Indonesia Perlu Siapkan Kompetensi Respons Teknologi AI

Jum'at, 26 Juli 2024 - 18:21 WIB
loading...
Indonesia Perlu Siapkan...
Ketua Umum Komite Penyelarasan Teknologi Informasi Komunikasi (KPTIK) Dedi Yudianto. FOTO/IST
A A A
JAKARTA - Teknologi Artificial Intelligence (AI) dengan segala bentuk terapannya, kini semakin merambah ke banyak aspek kehidupan manusia. Tanpa mengecilkan segala manfaatnya, kemudahan untuk mengakses AI ternyata menimbulkan polemik baru. Di samping dapat membuat pekerjaan semakin mudah, tanpa regulasi yang jelas, AI rentan disalahgunakan untuk penyebaran disinformasi.

Ketua Umum Komite Penyelarasan Teknologi Informasi Komunikasi (KPTIK) Dedi Yudianto menjelaskan, masyarakat Indonesia perlu menyiapkan kompetensinya untuk hidup berdampingan dengan AI. Tidak hanya soal penggunaannya, publik juga perlu mengerti bahwa AI dapat diperalat untuk menyebarkan kebohongan secara cepat dan masif.

"Menghadapi AI sebagai suatu tantangan globalisasi, Indonesia perlu meningkatkan kesadaran masyarakat dan aparat keamanannya tentang potensi penggunaan AI. Karena selain untuk tujuan yang positif, kelompok teror juga mampu menggunakan AI untuk agenda mereka," kata Dedi di Jakarta, Jumat (26/7/2024).



Karena itu, agar pengembangan teknologi untuk mengidentifikasi aktivitas terorisme yang memanfaatkan AI, juga perlu diperhatikan secara serius oleh pemerintah. Kolaborasi internasional juga diperlukan dalam pertukaran informasi dan strategi, serta penguatan regulasi untuk mengawasi penggunaan AI.

CEO Cybers Group ini menambahkan tentang perlunya monitoring aktivitas online untuk mendeteksi pola perilaku mencurigakan, serta pelatihan SDM, khususnya di bidang penegakan hukum untuk menghadapi ancaman penyalahgunaan AI secara efektif. Semua hal ini harus mulai didapatkan masyarakat Indonesia, bahkan sejak dari sekolah formal.

Terkait pelibatan AI pada tindak kejahatan terorisme di dunia, Dedi mengemukakan, sampai saat ini belum ada indikasi yang mengarah ke sana. Namun, potensi penyalahgunaan AI tetap saja ada karena begitu mudahnya teknologi ini diakses oleh berbagai kalangan untuk beragam kepentingan.

"Sejauh ini, tidak ada bukti atau laporan yang menunjukkan pemanfaatan Artificial Intelligence dalam gerakan teror dalam skala internasional. Namun, kemudahan dan kecanggihannya mungkin saja menjadi ancaman dalam bentuk propaganda radikal. Pemerintah dan lembaga keamanan internasional juga perlu mengadakan penelitian terkait dengan potensi risiko ancaman teror melalui pemanfaatan AI,” ujar Dedi.

Menurutnya, AI memiliki banyak teknologi terapan, di antaranya Chatbot dan Deepfake. Kekhawatiran bahwa keduanya juga memiliki potensi untuk disalahgunakan untuk pembuatan narasi atau propaganda yang menyesatkan menjadi semakin relevan.

Penggunaan Deepfake yang dapat membuat video palsu sulit dibedakan dari yang asli, dapat memperburuk masalah disinformasi dan propaganda. Hal ini tentu akan sangat meresahkan jika masyarakat Indonesia belum bisa menyikapi informasi yang datang dengan lebih bijak dan tidak hanya percaya dari satu sumber saja.
Halaman :
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1736 seconds (0.1#10.140)