Esoterika Rayakan Arbain Antariman, Denny JA Kutip Kata-kata Sayyidina Ali

Minggu, 25 Agustus 2024 - 11:08 WIB
loading...
Esoterika Rayakan Arbain...
Ketua Esoterika Forum Spiritualitas, Denny JA memulai pidatonya dengan kutipan Sayyidina Ali. Foto/Istimewa
A A A
TANGERANG SELATAN - Esoterika Forum Spiritualitas merayakan Arbain Antariman dengan penuh khidmat di Function Room Countrywoods, Ciputat pada Sabtu (24/8/2024). Perayaan ini bertujuan untuk memperkuat pemahaman dan toleransi di tengah keberagaman dengan Budhy Munawar Rachman sebagai moderator dan Agus Abubakar Arsal serta Alimatul Qibtiyah sebagai narasumber.

Acara ini juga dihadiri oleh puluhan peserta untuk menjelajahi makna mendalam dari peristiwa Karbala. Ketua Esoterika Forum Spiritualitas, Denny JA memulai pidatonya dengan kutipan Sayyidina Ali. Kutipan ini datang dari sekitar 14 abad yang lalu, tapi masih sangat relevan, bahkan semakin relevan lagi hingga saat ini.



"Mereka yang bukan saudaramu seiman, tetaplah mereka saudaramu dalam kemanusiaan. Setiap manusia dengan demikian adalah saudaramu, jika tidak seiman, minimal dia adalah saudaramu dalam satu kemanusiaan," ujar Denny JA dikutip, Minggu (25/8/2024).

Dia menuturkan Sayyidina Ali mengucapkan ini pada tahun 657, ketika ia menunjuk Malik al-Ashtar menjadi Gubernur Mesir. Saat itu, Mesir tidak seperti sekarang, Mesir saat itu terdiri dari banyak sekali rakyat yang tidak hanya beragama Muslim, tapi juga beragama non Muslim. Sayyidina Ali memberikan panduan bagaimana Malik al-Ashtar harus menjadi seorang penguasa yang adil.

Ia diangkat untuk menjadi penguasa di satu teritori, tetapi di teritori itu tidak hanya ada orang Islam, tapi juga ada penganut agama lainnya. Sebagai penguasa, pastikan ia bertindak adil untuk semua, apa pun agamanya. Sebagai penguasa, pastiknya ia tidak hanya menolong yang Muslim tapi juga menolong yang non Muslim.

"Ini adalah panduan menjadi penguasa yang menjaga rasa keadilan apa pun agamanya. Untuk ukuran abad ke-7, gagasan ini sangat mencerahkan dan luar biasa maju. Bahkan, gagasan ini tetap relevan dan mencerahkan hingga abad ke-21, abad digital dan kecerdasan buatan," papar Denny.

Berdasarkan data, kata dia, tidak semua penguasa saat ini mampu memberikan perlakuan yang sama dan adil kepada warga negaranya. "Saya mulai ini dengan data. Ini data dari Pew Research Center tahun 2018. Data ini menunjukkan bahwa berbagai agama sekarang ini, berbagai penganut agama sekarang ini, mengalami diskriminasi dan persekusi di negaranya sendiri. Untuk umat Kristen, menurut laporan tahun 2018, mereka mengalami harassment, kekerasan, persekusi, dan diskriminasi di 145 negara," jelasnya.

Sementara, lanjut Denny, mereka yang Muslim mengalami persekusi dan kekerasan di 139 negara dan mereka yang Yahudi mengalami kekerasan, persekusi, dan diskriminasi di 88 negara. Sesuai dengan populasi penduduk di dunia saat ini, orang Kristen jumlahnya sekitar 31% dari total populasi, paling banyak dan juga paling banyak mengalami diskriminasi.

Sementara Muslim itu 24%, sementara yang Yahudi itu hanya 0,2%. Kini di tahun 2021, bentuk diskriminasinya dan persekusinya diukur secara lebih bervariasi lagi.

Lembaga seperti Pew Research Center ini membagi dua bentuk persekusi dan diskriminasi yang ada. Pertama, yang dilakukan oleh pemerintah, yang disebut Government Restriction. Kedua, yang dilakukan oleh masyarakat sendiri yang disebut Social Hostility atau permusuhan yang dilakukan oleh masyarakat.

Pada tahun 2021, Government Restriction atau pembatasan dan diskriminasi yang dilakukan pemerintah, terjadi di 57 negara. Sementara, Social Hostility atau permusuhan sosial terjadi di 91 negara.

"Kita lihat di sini bahwa ternyata memang jumlah permusuhan sosial terjadi di lebih banyak negara. Pemerintah yang melakukan diskriminasi dan pembatasan hanya di 57 negara, tetapi Social Hostility terjadi di 91 negara. Jadi, kadang-kadang kita mengalami satu persekusi, diskriminasi, dan kekerasan lebih banyak datang dari masyarakatnya sendiri," jelasnya.

Riset ini juga mencoba mengeksplorasi karakter negara yang melakukan diskriminasi. Data menunjukkan bahwa diskriminasi lebih banyak terjadi di negara-negara non demokratis, karena di negara demokratis, kultur mengenai persamaan warga negara dan hak asasi manusia lebih dihargai.

Diskriminasi ini juga lebih banyak terjadi di negara yang rata-rata pendidikannya lebih rendah karena semakin tinggi pendidikan, semakin tinggi pula eksposur terhadap keberagaman dan hak asasi manusia. Juga lebih banyak terjadi di negara-negara yang miskin secara ekonomi, karena semakin kaya negara tersebut, biasanya semakin tinggi pula tingkat pendidikan dan eksposur terhadap kosmopolitanisme dunia serta hak asasi manusia.

"Di sini kita melihat bahwa sikap yang menganggap mereka yang berbeda secara iman juga adalah saudara dalam kemanusiaan, tidak hanya dijamin oleh pribadi yang meyakininya, tetapi juga lebih dijamin oleh negara yang lebih demokratis, negara yang memiliki tingkat pendidikan lebih tinggi, dan negara yang lebih kaya secara ekonomi," jelasnya.

Dengan demikian, kata Denny JA, jika kita mengharapkan satu masyarakat yang lebih menghargai hak asasi manusia dan perbedaan agama, maka kita perlu mendorong lebih banyak pemimpin yang mengapresiasi hal tersebut. Kita juga perlu mendorong negara kita untuk menjadi lebih demokratis, meningkatkan akses pendidikan tinggi, dan memperkaya negara kita secara ekonomi.

"Itulah cara kita membaca data statistik. Di Indonesia sendiri, persekusi masih sering terjadi, bahkan setelah reformasi. Ini berita di tahun 2023 yang membuat kita terluka membacanya, kisah di Sampang. Diberitakan bahwa ratusan penganut Syiah bisa kembali ke Sampang pada tahun 2023, sebelas tahun setelah diusir dari tanah kelahirannya sendiri pada tahun 2012."

"Mereka dipaksa pergi hanya karena mereka meyakini ajaran Syiah. Kini, sebelas tahun kemudian, mereka hanya boleh kembali jika meninggalkan keyakinan Syiahnya. Sebagian besar dari mereka menerima syarat itu dan kembali ke Sampang setelah meninggalkan keyakinan Syiah," sambungnya.

Menurutnya, ini adalah contoh di negara kita sendiri, betapa memilih satu keyakinan sesuai hati nurani—yang kebetulan Syiah—berisiko diusir dari tanah kelahirannya sendiri. Ini tidak hanya terjadi pada Syiah, tetapi juga terjadi pada Ahmadiyah.

"Teman-teman Ahmadiyah diusir dari Mataram pada tahun 2001 dan dipaksa hidup di pengungsian. Kini, pada tahun 2024, 23 tahun sudah berlalu, sebagian dari mereka masih hidup di pengungsian karena menolak pindah agama. Bahkan, sebagian menyatakan, "Bapak Ibu sekalian, jika kalian tidak bisa menerima kami dan keyakinan kami, maka kuburlah kami hidup-hidup."," terangnya.

Dia mengatakan Forum Esoterica dibangun dengan semangat yang berbeda, dengan semangat mewarisi spirit Sayyidina Ali bahwa semua warga negara Indonesia, bahkan juga di luar Indonesia, walaupun mereka bukan seiman, mereka adalah saudara dalam kemanusiaan. Oleh karena itu, di Esoterika, hampir setiap bulan kita berjumpa untuk merayakan hari-hari besar agama dan kepercayaan yang tumbuh di Indonesia.

"Kita meyakini bahwa semua agama dan kepercayaan adalah warisan kultural milik kita bersama. Bagi yang meyakini satu agama itu sebagai wahyu, kita hormati. Bagi yang tidak meyakininya, agama tetap kita anggap sebagai warisan kultural yang berharga untuk kemanusiaan kita," katanya.

Oleh karena itu, pihaknya merayakannya sebagai social gathering. Satu hari agama yang suci bagi penganut agama lain, walaupun kita tidak meyakininya, tetap kita rayakan bersama, bukan ritusnya, tapi sebagai social gathering karena itu mengakrabkan kita sebagai warga negara.

Di forum ini, papar Denny, sudah merayakan berbagai hari besar agama, mulai dari agama Konghucu, Islam, Kristen, hingga agama Baha'i, Brahma Kumaris, Buddha, dan Ahmadiyah. "Sekarang kita merayakan bersama teman-teman dari Syiah, yang di bulan ini merayakan Arbain, yaitu hari besar agama yang dicatat sebagai salah satu perkumpulan manusia paling besar dalam sejarah," ucapnya. Baca juga: 4 Fakta Menarik Irjen Pol Abdul Karim, Kadiv Propam Polri yang Ahli di Bidang Reserse

Dalam kesempatan ini, Agus Abubakar Arsal juga menyampaikan pandangannya tentang agama dan peringatan Arbain. "Seandainya saya bergaul dulu dengan orang Islam, saya tidak akan masuk Islam. Untung saya belajar Quran dulu jadi Islam. Islam kita mengalami distorsi," katanya.

Selain itu, Alimatul Qibtiyah juga memberikan penjelasan mendalam tentang makna Arbain. "Perayaan Arbain mempunyai makna yang mendalam. Bagi Syiah, Arbain adalah hari besar yang diperingati dengan berjalan kaki dari berbagai daerah, melibatkan semua umur dan tidak eksklusif," jelasnya.
(kri)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.0974 seconds (0.1#10.140)