Nuansa Antikorupsi dalam Lima Program Pembangunan 2019-2024
A
A
A
Romli Atmasasmita
Guru Besar (Emeritus) Universitas Padjadjaran/Universitas Pasundan
LIMA program pemerintah tahun 2019-2024 yang dicanangkan oleh presiden terpilih Joko Widodo (Jokowi) dan wakil presiden terpilih KH Ma’ruf Amin, pada 14 Juli 2019 menumbuhkan harapan baru dalam menata dan memajukan bangsa dan negara Republik Indonesia.
Dari kelima program tersebut, pembangunan bidang hukum tidak dinyatakan secara eksplisit sehingga menyisakan tanda tanya besar, khususnya bagi kalangan pegiat antikorupsi. Pertanyaan terutama mengenai nasib pemberantasan korupsi dan kelembagaan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di masa mendatang.
Kekhawatiran ini tidak perlu didramatisasi karena jika direnungkan dan dikaji secara mendalam, diketahui bahwa reformasi birokrasi yang dilaksanakan secara terencana, baik, dan berkesinambungan adalah kunci keberhasilan pencegahan dan pemberantasan korupsi.
Adapun reformasi birokrasi merupakan sarana pengikat kepatuhan birokrasi dan pemangku kepentingan untuk bersinergi dalam menjalankan kelima program tersebut. Reformasi birokrasi di seluruh kementerian/lembaga (K/L) merupakan entry-point pencegahan dan pemberantasan korupsi.
Jika pencegahan (preventif) berhasil dengan baik, serta-merta akan meringankan tugas penindakan (represif), dan pada gilirannya akan mengurangi jumlah orang yang ditahan. Dampak lebih jauh akan mengurangi kondisi overkapasitas jumlah tahanan di lapas sehingga dapat mencegah demoralisasi kehidupan narapidana di lapas.
Reformasi birokrasi di K/L juga merupakan kunci keberhasilan pengelolaan antikorupsi di sektor swasta yang dapat mendorong peningkatan investasi sebagai salah satu pendukung kelima program tersebut.
Uraian tersebut memperjelas keterkaitan reformasi birokrasi dengan empat program lain, sekaligus pula dapat diketahui keperluan mendesak dalam sumber daya manusia yang unggul dalam bidangnya, baik dari aspek kompetensi, kredibilitas, maupun keberanian melakukan terobosan-terobosan.
Namun demikian, terobosan-terobosan dimaksud harus tetap berada dalam koridor hukum yang berlaku. Dalam konteks ini, program pendampingan hukum oleh kejaksaan dalam setiap proyek yang di danai APBN wajib diteladani dan dilanjutkan oleh KPK dan kepolisian.
Pendampingan hukum atas proyek-proyek APBN juga sebaiknya dilakukan pada proyek non-APBN. Proyek harus direncanakan bersama dengan ketiga lembaga penegak hukum tersebut agar tidak terjadi double-incrimination dalam hal ada dugaan tindak pidana korupsi yang merupakan peradilan sesat (miscarriage of justice).
Fungsi penindakan yang berada di hilir tidak harus kemudian dikesampingkan, namun harus dilaksanakan semata-mata untuk tujuan melindungi kepentingan kegiatan proyek APBN dan non-APBN yang lain.
Fungsi penindakan harus diberdayakan dan ditingkatkan kemampuan dan kapasitasnya untuk memberikan efek jera terhadap mereka yang melanggar undang-undang, namun harus dalam batas toleransi perlindungan hak asasi manusia dan kesusilaan masyarakat timur.
Euforia untuk mempermalukan (aib) tersangka korupsi di hadapan publik sebaiknya segera dihentikan karena minim manfaat praktis akan efektivitas penjeraan; semakin tinggi euforia stigmatisasi semakin berkurang tingkat ketidakpatuhan dan pelanggaran undang-undang tindak pidana korupsi (tipikor).
Sinergitas dalam pencegahan korupsi memberikan kontribusi penguatan pemerintahan secara efisien dan efektif, baik dari sisi efisiensi penggunaan dana APBN maupun dari sisi kemanfaatan sosial dan ekonomi rakyat.
Harapan penguatan K/L yang bebas korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) hanya dapat dicapai jika pada 2019 hingga ke depan dijadikan momentum penguatan strategi pencegahan dalam setiap langkah penegakan hukum dibandingkan dengan strategi penindakan semata-mata.
Proses harmonisasi UNCAC (2003) dan Undang-Undang Tipikor (1999/2001) harus segera diwujudkan agar pencegahan dan penindakan korupsi di Indonesia dapat ditempatkan sebagai bagian perjuangan Indonesia di forum internasional sekaligus untuk meningkatkan kerja sama internasional yang lebih efektif dalam hal perburuan aset korupsi di negara lain.
Perlambatan investasi dalam dunia usaha merupakan sinyal ketidakpuasan terhadap pelayanan publik dan berkurangnya kepercayaan pemangku kepentingan di sektor swasta terhadap kinerja birokrasi. Keadaan ini amat memengaruhi perkembangan di sektor perekonomian nasional.
Masalah ini bukanlah hanya disebabkan peristiwa pada tataran praktis, melainkan juga terdapat kekeliruan pemahaman dalam tataran teoritik, dan salah satu daripadanya adalah masalah keterhubungan antara disiplin ilmu hukum dan ilmu ekonomi yang tidak pernah dirancang dan diimplementasikan secara sistematis dan berkelanjutan sejak awal pendidikan di perguruan tinggi.
Kelemahan dalam bidang pendidikan antardisiplin ini mengakibatkan terjadi sekat-sekat pemisah dengan presumsi bahwa keduanya tidak saling pengaruh antara satu sama lain.
Sedangkan dalam kenyataan telah terbukti, kebijakan ekonomi tidak terukur dalam kebijakan hukum atau sebaliknya mengakibatkan kegiatan di sektor ekonomi terpaksa tertunda hanya karena kegagalan mematuhi ketentuan peraturan perundang-undangan.
Ini pada gilirannya kegiatan proyek-proyek terpaksa dihentikan sementara pembangunannya baik dalam skala kecil maupun skala besar.
Keadaan tersebut mengakibatkan pula tersitanya waktu, biaya tinggi dan tidak lancarnya program pembangunan. Tidak ada satu pun kegiatan di berbagai sektor yang tidak tersentuh hukum, begitu pula sebaliknya, tidak ada satu pun kegiatan yang tidak dapat diukur secara ekonomi.
Ahli hukum dan ahli ekonomi perlu duduk bersama meletakkan dasar-dasar penentuan kebijakan yang berdaya guna baik dari aspek hukum maupun aspek ekonomi.
Berdasarkan uraian ini, visi dan misi persatuan bangsa(nasional) harus juga dipahami dalam konteks pergerakan dan perjalanan penegakan hukum yang dimotori oleh kepolisian, kejaksaan, dan KPK dalam pencegahan dan penindakan korupsi dan tindak pidana lainnya.
Guru Besar (Emeritus) Universitas Padjadjaran/Universitas Pasundan
LIMA program pemerintah tahun 2019-2024 yang dicanangkan oleh presiden terpilih Joko Widodo (Jokowi) dan wakil presiden terpilih KH Ma’ruf Amin, pada 14 Juli 2019 menumbuhkan harapan baru dalam menata dan memajukan bangsa dan negara Republik Indonesia.
Dari kelima program tersebut, pembangunan bidang hukum tidak dinyatakan secara eksplisit sehingga menyisakan tanda tanya besar, khususnya bagi kalangan pegiat antikorupsi. Pertanyaan terutama mengenai nasib pemberantasan korupsi dan kelembagaan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di masa mendatang.
Kekhawatiran ini tidak perlu didramatisasi karena jika direnungkan dan dikaji secara mendalam, diketahui bahwa reformasi birokrasi yang dilaksanakan secara terencana, baik, dan berkesinambungan adalah kunci keberhasilan pencegahan dan pemberantasan korupsi.
Adapun reformasi birokrasi merupakan sarana pengikat kepatuhan birokrasi dan pemangku kepentingan untuk bersinergi dalam menjalankan kelima program tersebut. Reformasi birokrasi di seluruh kementerian/lembaga (K/L) merupakan entry-point pencegahan dan pemberantasan korupsi.
Jika pencegahan (preventif) berhasil dengan baik, serta-merta akan meringankan tugas penindakan (represif), dan pada gilirannya akan mengurangi jumlah orang yang ditahan. Dampak lebih jauh akan mengurangi kondisi overkapasitas jumlah tahanan di lapas sehingga dapat mencegah demoralisasi kehidupan narapidana di lapas.
Reformasi birokrasi di K/L juga merupakan kunci keberhasilan pengelolaan antikorupsi di sektor swasta yang dapat mendorong peningkatan investasi sebagai salah satu pendukung kelima program tersebut.
Uraian tersebut memperjelas keterkaitan reformasi birokrasi dengan empat program lain, sekaligus pula dapat diketahui keperluan mendesak dalam sumber daya manusia yang unggul dalam bidangnya, baik dari aspek kompetensi, kredibilitas, maupun keberanian melakukan terobosan-terobosan.
Namun demikian, terobosan-terobosan dimaksud harus tetap berada dalam koridor hukum yang berlaku. Dalam konteks ini, program pendampingan hukum oleh kejaksaan dalam setiap proyek yang di danai APBN wajib diteladani dan dilanjutkan oleh KPK dan kepolisian.
Pendampingan hukum atas proyek-proyek APBN juga sebaiknya dilakukan pada proyek non-APBN. Proyek harus direncanakan bersama dengan ketiga lembaga penegak hukum tersebut agar tidak terjadi double-incrimination dalam hal ada dugaan tindak pidana korupsi yang merupakan peradilan sesat (miscarriage of justice).
Fungsi penindakan yang berada di hilir tidak harus kemudian dikesampingkan, namun harus dilaksanakan semata-mata untuk tujuan melindungi kepentingan kegiatan proyek APBN dan non-APBN yang lain.
Fungsi penindakan harus diberdayakan dan ditingkatkan kemampuan dan kapasitasnya untuk memberikan efek jera terhadap mereka yang melanggar undang-undang, namun harus dalam batas toleransi perlindungan hak asasi manusia dan kesusilaan masyarakat timur.
Euforia untuk mempermalukan (aib) tersangka korupsi di hadapan publik sebaiknya segera dihentikan karena minim manfaat praktis akan efektivitas penjeraan; semakin tinggi euforia stigmatisasi semakin berkurang tingkat ketidakpatuhan dan pelanggaran undang-undang tindak pidana korupsi (tipikor).
Sinergitas dalam pencegahan korupsi memberikan kontribusi penguatan pemerintahan secara efisien dan efektif, baik dari sisi efisiensi penggunaan dana APBN maupun dari sisi kemanfaatan sosial dan ekonomi rakyat.
Harapan penguatan K/L yang bebas korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) hanya dapat dicapai jika pada 2019 hingga ke depan dijadikan momentum penguatan strategi pencegahan dalam setiap langkah penegakan hukum dibandingkan dengan strategi penindakan semata-mata.
Proses harmonisasi UNCAC (2003) dan Undang-Undang Tipikor (1999/2001) harus segera diwujudkan agar pencegahan dan penindakan korupsi di Indonesia dapat ditempatkan sebagai bagian perjuangan Indonesia di forum internasional sekaligus untuk meningkatkan kerja sama internasional yang lebih efektif dalam hal perburuan aset korupsi di negara lain.
Perlambatan investasi dalam dunia usaha merupakan sinyal ketidakpuasan terhadap pelayanan publik dan berkurangnya kepercayaan pemangku kepentingan di sektor swasta terhadap kinerja birokrasi. Keadaan ini amat memengaruhi perkembangan di sektor perekonomian nasional.
Masalah ini bukanlah hanya disebabkan peristiwa pada tataran praktis, melainkan juga terdapat kekeliruan pemahaman dalam tataran teoritik, dan salah satu daripadanya adalah masalah keterhubungan antara disiplin ilmu hukum dan ilmu ekonomi yang tidak pernah dirancang dan diimplementasikan secara sistematis dan berkelanjutan sejak awal pendidikan di perguruan tinggi.
Kelemahan dalam bidang pendidikan antardisiplin ini mengakibatkan terjadi sekat-sekat pemisah dengan presumsi bahwa keduanya tidak saling pengaruh antara satu sama lain.
Sedangkan dalam kenyataan telah terbukti, kebijakan ekonomi tidak terukur dalam kebijakan hukum atau sebaliknya mengakibatkan kegiatan di sektor ekonomi terpaksa tertunda hanya karena kegagalan mematuhi ketentuan peraturan perundang-undangan.
Ini pada gilirannya kegiatan proyek-proyek terpaksa dihentikan sementara pembangunannya baik dalam skala kecil maupun skala besar.
Keadaan tersebut mengakibatkan pula tersitanya waktu, biaya tinggi dan tidak lancarnya program pembangunan. Tidak ada satu pun kegiatan di berbagai sektor yang tidak tersentuh hukum, begitu pula sebaliknya, tidak ada satu pun kegiatan yang tidak dapat diukur secara ekonomi.
Ahli hukum dan ahli ekonomi perlu duduk bersama meletakkan dasar-dasar penentuan kebijakan yang berdaya guna baik dari aspek hukum maupun aspek ekonomi.
Berdasarkan uraian ini, visi dan misi persatuan bangsa(nasional) harus juga dipahami dalam konteks pergerakan dan perjalanan penegakan hukum yang dimotori oleh kepolisian, kejaksaan, dan KPK dalam pencegahan dan penindakan korupsi dan tindak pidana lainnya.
(shf)