahan tambang ini merupakan eks PKP2B dari PT Arutmin Indonesia, PT Kendilo Coal Indonesia, PT Kaltim Prima Coal, PT Adaro Energy Tbk, PT Multi Harapan Utama, dan PT Kideco Jaya Agung.

Apabila meninjau kondisi saat ini, ketiga provinsi tersebut masih mengalami masalah dalam pemenuhan gizi balita sebanyak 59,6%, 34,9%, dan 33,6% penduduk. Penelitian yang diterbitkan The PRAKARSA ini juga mengungkap bahwa ketiga provinsi memiliki tingkat kejadian penyakit yang dialami atau morbiditas cukup mengkhawatirkan yaitu sekitar 49,8%, 53,8%, dan 36,2% penduduk. Kemudian masalah terhadap akses air minum layak sebesar 30,8%, 58,3% dan 73,4%.

Masalah lain bisa ditemukan dalam data Survei Kesehatan Indonesia 2023 yaitu sebanyak 23,7%, 50,8%, dan 39,8% penduduk berstatus ekonomi menengah bawah dan terbawah. Lalu prevalensi stunting masih berada di atas prevalensi stunting nasional sebesar 20,1%, 20,8%, dan 21,4% (baduta) serta 22,8%, 24,7%, dan 23,5% (balita). Jauh dari target penurunan angka stunting nasional yaitu menjadi 14% pada 2024.

Dengan begitu, industri ekstraktif khususnya pertambangan minerba memang menyumbang sekian persen dari total penerimaan negara. Namun sekaligus menyebabkan kerusakan lingkungan hidup yang masif serta berdampak terhadap kehidupan manusia dan makhluk hidup di sekitarnya. Sehingga muncul pertanyaan yaitu kesejahteraan seperti apa yang sedang dibayangkan oleh PBNU dan PP Muhammadiyah dengan menerima tawaran kebijakan ini?

Krisis atas Sumber Pangan karena Kerusakan Ekosistem

John Bellamy Foster, seorang sosiolog dan editor Monthly Review dalam bukunya yang berjudul Marx's Ecology: Materialism and Nature (2000), telah menerangkan bahwa krisis ekologi modern seperti perubahan iklim, degradasi lingkungan, dan hilangnya keanekaragaman hayati adalah manifestasi dari Keretakan Metabolik (metabolic rift). Aktivitas manusia berupa produksi kapital (ekonomi) yang tidak memperhatikan hubungannya dengan alam, telah menyebabkan keretakan (rift) dalam siklus metabolisme alam atau lingkungan.

Aktivitas pertambangan menyebabkan krisis hingga bencana ekologis akibat dari kerusakan lingkungan baik di darat maupun di laut. Krisis ekologis inilah yang akan mengancam keberadaan sumber pangan masyarakat lokal.

Contoh nyatanya bisa kita cermati melalui penelitian Transparency International Indonesia yang berjudul Industri Keruk Nikel: Korupsi Struktural dan Dampak Multi Dimensinya (2024). Penelitian ini memberikan gambaran mengenai ancaman terhadap ekosistem kehidupan khususnya terhadap sumber pangan masyarakat di Halmahera Timur dan Tengah, Maluku Utara.

Pertama, tambang nikel telah menyebabkan perubahan lanskap tutupan lahan berupa penggundulan hutan yang berakibat pada bencana banjir bandang hingga perubahan ekosistem sungai. Banjir yang terjadi tiap tahun membuat lahan-lahan pertanian produktif tergenang air sehingga mengalami gagal panen.

Penggundulan lahan dan kerusakan sungai seperti Sungai Gemaf, Sungai Ake Sade, dan Sungai Ake Waleh di Halmahera Tengah, telah menghilangkan ketersediaan sumber pangan baik yang berada di hutan maupun sungai tersebut. Padahal sebagian besar masyarakat menggantungkan sumber pangan dari lahan-lahan pertanian, hutan dan sungai.

Kedua, sedimentasi akibat pembukaan lahan hutan dan limbah dari aktivitas tambang nikel telah mencemari perairan baik sungai maupun laut. Misalnya Sungai Sagea yang terhubung langsung ke laut. Akibatnya, biota yang hidup di dalam ekosistem sungai dan laut pun mati. Masyarakat yang juga berprofesi sebagai nelayan tidak bisa lagi menangkap ikan dari sungai dan laut.
Halaman :
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2875 seconds (0.1#10.140)