Dinamika Hubungan AS-China dalam Konteks Pemilu AS dan Kebijakan LN
loading...
A
A
A
Harryanto Aryodiguno, Ph.D
Dosen Hubungan Internasional President University
HUBUNGAN antara Amerika Serikat dan China berada pada titik yang paling tegang sejak awal 1960-an, dengan ketegangan yang diprediksi akan semakin meningkat kecuali kedua negara mengambil langkah-langkah konkret yang saat ini belum terlihat. Ketegangan ini telah berkembang selama bertahun-tahun dan memiliki berbagai penyebab yang kompleks, mulai dari dinamika politik domestik hingga kebijakan luar negeri yang saling bertentangan.
Pemilu presiden AS yang semakin mendekat menambah dimensi baru dalam ketegangan ini. Di satu sisi, perkembangan dalam pemilu AS menjadi perhatian utama bagi Beijing, yang memandang hasil pemilu sebagai faktor krusial yang akan membentuk kebijakan Washington terhadap China.
Di sisi lain, kebijakan luar negeri AS terhadap China, yang semakin keras dalam beberapa tahun terakhir, menjadi isu penting dalam kampanye politik domestik AS, mencerminkan konsensus bipartisan bahwa China adalah tantangan strategis utama bagi kepentingan Amerika. Kebijakan China dalam Menghadapi Pemilu AS China mengamati dengan seksama dinamika politik di Washington, terutama dalam konteks pemilu presiden AS.
Sejak naiknya Xi Jinping sebagai pemimpin pada tahun 2012 dan Donald Trump pada 2017, hubungan bilateral kedua negara semakin memburuk dengan cepat. Trump memulai dengan kebijakan yang agresif, mengidentifikasi China sebagai ”kekuatan revisionis” dan pesaing strategis, yang dianggap sebagai ancaman terhadap cara hidup Amerika.
Pendekatan ini memperlihatkan pergeseran dari era sebelumnya yang lebih kooperatif, di mana AS dan China terlibat dalam ”keterlibatan konstruktif” yang didasarkan pada keuntungan strategis, ekonomi, dan budaya bersama. Namun, meskipun ada perubahan administrasi di Washington dengan terpilihnya Joe Biden, kebijakan AS terhadap China tidak mengalami perubahan mendasar. Bahkan, dalam beberapa aspek, kebijakan ini menjadi lebih keras.
Bagi Beijing, perkembangan ini menunjukkan bahwa siapa pun yang menang dalam pemilu AS mendatang, Washington cenderung melanjutkan sikap konfrontatif terhadap China. Sebagai respons, China memperkuat kebijakan dalam negeri yang menekankan pada kontrol sosial yang ketat dan meningkatkan ketahanan terhadap pengaruh eksternal, yang mencerminkan kekhawatiran terhadap upaya AS untuk memengaruhi stabilitas domestik di China.
Pengaruh Kebijakan AS terhadap China
Di sisi lain, kebijakan luar negeri AS terhadap China tidak hanya dipengaruhi oleh pertimbangan geopolitik, tetapi juga oleh dinamika politik domestik. Partai Republik, di bawah kepemimpinan Trump, memperkenalkan kebijakan ”America First” yang berfokus pada kepentingan ekonomi dan keamanan nasional Amerika, yang berdampak langsung pada peningkatan tarif dan hambatan perdagangan dengan China.
Kebijakan ini mencerminkan keprihatinan yang mendalam di kalangan pemilih AS terhadap globalisasi dan dampaknya terhadap pekerjaan dan keamanan nasional. Meskipun pemerintahan Biden mencoba mengambil pendekatan yang berbeda dengan
menekankan pada ”kebijakan luar negeri untuk kelas menengah” pada dasarnya kebijakan ini tetap didorong oleh kepentingan domestik yang sama seperti yang terlihat pada era Trump.
Washington terus melihat China sebagai pesaing utama yang harus dikendalikan, bukan hanya dalam konteks ekonomi, tetapi juga dalam bidang teknologi, militer, dan pengaruh global. Ini tercermin dalam berbagai kebijakan yang diadopsi oleh pemerintahan Biden, termasuk peningkatan aliansi strategis di kawasan Indo-Pasifik dan upaya untuk membatasi pengaruh China di organisasi internasional.
Implikasi Kebijakan Luar Negeri bagi Hubungan AS-China
Dalam konteks ini, hubungan antara AS dan China semakin terlihat sebagai permainan zero-sum, di mana setiap langkah satu pihak dianggap sebagai ancaman eksistensial oleh pihak lainnya. Di Beijing, langkah-langkah AS dipandang sebagai bagian dari
strategi yang lebih besar untuk menahan kebangkitan China dan mungkin, dalam jangka panjang, untuk menggulingkan Partai Komunis China.
Sebaliknya, di Washington, tindakan Beijing sering dilihat sebagai upaya untuk menggantikan AS sebagai kekuatan dominan di dunia, yang memaksa AS untuk memperkuat aliansi dan menegaskan kembali kehadiran militernya di Asia.
Persepsi ini mendorong kedua negara ke dalam spiral ketegangan yang semakin dalam, di mana setiap langkah untuk memperkuat posisi strategis dianggap sebagai tindakan bermusuhan oleh pihak lain. Misalnya, peningkatan kehadiran militer AS di kawasan Indo-Pasifik dianggap oleh Beijing sebagai ancaman langsung terhadap keamanan nasionalnya, sementara tindakan China di Laut China Selatan dan dukungannya terhadap Rusia dalam invasi ke Ukraina dipandang oleh AS sebagai upaya untuk menantang tatanan internasional yang dipimpin AS.
Kesimpulan dan Rekomendasi
Melihat perkembangan ini, menjadi jelas bahwa hubungan AS-China berada dalam situasi yang sangat rapuh dan berbahaya. Keduanya membutuhkan pendekatan yang lebih hati-hati dan terukur dalam mengelola hubungan mereka, dengan tujuan untuk
menghindari konflik terbuka dan menemukan cara untuk hidup berdampingan dalam kompetisi yang terikat aturan.
Di sisi lain, Washington perlu mempertimbangkan kembali pendekatannya yang terlalu berfokus pada ancaman dan lebih banyak mencari peluang untuk kerja sama yang produktif, terutama dalam menghadapi tantangan global seperti perubahan iklim dan pandemi.
Untuk jangka panjang, stabilitas hubungan AS-China tidak hanya akan ditentukan oleh siapa yang memenangkan pemilu presiden AS, tetapi juga oleh kemampuan kedua negara untuk menyesuaikan kebijakan mereka dalam menghadapi realitas multipolaritas di Asia dan dunia. Jika tidak, dunia mungkin akan menyaksikan periode panjang ketidakstabilan global yang dapat membawa dampak negatif bagi kedua negara dan seluruh komunitas internasional.
Dosen Hubungan Internasional President University
HUBUNGAN antara Amerika Serikat dan China berada pada titik yang paling tegang sejak awal 1960-an, dengan ketegangan yang diprediksi akan semakin meningkat kecuali kedua negara mengambil langkah-langkah konkret yang saat ini belum terlihat. Ketegangan ini telah berkembang selama bertahun-tahun dan memiliki berbagai penyebab yang kompleks, mulai dari dinamika politik domestik hingga kebijakan luar negeri yang saling bertentangan.
Pemilu presiden AS yang semakin mendekat menambah dimensi baru dalam ketegangan ini. Di satu sisi, perkembangan dalam pemilu AS menjadi perhatian utama bagi Beijing, yang memandang hasil pemilu sebagai faktor krusial yang akan membentuk kebijakan Washington terhadap China.
Di sisi lain, kebijakan luar negeri AS terhadap China, yang semakin keras dalam beberapa tahun terakhir, menjadi isu penting dalam kampanye politik domestik AS, mencerminkan konsensus bipartisan bahwa China adalah tantangan strategis utama bagi kepentingan Amerika. Kebijakan China dalam Menghadapi Pemilu AS China mengamati dengan seksama dinamika politik di Washington, terutama dalam konteks pemilu presiden AS.
Sejak naiknya Xi Jinping sebagai pemimpin pada tahun 2012 dan Donald Trump pada 2017, hubungan bilateral kedua negara semakin memburuk dengan cepat. Trump memulai dengan kebijakan yang agresif, mengidentifikasi China sebagai ”kekuatan revisionis” dan pesaing strategis, yang dianggap sebagai ancaman terhadap cara hidup Amerika.
Pendekatan ini memperlihatkan pergeseran dari era sebelumnya yang lebih kooperatif, di mana AS dan China terlibat dalam ”keterlibatan konstruktif” yang didasarkan pada keuntungan strategis, ekonomi, dan budaya bersama. Namun, meskipun ada perubahan administrasi di Washington dengan terpilihnya Joe Biden, kebijakan AS terhadap China tidak mengalami perubahan mendasar. Bahkan, dalam beberapa aspek, kebijakan ini menjadi lebih keras.
Bagi Beijing, perkembangan ini menunjukkan bahwa siapa pun yang menang dalam pemilu AS mendatang, Washington cenderung melanjutkan sikap konfrontatif terhadap China. Sebagai respons, China memperkuat kebijakan dalam negeri yang menekankan pada kontrol sosial yang ketat dan meningkatkan ketahanan terhadap pengaruh eksternal, yang mencerminkan kekhawatiran terhadap upaya AS untuk memengaruhi stabilitas domestik di China.
Pengaruh Kebijakan AS terhadap China
Di sisi lain, kebijakan luar negeri AS terhadap China tidak hanya dipengaruhi oleh pertimbangan geopolitik, tetapi juga oleh dinamika politik domestik. Partai Republik, di bawah kepemimpinan Trump, memperkenalkan kebijakan ”America First” yang berfokus pada kepentingan ekonomi dan keamanan nasional Amerika, yang berdampak langsung pada peningkatan tarif dan hambatan perdagangan dengan China.
Kebijakan ini mencerminkan keprihatinan yang mendalam di kalangan pemilih AS terhadap globalisasi dan dampaknya terhadap pekerjaan dan keamanan nasional. Meskipun pemerintahan Biden mencoba mengambil pendekatan yang berbeda dengan
menekankan pada ”kebijakan luar negeri untuk kelas menengah” pada dasarnya kebijakan ini tetap didorong oleh kepentingan domestik yang sama seperti yang terlihat pada era Trump.
Washington terus melihat China sebagai pesaing utama yang harus dikendalikan, bukan hanya dalam konteks ekonomi, tetapi juga dalam bidang teknologi, militer, dan pengaruh global. Ini tercermin dalam berbagai kebijakan yang diadopsi oleh pemerintahan Biden, termasuk peningkatan aliansi strategis di kawasan Indo-Pasifik dan upaya untuk membatasi pengaruh China di organisasi internasional.
Implikasi Kebijakan Luar Negeri bagi Hubungan AS-China
Dalam konteks ini, hubungan antara AS dan China semakin terlihat sebagai permainan zero-sum, di mana setiap langkah satu pihak dianggap sebagai ancaman eksistensial oleh pihak lainnya. Di Beijing, langkah-langkah AS dipandang sebagai bagian dari
strategi yang lebih besar untuk menahan kebangkitan China dan mungkin, dalam jangka panjang, untuk menggulingkan Partai Komunis China.
Sebaliknya, di Washington, tindakan Beijing sering dilihat sebagai upaya untuk menggantikan AS sebagai kekuatan dominan di dunia, yang memaksa AS untuk memperkuat aliansi dan menegaskan kembali kehadiran militernya di Asia.
Persepsi ini mendorong kedua negara ke dalam spiral ketegangan yang semakin dalam, di mana setiap langkah untuk memperkuat posisi strategis dianggap sebagai tindakan bermusuhan oleh pihak lain. Misalnya, peningkatan kehadiran militer AS di kawasan Indo-Pasifik dianggap oleh Beijing sebagai ancaman langsung terhadap keamanan nasionalnya, sementara tindakan China di Laut China Selatan dan dukungannya terhadap Rusia dalam invasi ke Ukraina dipandang oleh AS sebagai upaya untuk menantang tatanan internasional yang dipimpin AS.
Kesimpulan dan Rekomendasi
Melihat perkembangan ini, menjadi jelas bahwa hubungan AS-China berada dalam situasi yang sangat rapuh dan berbahaya. Keduanya membutuhkan pendekatan yang lebih hati-hati dan terukur dalam mengelola hubungan mereka, dengan tujuan untuk
menghindari konflik terbuka dan menemukan cara untuk hidup berdampingan dalam kompetisi yang terikat aturan.
Di sisi lain, Washington perlu mempertimbangkan kembali pendekatannya yang terlalu berfokus pada ancaman dan lebih banyak mencari peluang untuk kerja sama yang produktif, terutama dalam menghadapi tantangan global seperti perubahan iklim dan pandemi.
Untuk jangka panjang, stabilitas hubungan AS-China tidak hanya akan ditentukan oleh siapa yang memenangkan pemilu presiden AS, tetapi juga oleh kemampuan kedua negara untuk menyesuaikan kebijakan mereka dalam menghadapi realitas multipolaritas di Asia dan dunia. Jika tidak, dunia mungkin akan menyaksikan periode panjang ketidakstabilan global yang dapat membawa dampak negatif bagi kedua negara dan seluruh komunitas internasional.
(poe)