MHU Dorong MA Percepat Keluarkan Aturan Hukum Sengketa Penerbangan
loading...
A
A
A
JAKARTA - Masyarakat Hukum Udara (MHU) mendorong Mahkamah Agung (MA) mempercepat dikeluarkan aturan hukum baru mengenai kasus sengketa penerbangan. Hal ini dikatakan oleh Ketua MHU 2018-2022, Andre Rahadian.
"Padahal, yang diperlukan adalah kepastian dan kejelasan dalam penerapan hukum yang berlaku dari lembaga peradilan di Indonesia," kata Andre dalam Indonesia Workshop on the Cape Town Convention and its Aircraft Protocol di Kantor Dentons HPRP, Jakarta, Rabu (31/7/2024).
"Agar tidak memberikan dampak negatif bagi para pemangku kepentingan, baik itu pemerintah, pelaku usaha, maupun masyarakat pengguna transportasi yang hak-haknya juga dilindungi undang-undang," tambah Andre yang juga Partner Dentons HPRP dalam opening speech-nya.
Hal senada dikatakan Ketua MHU Anggia Rukmasari. Menurutnya, selama ini semuanya atas dasar adanya implikasi atas ketidakseragaman interpretasi regulasi penerbangan.
"Di pengadilan berbagai wilayah Indonesia yang menimbulkan kekhawatiran bagi pelaku usaha penerbangan maupun masyarakat," ucap Anggia.
Sementara Wakil Ketua Pengadilan Tinggi Yogyakarta, Ifa Sudewi menegaskan, pihaknya bakal menyampaikan permasalahan ini ke Ketua MA, Muhammad Syarifuddin.
"Hakim sering ragu bila ada peraturan ganda dalam sebuah kasus kontroversi penerbangan. Cukup sulit menyatukan hukum nasional dengan Konvensi Cape Town," tuturnya.
"Artinya UU Penerbangan masih perlu diperdalam. Kita bisa berbagi pengalaman, dan diskusi ini tidak sampai di sini. Bila memang diperlukan akan dibuat kebijakan baru," sambung Ifa Sudewi.
Yang jelas kata Ifa, Indonesia perlu ada lompatan luar biasa dalam peraturan hukum kasus sengketa penerbangan. Mesti ada aturan yang cukup kuat untuk menjembatani Konvensi Cape Town dengan Undang-Undang (UU) Penerbangan.
"Dibuatnya Peraturan Mahkamah Agung (Perma) setingkat UU bisa sebagai satu-satunya jalan. Namun itu harus ada uji publik, mengundang akademisi untuk menanggapi, tidak cukup setahun," jelas Ifa.
"Padahal, yang diperlukan adalah kepastian dan kejelasan dalam penerapan hukum yang berlaku dari lembaga peradilan di Indonesia," kata Andre dalam Indonesia Workshop on the Cape Town Convention and its Aircraft Protocol di Kantor Dentons HPRP, Jakarta, Rabu (31/7/2024).
"Agar tidak memberikan dampak negatif bagi para pemangku kepentingan, baik itu pemerintah, pelaku usaha, maupun masyarakat pengguna transportasi yang hak-haknya juga dilindungi undang-undang," tambah Andre yang juga Partner Dentons HPRP dalam opening speech-nya.
Hal senada dikatakan Ketua MHU Anggia Rukmasari. Menurutnya, selama ini semuanya atas dasar adanya implikasi atas ketidakseragaman interpretasi regulasi penerbangan.
"Di pengadilan berbagai wilayah Indonesia yang menimbulkan kekhawatiran bagi pelaku usaha penerbangan maupun masyarakat," ucap Anggia.
Baca Juga
Sementara Wakil Ketua Pengadilan Tinggi Yogyakarta, Ifa Sudewi menegaskan, pihaknya bakal menyampaikan permasalahan ini ke Ketua MA, Muhammad Syarifuddin.
"Hakim sering ragu bila ada peraturan ganda dalam sebuah kasus kontroversi penerbangan. Cukup sulit menyatukan hukum nasional dengan Konvensi Cape Town," tuturnya.
"Artinya UU Penerbangan masih perlu diperdalam. Kita bisa berbagi pengalaman, dan diskusi ini tidak sampai di sini. Bila memang diperlukan akan dibuat kebijakan baru," sambung Ifa Sudewi.
Yang jelas kata Ifa, Indonesia perlu ada lompatan luar biasa dalam peraturan hukum kasus sengketa penerbangan. Mesti ada aturan yang cukup kuat untuk menjembatani Konvensi Cape Town dengan Undang-Undang (UU) Penerbangan.
"Dibuatnya Peraturan Mahkamah Agung (Perma) setingkat UU bisa sebagai satu-satunya jalan. Namun itu harus ada uji publik, mengundang akademisi untuk menanggapi, tidak cukup setahun," jelas Ifa.
(maf)