Jalan Panjang Kasus Baiq Nuril, Eks Tenaga Honorer yang Dijerat UU ITE

Jum'at, 05 Juli 2019 - 18:23 WIB
Jalan Panjang Kasus Baiq Nuril, Eks Tenaga Honorer yang Dijerat UU ITE
Jalan Panjang Kasus Baiq Nuril, Eks Tenaga Honorer yang Dijerat UU ITE
A A A
JAKARTA - Harapan Baiq Nuril, mantan tenaga honorer di SMAN 7 Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB) untuk terlepas dari jeratan hukum pupus.

Mahkamah Agung (MA) telah memutuskan menolak peninjauan kembali (PK) yang diajukan Nuril. Perempuan itu akhirnya tetap dihukum bersalah dengan vonis enam bulan penjara dan denda Rp500 juta subsider tiga bulan kurungan. Putusan itu memperkuat putusan kasasi kasusnya.

Sebelumnya kasus ini telah menyita perhatian publik dan telah menempuh proses hukum yang panjang. Peristiwa terjadi pada 2012 ketika dirinya masih menjadi tenaga honorer di SMAN 7 Mataram.

Berdasarkan pengakuannya selama ini, Nuril mengakui mendapatkan perlakuan tidak senonoh atau pelecehan dari M, kepala SMAN 7 Mataram saat itu. M pernah menelepon Baiq dan membicarakan pengalaman seksual dengan perempuan yang bukan istrinya. M pun akan marah-marah jika Nuril "mencueki" ucapannya.

Peristiwa tersebut tidak hanya sekali. Perilaku M membuat Nuril merasa gerah. Apalagi saat itu beredar gosip dirinya memiliki hubungan khusus dengan M.

Merasa jengah dan tidak ingin dipandang negatif, Baiq merekam percakapan teleponnya dengan M. Tujuannya ketika itu hanya satu, yakni membuktikan bahwa dirinya tidak memiliki hubungan khususnya dengan M.

Rekaman percakapan itu disimpanya, hingga akhirnya dia menceritakannya percakapannya dengan M ke rekannya bernama Imam. Rekaman itu dimasukkan dalam flashdisk lalu file-nya dimasukan ke laptop Iman.

Rekaman percakapan tersebut akhirnya beredar dan sampai ke telinga M. Tidak terima percakapannya disebar, M melaporkan Nuril ke Polres Mataram dengan tuduhan melanggar Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) karena tanpa hak menyebarkan informasi elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan. Nuril terancam hukuman enam bulan penjara dan denda Rp1 miliar.

Pada Maret 2017, ibu dari tiga anak ini ditahan. Jaksa menuntutnya enam hingga akhirnya Pengadilan Negeri Mataram pada 26 Juli 2017 menyatakan Baiq tidak terbukti melakukan pelanggaran UU ITE sebagaimana dakwaan jaksa.

Tidak puas dengan putusan tersebut, M kembali mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA). Pada 26 September 2018, MA menganulir putusan PN Mataram dengan menjatuhkan vonis enam bulan penjara dan denda Rp500 juta subsider tiga bulan kurungan.

Putusan MA membuat kasus ini mencuat menjadi pembicaraan publik. Sebagian pihak menilai putusan tersebut tidak adil karena justru Nuril adalah korban pelecehan seksual secara verbal. Nuril mendapatkan simpati publik. Tidak hanya petisi, dukungan juga muncul di media sosial. Di antaranya, tagar #TolakEksekusiBuNuril dan #SaveIbuNuril.

Bahkan Anggota Komisi I DPR Hidayat Nur Wahid (HNW) mendorong agar UU tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Dorongan HNW itu menyikapi kasus yang menimpa mantan pegawai honorer SMAN 7 Mataram, Baiq Nuril Maknun. "Bagi pihak-pihak yang dapatkan fakta-fakta tentang ITE, lalu digunakan untuk kepentingan langgar hukum atau tidak menghadirkan keadilan hukum, maka ajukan judicial review," ujar HNW di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Rabu 21 November 2018.

Kasus Baiq Nuril dinilai bisa menjadi momentum untuk memperbaiki Undang-undang tersebut. "Saya kira itu salah satu momentumnya, ketika ada kasus ini ajukan aja ke MK," ujar wakil ketua MPR ini.

Untuk mendapatkan keadilan, akhirnya Nuril pada awal Januari 2019 mengajukan upaya hukum peninjauan kembali (PK) ke MA. Persoalan kekhilafan atau kekeliruan hakim dalam menangani kasus tersebut menjadi dasar Nuril mengajukan PK.

Nuril pun sangat berharap MA dapat mengabulkan PK yang diajukannya. Namun enam bulan berselang, MA mengeluarkan putusan menolak PK Nuril. Alasannya, tindak pidana yang dilakukan Nuril terbukti.

Putusan MA pun kembali menuai kritik. Salah satunya dari Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah yang menilai vonis terhadap Nuril tidak masuk akal.

"Masa orang membela diri, abis dizalimi, membela diri terus kena. Itu banyak kasus begitu. Di mana ada orang membela diri terus kena," kata Fahri, Jumat (5/7/2019).

Fahri menyarankan pemerintah untuk menarik kembali sejumlah pasal karet di UU ITE itu. "Sebab itu merugikan kebebasan masyarakat untuk membela diri," katanya.

Ketua Bidang Hukum, HAM dan Perundang-undangan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Robikin Emhas mengaku prihatin atas putusan tersebut.

"Tanpa bermaksud mengomentari putusan lembaga peradilan, saya prihatin dan turut sedih terhadap yang menimpa Baiq Nuril. Bak pepatah 'sudah jatuh ketimpa tangga', sudah mendapat perlakuan tak patut lalu dipenjara," ujar Robikin dalam pernyataannya, Jumat (5/7/2019).

Sementara itu, Presiden Joko Widodo tidak ingin mengomentari kasus ini karena di luar kewenangannya.

"Saya tidak ingin mengomentari apa yang sudah diputuskan Mahkamah karena itu pada domain wilayahnya yudikatif. Ya nanti kalau sudah masuk ke saya, jadi kewenangan saya," tuturnya.

Kendati demikian dia mempersilakan Nuril untuk mengajukan amnesti. "Secepatnya (pengajuan amnesti-red)," katanya.
(dam)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6658 seconds (0.1#10.140)