RUU Pertanahan Dikhawatirkan Akan Timbulkan Masalah Baru

Jum'at, 26 Juli 2019 - 16:07 WIB
RUU Pertanahan Dikhawatirkan Akan Timbulkan Masalah Baru
RUU Pertanahan Dikhawatirkan Akan Timbulkan Masalah Baru
A A A
JAKARTA - Awal mula RUU Pertanahan memang sangat dinanti kehadirannya karena selain masih menggunakan Undang-Undang Pokok Agraria (UU PA) sebagai acuannya juga untuk melengkapi yang tidak ada dalam UU tersebut.

Sehingga ibarat membuat puzzle seekor gajah, maka kehadiran puzzle yang kurang tadi maka dapat menjadikannnya benar-benar bentuk rupa gajah yang sempurna.

Namun dengan berjalannya waktu ternyata isi RUU Pertanahan tidak lagi seperti yang diharapkan, bahkan seperti mimpi buruk yang dipaksa untuk menjadi kenyataan.

Pakar kehutanan dari Institut Pertanian Bogor (IPB), Prof Bambang Hero menjelaskan, pada akhirnya kehadiran RUU Pertanahan tidak lagi bermaksud menyelesaikan masalah, tetapi justru menimbulkan masalah baru yang berujung pada pelegitimasian dan pembenaran untuk melakukan perusakan lingkungan.

"Selain itu, sekaligus membenarkan tudingan internasional bahwa kita memang melakukan deforestasi yang selama ini kita bantah dengan berbagai cara, termasuk melalui diplomasi internasional oleh pihak terkait," kata Bambang Hero, Jumat (26/7/2019).

Bambang Hero mencontohkan Pasal 35 Ayat 5 yang memaksa pemegang hak untuk menyediakan tanah untuk pekebun dan petani atau petambak di sekitar atau yang berdekatan dengan lokasi HGU yang luasnya paling sedikit 20% dari luas tanah yang diberikan.

Bahkan bila tidak ditemukan seperti pada ayat 6 maka dapat diberikan dalam bentuk lain oleh Menteri dalam hal ini Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN, Sofyan Jalil.

Dua ayat tersebut lanjut Bambang Hero, menunjukkan pelegalan untuk melakukan perubahan fungsi kawasan hutan di seputar areal itu, meskipun bukan termasuk hutan produksi konversi seperti disyaratkan oleh UU 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.

"Pemegang HGU diberi waktu dua tahun sejak diundangkannya undang-undang ini untuk menyiapkan yang 20% itu seperti tercantum pada Pasal 150. Yang menjadi persoalan adalah banyak kebun sawit contohnya seperti di Riau, Kalteng, dan lainnya yang berada di dalam kawasan hutan yang belum dialihfungsikan menjadi APL. Dan terus beroperasi hingga hari ini dengan luasan ratusan ribu hingga jutaan ha keseluruhannya," katanya sambil menambahkan agar RUU Pertanahan ini ditunda saja pengesahannya agar dibahas ulang.

Bambang menjelaskan, bayangkan saja saat ini menurut laporan Jikalahari, terdapat 1.8 juta ha lahan korporasi sawit dalam kawasan hutan termasuk menanam melebihi HGU, diduga akan dilegalkan melalui pasal ini, karena menteri akan menetapkan statusnya, meskipun tidak jelas maksud status tersebut.

"Inilah yang selama ini dikuatirkan akan terjadi dan harus dicegah, nyatanya akan dilegalkan. Maka kata deforestasi yang selama ini kita bantah dan kita anggap tidak dilakukan ternyata akhirnya harus diakui dan harus ditelan bulat-bulat," jelas Bambang.

Bambang Hero mengungkapkan, dirinya tidak tahu bagaimana reaksi kita nantinya terhadap respon dunia internasional yang ternyata akhirnya tahu kalau deforestasi itu memang dilegalkan.

"Saya tidak bisa bayangkan bagaimana nasib kawasan konservasi dan seisinya dengan hadirnya RUU Pertanahan tersebut, belum lagi dengan nasib masyarakat adat dan tanah ulayatnya maka tidak akan berbeda nasibnya," jelasnya.

"Lihat saja TN Tesso Nilo yang sudah hilang hutannya hingga 70 sd 80 % dan sebagian besar berganti sawit, belum lagi TN2 lain di lokasi lain harus menerima kenyataan bahwa kawasan hutan yang berubah wujud tadi yang kita sebut tindakan illegal dan harus dihukum ternyata pada akhirnya harus direlakan karena dilegalkan," sambungnya.

Pada akhirnya kata Bambang Hero, dengan melihat kondisi dan ancaman perusakan lingkungan hidup di depan mata yang seharusnya dicegah namun akan dilegalkan melalui RUU, membuatnya berkesimpulan untuk menolaknya atau menunda pengesahannya hingga RUU Pertanahan tersebut kembali kepada niat awalnya.

"Jangan sampai buruk rupa cermin dibelah dan jangan sampai karena nila setitik rusak susu sebelanga, hanya karena sekelompok orang yang mengatasnamakan untuk kepentingan masyarkat dan juga kepada mereka yang menggunakan dalih untuk efisiensi adminisrasi belaka," pungkasnya.
(maf)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.1189 seconds (0.1#10.140)