Membaca Terorisme Lewat Perspektif Pendekatan Lunak-Nonpro Justitia
loading...
A
A
A
Habitus Hamidin Aji Amin
Dalam menulis kita pasti pernah mengalami titik jenuh dan bosan. Tidak bisa menulis apa pun, tidak ada satu kalimat pun yang bisa terangkai. Namun sepertinya tidak demikian bagi Mahidin Aji Amin. Kentara sekali, kehadiran buku ini sebagai cerminan kegigihan dan gairah Mahidin dalam menulis. Sesibuk apapun, purnawirawan polisi yang juga praktisi penanganan terorisme ini enteng saja menulis. Menulis seperti sudah menjadi nafas hidup Hamidin.
Ide menulis bisa datang dari mana saja, dari penglihatan, pendengaran, bahkan perasaan. Ide atau gagasan tersebut harus diikat dengan segera menuliskannya, atau kapan saja pada saat ada kesempatan agar gagasan yang melintas tidak menguap begitu saja. Sepertinya kebiasaan itulah yang kerap dilakukan Hamidin Aji Amin, hingga tak heran jika tulisan-tulisannya banyak bertebaran terutama di media massa, dan bahkan ia bukukan yang salah satunya berjudul “Wajah Baru Terorisme”.
Menghasilkan sebuah karya berupa tulisan apalagi buku akan menjadi jejak sejarah. Dengan menulis seseorang dapat dikenal oleh masyarakat dan dikenang dalam sejarah keumatan manusia. Dan sejatinya kehidupan mulai dari bangun tidur sampai tidur lagi dapat menjadi cerita yang asyik untuk ditulis. Menulis adalah ungkapan jiwa, sarana mengekspresikan diri, dan menuangkan kegelisahan. Menulis juga tak harus baku, disesuaikan saja dengan kemampuan dan karakteristik kita.
Dalam sosiologi, ada istilah habitus--cara orang memandang dan merespons dunia sosial yang mereka tinggali, melalui kebiasaan, keterampilan, dan watak pribadi mereka. Orang-orang dengan latar belakang budaya yang sama (kelas sosial, agama, dan kebangsaan, kelompok etnis, pendidikan, dan profesi) berbagi kebiasaan sebagai cara budaya kelompok dan sejarah pribadi membentuk pikiran seseorang; akibatnya, kebiasaan seseorang mempengaruhi dan membentuk tindakan sosial orang tersebut.
Menggunakan istilah filsuf Prancis, Pierre Boudiue, habitus adalah nilai-nilai sosial yang dihayati seseorang, terbentuk melalui pergulatan hidup yang panjang, lalu secara laten membentuk watak, ciri, dan perilaku orang tersebut. Habitus begitu kuat tertanam sehingga secara refleks akan mengarahkan bagaimana seseorang bersikap dan memandang permasalahan. Sepertinya, habitus inilah yang menjelma di diri dan perilaku Hamidin Aji Amin, baik sebagai anggota polisi (meski sudah purnawirawan) maupun sebagai praktisi penanganan terorisme sekaligus sebagai seseorang yang senang menulis.
baca juga: Semua Harus Terlibat Mengatasi Terorisme
Lewat buku yang ditulisnya ini, Hamidin memberi gambaran tentang bagaimana seorang mesti berkiprah, setelah tidak lagi menekuni profesinya (sebagai polisi). Apa yang mesti dilakukan? Sejauh mana mentalitas dan sentuhan seorang yang dulunya pernah menjadi polisi tetap bisa menjaga mentalitasnya ketika ia bergerak di ruang-ruang baru? Bagaimana laku yang bertumpu pada kedisiplinan dan insting sebagai aparat penegak hukum tetap dipertahankan ketika melibatkan diri dalam perbincangan publik, terutama terkait tentang penanganan aksi kejahatan dalam hal ini terorisme.
Hamidin menyampaikan, bahwa bukunya ini merupakan kumpulan tulisan yang dihimpun dari catatan-catatannya. Waktu yang paling banyak digunakan untuk menyelesaikan buku ini adalah saat ia menduduki jabatan sebagai Deputi Kerjasama Internasional BNPT. Dalam perjalanan menuju dan pulang dari negara-negara Afrika, Eropa, Amerika, Asia, salah satunya Tiongkok, dan berbagai negara lain.
Kerap kali Hamidin menggunakan waktu di atas pesawat untuk menyelesaikan satu persatu tulisannya. Dan tentunya, bagi yang senang bepergian dan hobi menulis, terlebih yang rajin membuat catatan, kebiasaan Hamidin ini-yang senantiasa menyempatkan waktu untuk menulis positif sekali untuk ditiru.
Dalam menulis kita pasti pernah mengalami titik jenuh dan bosan. Tidak bisa menulis apa pun, tidak ada satu kalimat pun yang bisa terangkai. Namun sepertinya tidak demikian bagi Mahidin Aji Amin. Kentara sekali, kehadiran buku ini sebagai cerminan kegigihan dan gairah Mahidin dalam menulis. Sesibuk apapun, purnawirawan polisi yang juga praktisi penanganan terorisme ini enteng saja menulis. Menulis seperti sudah menjadi nafas hidup Hamidin.
Ide menulis bisa datang dari mana saja, dari penglihatan, pendengaran, bahkan perasaan. Ide atau gagasan tersebut harus diikat dengan segera menuliskannya, atau kapan saja pada saat ada kesempatan agar gagasan yang melintas tidak menguap begitu saja. Sepertinya kebiasaan itulah yang kerap dilakukan Hamidin Aji Amin, hingga tak heran jika tulisan-tulisannya banyak bertebaran terutama di media massa, dan bahkan ia bukukan yang salah satunya berjudul “Wajah Baru Terorisme”.
Menghasilkan sebuah karya berupa tulisan apalagi buku akan menjadi jejak sejarah. Dengan menulis seseorang dapat dikenal oleh masyarakat dan dikenang dalam sejarah keumatan manusia. Dan sejatinya kehidupan mulai dari bangun tidur sampai tidur lagi dapat menjadi cerita yang asyik untuk ditulis. Menulis adalah ungkapan jiwa, sarana mengekspresikan diri, dan menuangkan kegelisahan. Menulis juga tak harus baku, disesuaikan saja dengan kemampuan dan karakteristik kita.
Dalam sosiologi, ada istilah habitus--cara orang memandang dan merespons dunia sosial yang mereka tinggali, melalui kebiasaan, keterampilan, dan watak pribadi mereka. Orang-orang dengan latar belakang budaya yang sama (kelas sosial, agama, dan kebangsaan, kelompok etnis, pendidikan, dan profesi) berbagi kebiasaan sebagai cara budaya kelompok dan sejarah pribadi membentuk pikiran seseorang; akibatnya, kebiasaan seseorang mempengaruhi dan membentuk tindakan sosial orang tersebut.
Menggunakan istilah filsuf Prancis, Pierre Boudiue, habitus adalah nilai-nilai sosial yang dihayati seseorang, terbentuk melalui pergulatan hidup yang panjang, lalu secara laten membentuk watak, ciri, dan perilaku orang tersebut. Habitus begitu kuat tertanam sehingga secara refleks akan mengarahkan bagaimana seseorang bersikap dan memandang permasalahan. Sepertinya, habitus inilah yang menjelma di diri dan perilaku Hamidin Aji Amin, baik sebagai anggota polisi (meski sudah purnawirawan) maupun sebagai praktisi penanganan terorisme sekaligus sebagai seseorang yang senang menulis.
baca juga: Semua Harus Terlibat Mengatasi Terorisme
Lewat buku yang ditulisnya ini, Hamidin memberi gambaran tentang bagaimana seorang mesti berkiprah, setelah tidak lagi menekuni profesinya (sebagai polisi). Apa yang mesti dilakukan? Sejauh mana mentalitas dan sentuhan seorang yang dulunya pernah menjadi polisi tetap bisa menjaga mentalitasnya ketika ia bergerak di ruang-ruang baru? Bagaimana laku yang bertumpu pada kedisiplinan dan insting sebagai aparat penegak hukum tetap dipertahankan ketika melibatkan diri dalam perbincangan publik, terutama terkait tentang penanganan aksi kejahatan dalam hal ini terorisme.
Hamidin menyampaikan, bahwa bukunya ini merupakan kumpulan tulisan yang dihimpun dari catatan-catatannya. Waktu yang paling banyak digunakan untuk menyelesaikan buku ini adalah saat ia menduduki jabatan sebagai Deputi Kerjasama Internasional BNPT. Dalam perjalanan menuju dan pulang dari negara-negara Afrika, Eropa, Amerika, Asia, salah satunya Tiongkok, dan berbagai negara lain.
Kerap kali Hamidin menggunakan waktu di atas pesawat untuk menyelesaikan satu persatu tulisannya. Dan tentunya, bagi yang senang bepergian dan hobi menulis, terlebih yang rajin membuat catatan, kebiasaan Hamidin ini-yang senantiasa menyempatkan waktu untuk menulis positif sekali untuk ditiru.