Mengakhiri Derita Korban Pasal Karet
A
A
A
M Nasir Djamil
Anggota Komisi III DPR RI
HUKUM bernilai bukan karena ia berisi seperangkat norma dan pasal, melainkan karena ada kebaikan di dalamnya. Begitu pepatah yang populer untuk memahami bagaimana sebaiknya hukum berjalan dan ditegakkan. Namun, fakta di lapangan kerapkali hukum tak bersanding dengan kebaikan yang terkandung dalam hukum itu sendiri.
Kasus yang menimpa Baiq Nuril, seorang guru yang mencoba mencari keadilan dan mencoba mempertahankan martabatnya sebagai seorang perempuan, menjadi contoh nyata "kriminalisasi". Akibat upayanya melawan perlakuan tak adil atas dirinya sebagai seorang perempuan, telah membuatnya menjadi pesakitan dan harus mendiami penjara. Putusan kasasi Mahkamah Agung sontak membawanya kembali sebagai pelaku, bukan korban.
Tergerusnya rasa keadilan yang menimpa Baiq Nuril tentu bukan barang baru di jagat penegakan hukum. Penerapan hukum yang salah akibat pasal karet selama ini telah menggerus rasa keadilan warga negara yang sesungguhnya menjadi korban akibat perkara terkait dengan kejahatan awal.
Bola panas kasus Nuril akhirnya diserahkan kepada Presiden Jokowi untuk bisa memberikan amnesti terhadapnya. Amnesti memang menjadi harapan terakhir bagi Baiq Nuril setelah permohonan peninjauan kembalinya terhadap putusan MA Nomor 574K/PID.SUS/2018 tanggal 26 September 2018 Juncto putusan Pengadilan Negeri Mataram, Nomor 265/Pos.Sus/2017/PN Mtr tanggal 26 Juli 2017 ditolak Mahkamah Agung pada 3 Januari 2019.
Namun, langkah amnesti ini dikhawatirkan menjadi preseden bagi kasus-kasus serupa. Jika Jokowi tak memberikan amnesti yang sama, bisa jadi Jokowi dianggap melakukan tindakan diskriminasi.
Padahal, penulis memandang, ada pekerjaan rumah yang lebih mendesak dari sekadar pemberian amnesti, yakni revisi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 jo Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang kerap dijadikan alat represi dan mengorbankan hak-hak warga negara. Faktanya, tak satu pun kasus tersebut diselesaikan dengan jalur amnesti. Amnesti seolah dalam persimpangan kontroversi, antara sekadar simpati atau tindakan profetik kepala negara.
Seperti diketahui, secara hukum, amnesti di Indonesia dijalankan berdasarkan Pasal 14 ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan: "Presiden berwenang untuk memberi amnesti dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)". Namun, dalam praktiknya, pemberian amnesti dilakukan tidak lepas dari masalah politik dan diberikan secara kelompok, bukan perorangan.
Secara historis hampir semua presiden di Indonesia pernah memberikan amnesti. Mulai dari Soekarno, Soeharto, BJ Habibie, Gus Dur, dan Susilo Bambang Yudhoyono. Umumnya amnesti diterapkan dalam masalah politik yang tidak lepas dari penerapan UU Darurat pada 1954 tentang Amnesti dan Abolisi.
Dua Faktor
Ada dua faktor yang harus diperbaiki dari sekadar menyelesaikannya dengan jalan amnesti. Faktor pertama, Mahkamah Agung mengabaikan peraturan yang mereka buat sendiri, yaitu Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan Dengan Hukum yang telah diundangkan sejak 4 Agustus 2017.
Salah satu yang diatur dalam perma ada empat larangan bagi hakim saat memeriksa perempuan yang berhadapan dengan hukum. Pertama , hakim tidak boleh menunjukkan sikap atau mengeluarkan pernyataan yang merendahkan, menyalahkan, dan/atau mengintimidasi perempuan yang berhadapan dengan hukum. Kedua , hakim tidak boleh membenarkan terjadi diskriminasi terhadap perempuan dengan menggunakan kebudayaan, aturan adat, dan praktik tradisional lain maupun menggunakan penafsiran ahli yang bias gender.
Ketiga , hakim tidak boleh mempertanyakan dan/atau mempertimbangkan mengenai pengalaman atau latar belakang seksualitas korban sebagai dasar untuk membebaskan pelaku atau meringankan hukuman pelaku. Keempat , hakim dilarang mengeluarkan pernyataan atau pandangan yang mengandung stereotip gender.
Perempuan berhadapan dengan hukum dalam konteks perma adalah perempuan yang berkonflik dengan hukum, perempuan sebagai korban, perempuan sebagai saksi, atau perempuan sebagai pihak. Sedangkan yang dimaksud stereotip gender adalah pandangan umum atau kesan tentang atribut atau karakteristik yang seharusnya dimiliki dan diperankan perempuan atau laki-laki.
Adapun diskriminasi terhadap perempuan dalam perma yang disebutkan merupakan segala pembedaan, pengucilan, atau pembatasan yang dibuat atas dasar jenis kelamin yang mempunyai dampak atau tujuan untuk mengurangi atau meniadakan pengakuan, penikmatan, atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan pokok di bidang hukum, politik, ekonomi, sosial, budaya, sipil, atau bidang lainnya oleh perempuan, terlepas dari status perkawinan mereka atas dasar kesetaraan antara laki-laki dan perempuan.
Tentu aneh jika Mahkamah Agung justru memutuskan Baiq Nuril bersalah dalam putusan kasasinya dan menganulir putusan Pengadilan Negeri Mataram, Nomor 265/Pos.Sus/2017/PN Mtr tanggal 26 Juli 2017 selaku judex factie yang menyatakan Baiq Nuril tidak bersalah. Adanya perlakuan khusus hakim terhadap kasus perempuan yang berhadapan dengan hukum seharusnya menjadikan hakim lebih jeli mempertimbangkan putusan kasasi Baiq Nuril yang sesungguhnya menjadi korban atas tindakan pelecehan seksual yang dilakukan atasannya.
Faktor kedua, jerat hukum penerapan pasal karet terutama Pasal 27 UU ITE yang menimpa Baiq Nuril harus ditinjau ulang. Jamak diketahui, UU ITE selama ini masih mencantumkan pasal-pasal pidana konvensional yang dianggap pasal karet, yaitu Pasal 27, 28, dan 29 UU ITE. Faktanya, pasal-pasal ini, khususnya norma Pasal 27 ayat (3) UU ITE, memuat ancaman serius terhadap kebebasan berekspresi.
Pasal karet ini pun telah menuai banyak korban salah satunya Anindya, seorang jurnalis, dilaporkan karena menulis kronologi pembubaran diskusi dan pelecehan seksual yang pelakunya aparat kepolisian di asrama Papua Surabaya. Sebut juga Zakki Amali yang dilaporkan oleh rektor Universitas Negeri Semarang karena membuat berita dugaan plagiat rektor tersebut. Maka, jelas UU ITE digunakan untuk balas dendam, barter kasus, membungkam kritik, shock therapy , dan persekusi kelompok yang cenderung dimanfaatkan orang-orang yang punya relasi kuasa lebih tinggi dari korban. Hal yang sama terjadi dengan Baiq Nuril.
Perppu UU ITE
Hemat penulis, ketimbang memberikan amnesti yang masih kontroversi penerapannya, lebih baik Presiden segera mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) untuk menghapus sejumlah pasal karet di dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Penerbitan perppu merupakan cara mudah untuk menghapus pasal karet di UU ITE dibandingkan meminta DPR melakukan revisi. Presiden cukup menghapus pasal karet di UU ITE, kemudian membawanya ke DPR untuk mendapatkan persetujuan. Hal ini karena revisi terhadap UU ITE terganjal masa bakti anggota DPR 2014-2019 yang hanya kurang tiga bulan lagi sehingga tidak cukup untuk merevisi UU ITE. Penerbitan perppu sudah layak ditempuh oleh Jokowi mengingat UU ITE sudah banyak memakan korban. Hal ini agar tidak timbul kembali Baiq Nuril lainnya.
Maraknya aksi saling lapor dengan menggunakan pasal-pasal di UU ITE bukan tendensi positif dalam negara demokrasi. Fungsi UU ITE harus segera dikembalikan ke regulasi terkait transaksi ekonomi.
Penggunaan hak prerogatif dalam pemberian amnesti sudah seharusnya tidak digunakan oleh Presiden sekehendaknya. Presiden perlu mempertimbangkan kriteria filosofis berdasarkan asas-asas tidak mengandung cacat karena didasarkan pada iktikad baik (dwaling ), tidak mengandung unsur penipuan (bedrog ), dan tidak mengandung paksaan (dwang ) yang menyebabkan akibat-akibat hukum yang tidak sah. Pemberian amnesti juga seringkali disebut sebagai wewenang yudikatif presiden. Wewenang ini harus dimaknai sebagai upaya menyelamatkan kepentingan negara terhadap kekacauan sistem hukum dan/atau kekhilafan dalam proses hukum.
Meski Presiden Joko Widodo akhirnya mengabulkan permohonan amnesti Baiq Nuril melalui surat nomor R-28/Pres/07/2019 yang ditandatanganinya, Senin (15/7/2019). Presiden seharusnya mempertimbangkan langkah hukum lain yang lebih strategis untuk memberikan rasa keadilan yang lebih luas kepada masyarakat dengan menyelesaikan problem utama yang lebih mendasar agar tidak muncul korban-korban lain seperti yang dialami Baiq Nuril. Cukup dan jadikan kasus Baiq Nuril ini sebagai babak akhir dari "pasal karet" dalam UU ITE.
Anggota Komisi III DPR RI
HUKUM bernilai bukan karena ia berisi seperangkat norma dan pasal, melainkan karena ada kebaikan di dalamnya. Begitu pepatah yang populer untuk memahami bagaimana sebaiknya hukum berjalan dan ditegakkan. Namun, fakta di lapangan kerapkali hukum tak bersanding dengan kebaikan yang terkandung dalam hukum itu sendiri.
Kasus yang menimpa Baiq Nuril, seorang guru yang mencoba mencari keadilan dan mencoba mempertahankan martabatnya sebagai seorang perempuan, menjadi contoh nyata "kriminalisasi". Akibat upayanya melawan perlakuan tak adil atas dirinya sebagai seorang perempuan, telah membuatnya menjadi pesakitan dan harus mendiami penjara. Putusan kasasi Mahkamah Agung sontak membawanya kembali sebagai pelaku, bukan korban.
Tergerusnya rasa keadilan yang menimpa Baiq Nuril tentu bukan barang baru di jagat penegakan hukum. Penerapan hukum yang salah akibat pasal karet selama ini telah menggerus rasa keadilan warga negara yang sesungguhnya menjadi korban akibat perkara terkait dengan kejahatan awal.
Bola panas kasus Nuril akhirnya diserahkan kepada Presiden Jokowi untuk bisa memberikan amnesti terhadapnya. Amnesti memang menjadi harapan terakhir bagi Baiq Nuril setelah permohonan peninjauan kembalinya terhadap putusan MA Nomor 574K/PID.SUS/2018 tanggal 26 September 2018 Juncto putusan Pengadilan Negeri Mataram, Nomor 265/Pos.Sus/2017/PN Mtr tanggal 26 Juli 2017 ditolak Mahkamah Agung pada 3 Januari 2019.
Namun, langkah amnesti ini dikhawatirkan menjadi preseden bagi kasus-kasus serupa. Jika Jokowi tak memberikan amnesti yang sama, bisa jadi Jokowi dianggap melakukan tindakan diskriminasi.
Padahal, penulis memandang, ada pekerjaan rumah yang lebih mendesak dari sekadar pemberian amnesti, yakni revisi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 jo Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang kerap dijadikan alat represi dan mengorbankan hak-hak warga negara. Faktanya, tak satu pun kasus tersebut diselesaikan dengan jalur amnesti. Amnesti seolah dalam persimpangan kontroversi, antara sekadar simpati atau tindakan profetik kepala negara.
Seperti diketahui, secara hukum, amnesti di Indonesia dijalankan berdasarkan Pasal 14 ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan: "Presiden berwenang untuk memberi amnesti dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)". Namun, dalam praktiknya, pemberian amnesti dilakukan tidak lepas dari masalah politik dan diberikan secara kelompok, bukan perorangan.
Secara historis hampir semua presiden di Indonesia pernah memberikan amnesti. Mulai dari Soekarno, Soeharto, BJ Habibie, Gus Dur, dan Susilo Bambang Yudhoyono. Umumnya amnesti diterapkan dalam masalah politik yang tidak lepas dari penerapan UU Darurat pada 1954 tentang Amnesti dan Abolisi.
Dua Faktor
Ada dua faktor yang harus diperbaiki dari sekadar menyelesaikannya dengan jalan amnesti. Faktor pertama, Mahkamah Agung mengabaikan peraturan yang mereka buat sendiri, yaitu Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan Dengan Hukum yang telah diundangkan sejak 4 Agustus 2017.
Salah satu yang diatur dalam perma ada empat larangan bagi hakim saat memeriksa perempuan yang berhadapan dengan hukum. Pertama , hakim tidak boleh menunjukkan sikap atau mengeluarkan pernyataan yang merendahkan, menyalahkan, dan/atau mengintimidasi perempuan yang berhadapan dengan hukum. Kedua , hakim tidak boleh membenarkan terjadi diskriminasi terhadap perempuan dengan menggunakan kebudayaan, aturan adat, dan praktik tradisional lain maupun menggunakan penafsiran ahli yang bias gender.
Ketiga , hakim tidak boleh mempertanyakan dan/atau mempertimbangkan mengenai pengalaman atau latar belakang seksualitas korban sebagai dasar untuk membebaskan pelaku atau meringankan hukuman pelaku. Keempat , hakim dilarang mengeluarkan pernyataan atau pandangan yang mengandung stereotip gender.
Perempuan berhadapan dengan hukum dalam konteks perma adalah perempuan yang berkonflik dengan hukum, perempuan sebagai korban, perempuan sebagai saksi, atau perempuan sebagai pihak. Sedangkan yang dimaksud stereotip gender adalah pandangan umum atau kesan tentang atribut atau karakteristik yang seharusnya dimiliki dan diperankan perempuan atau laki-laki.
Adapun diskriminasi terhadap perempuan dalam perma yang disebutkan merupakan segala pembedaan, pengucilan, atau pembatasan yang dibuat atas dasar jenis kelamin yang mempunyai dampak atau tujuan untuk mengurangi atau meniadakan pengakuan, penikmatan, atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan pokok di bidang hukum, politik, ekonomi, sosial, budaya, sipil, atau bidang lainnya oleh perempuan, terlepas dari status perkawinan mereka atas dasar kesetaraan antara laki-laki dan perempuan.
Tentu aneh jika Mahkamah Agung justru memutuskan Baiq Nuril bersalah dalam putusan kasasinya dan menganulir putusan Pengadilan Negeri Mataram, Nomor 265/Pos.Sus/2017/PN Mtr tanggal 26 Juli 2017 selaku judex factie yang menyatakan Baiq Nuril tidak bersalah. Adanya perlakuan khusus hakim terhadap kasus perempuan yang berhadapan dengan hukum seharusnya menjadikan hakim lebih jeli mempertimbangkan putusan kasasi Baiq Nuril yang sesungguhnya menjadi korban atas tindakan pelecehan seksual yang dilakukan atasannya.
Faktor kedua, jerat hukum penerapan pasal karet terutama Pasal 27 UU ITE yang menimpa Baiq Nuril harus ditinjau ulang. Jamak diketahui, UU ITE selama ini masih mencantumkan pasal-pasal pidana konvensional yang dianggap pasal karet, yaitu Pasal 27, 28, dan 29 UU ITE. Faktanya, pasal-pasal ini, khususnya norma Pasal 27 ayat (3) UU ITE, memuat ancaman serius terhadap kebebasan berekspresi.
Pasal karet ini pun telah menuai banyak korban salah satunya Anindya, seorang jurnalis, dilaporkan karena menulis kronologi pembubaran diskusi dan pelecehan seksual yang pelakunya aparat kepolisian di asrama Papua Surabaya. Sebut juga Zakki Amali yang dilaporkan oleh rektor Universitas Negeri Semarang karena membuat berita dugaan plagiat rektor tersebut. Maka, jelas UU ITE digunakan untuk balas dendam, barter kasus, membungkam kritik, shock therapy , dan persekusi kelompok yang cenderung dimanfaatkan orang-orang yang punya relasi kuasa lebih tinggi dari korban. Hal yang sama terjadi dengan Baiq Nuril.
Perppu UU ITE
Hemat penulis, ketimbang memberikan amnesti yang masih kontroversi penerapannya, lebih baik Presiden segera mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) untuk menghapus sejumlah pasal karet di dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Penerbitan perppu merupakan cara mudah untuk menghapus pasal karet di UU ITE dibandingkan meminta DPR melakukan revisi. Presiden cukup menghapus pasal karet di UU ITE, kemudian membawanya ke DPR untuk mendapatkan persetujuan. Hal ini karena revisi terhadap UU ITE terganjal masa bakti anggota DPR 2014-2019 yang hanya kurang tiga bulan lagi sehingga tidak cukup untuk merevisi UU ITE. Penerbitan perppu sudah layak ditempuh oleh Jokowi mengingat UU ITE sudah banyak memakan korban. Hal ini agar tidak timbul kembali Baiq Nuril lainnya.
Maraknya aksi saling lapor dengan menggunakan pasal-pasal di UU ITE bukan tendensi positif dalam negara demokrasi. Fungsi UU ITE harus segera dikembalikan ke regulasi terkait transaksi ekonomi.
Penggunaan hak prerogatif dalam pemberian amnesti sudah seharusnya tidak digunakan oleh Presiden sekehendaknya. Presiden perlu mempertimbangkan kriteria filosofis berdasarkan asas-asas tidak mengandung cacat karena didasarkan pada iktikad baik (dwaling ), tidak mengandung unsur penipuan (bedrog ), dan tidak mengandung paksaan (dwang ) yang menyebabkan akibat-akibat hukum yang tidak sah. Pemberian amnesti juga seringkali disebut sebagai wewenang yudikatif presiden. Wewenang ini harus dimaknai sebagai upaya menyelamatkan kepentingan negara terhadap kekacauan sistem hukum dan/atau kekhilafan dalam proses hukum.
Meski Presiden Joko Widodo akhirnya mengabulkan permohonan amnesti Baiq Nuril melalui surat nomor R-28/Pres/07/2019 yang ditandatanganinya, Senin (15/7/2019). Presiden seharusnya mempertimbangkan langkah hukum lain yang lebih strategis untuk memberikan rasa keadilan yang lebih luas kepada masyarakat dengan menyelesaikan problem utama yang lebih mendasar agar tidak muncul korban-korban lain seperti yang dialami Baiq Nuril. Cukup dan jadikan kasus Baiq Nuril ini sebagai babak akhir dari "pasal karet" dalam UU ITE.
(cip)