Merdeka dari Fintech Lending Ilegal
loading...
A
A
A
Christiansen Frisilya Br Perangin-angin
Analis Junior Direktorat Hubungan Masyarakat Otoritas Jasa Keuangan
TEKNOLOGI telah mengubah peradaban dunia. Mengubah semua aspek kehidupan termasuk di dalam industri jasa keuangan. Masyarakat yang dulu harus datang ke kantor bank, kini sudah bisa dengan mudah menyimpan dan menabung uang melalui internet banking ataupun mobile banking di telepon genggam atau komputernya. Tidak hanya itu, belakangan ini masyarakat bahkan dengan gampang bisa meminjam uang lewat perangkat telekomunikasi melalui aplikasi financial technology peer to peer lending atau sering disingkat fintech lending yang banyak disebut juga pinjaman online.
Aplikasi fintech lending ini dapat diunduh dengan sangat mudah oleh masyarakat melalui playstore dan appstore. Kemudian dengan persyaratan yang sederhana, cukup dengan mengisi data sesuai KTP dan nomor rekening maka pinjaman akan segera dicairkan. Industri fintech lending yang borderless ini kemudian menyebar dan menjamur ke pelosok daerah melalui jaringan seluler di telepon genggam masyarakat, yang jumlahnya sekarang sudah dua kali jumlah penduduk Indonesia.
Bagi perkembangan industri jasa keuangan, tentu saja, kehadiran fintech lending merupakan angin segar yang bisa meningkatkan inklusi atau pemanfaatan produk keuangan dan bermuara pada peningkatan kesejahteraan masyarakat. Melalui fintech lending sektor usaha mikro dan kecil semakin memiliki alternatif dalam mendapatkan pinjaman untuk mengembangkan bisnisnya tanpa harus melewati banyak persyaratan seperti yang diminta perbankan dan perusahaan pembiayaan.
Otoritas Jasa Keuangan cukup tanggap dengan perkembangan teknologi di industri jasa keuangan ini yang dengan cepat di akhir 2016 mengeluarkan Peraturan OJK (POJK) Nomor 77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi, sehingga semua platform yang melakukan usaha pinjam meminjam uang harus memiliki izin dan terdaftar di OJK. Hingga 5 Agustus 2020 tercatat jumlah fintech lending yang terdaftar dan berizin di OJK sebanyak 158 perusahaan dan sampai 30 Juni 2020 jumlah akumulasi penyaluran pinjaman per 30 Juni 2020 sebesar Rp113,46 triliun atau mengalami peningkatan 153,23% yoy. Nilai penyaluran pinjaman yang cukup besar bagi sebuah sektor industri keuangan yang baru berjalan sekitar tiga tahun.
OJK bersama Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) kemudian juga sudah secara masif dan aktif melakukan sosialisasi kepada masyarakat melalui berbagai saluran komunikasi untuk mengarahkan masyarakat bijak menggunakan fintech lending ini terutama kepada para peminjam dana, agar memahami risiko dan tata cara meminjam di fintech lending agar terlindungi kepentingannya. Masyarakat yang meminjam dana di fintech lending diarahkan untuk memanfaatkannya guna keperluan yang produktif dan bertanggungjawab untuk mengembalikan pinjamannya sesuai perjanjian.
Fintech Lending Ilegal
Potensi besar fintech lending sebagai alternatif pembiayaan usaha mikro dan kecil ini dalam perkembangannya dibayangi ancaman yang meresahkan akibat maraknya fintech lending yang ilegal, yang tidak terdaftar dan berizin dari OJK sehingga tidak diawasi oleh OJK, namun jumlahnya sangat banyak beredar menawarkan pinjaman melalui SMS atau iklan di website internet.
Satgas Waspada Investasi sejak tahun 2018 sampai Juni 2020 sudah berhasil menindak fintech lending ilegal sebanyak 2591 entitas. Namun, Ketua Satgas Waspada Investasi Tongam L Tobing menjelaskan bahwa di luar yang sudah ditutup oleh Satgas, masih banyak jumlah fintech lending ilegal yang beredar di masyarakat, karena setelah ditutup, para pelaku langsung membuat entitas baru pinjaman online ilegal ini.
Media massa beberapa waktu lalu banyak memberitakan masyarakat yang menjadi korban fintech lending ilegal. Mereka dikenakan bunga yang sangat tinggi dari pinjaman, dan saat mereka tidak mampu membayar berbagai teror penagihan mereka terima. Debt collector fintech ilegal tidak segan melakukan penagihan dengan kasar disertai ancaman, penyebaran informasi ke berbagai kontak di telepon, bahkan sampai penyebaran foto yang melecehkan.
Ancaman-ancaman itu bisa terjadi karena fintech lending ilegal berhasil meminta peminjam untuk memberikan akses kontak telepon, foto dan data lainnya. Hal yang sebenarnya dilarang oleh OJK untuk dilakukan oleh fintech lending yang terdaftar dan berizin, karena mereka hanya boleh meminta akses kamera, microphone, dan lokasi, guna mencegah penyalahgunaan akses peminjam tersebut.
Analis Junior Direktorat Hubungan Masyarakat Otoritas Jasa Keuangan
TEKNOLOGI telah mengubah peradaban dunia. Mengubah semua aspek kehidupan termasuk di dalam industri jasa keuangan. Masyarakat yang dulu harus datang ke kantor bank, kini sudah bisa dengan mudah menyimpan dan menabung uang melalui internet banking ataupun mobile banking di telepon genggam atau komputernya. Tidak hanya itu, belakangan ini masyarakat bahkan dengan gampang bisa meminjam uang lewat perangkat telekomunikasi melalui aplikasi financial technology peer to peer lending atau sering disingkat fintech lending yang banyak disebut juga pinjaman online.
Aplikasi fintech lending ini dapat diunduh dengan sangat mudah oleh masyarakat melalui playstore dan appstore. Kemudian dengan persyaratan yang sederhana, cukup dengan mengisi data sesuai KTP dan nomor rekening maka pinjaman akan segera dicairkan. Industri fintech lending yang borderless ini kemudian menyebar dan menjamur ke pelosok daerah melalui jaringan seluler di telepon genggam masyarakat, yang jumlahnya sekarang sudah dua kali jumlah penduduk Indonesia.
Bagi perkembangan industri jasa keuangan, tentu saja, kehadiran fintech lending merupakan angin segar yang bisa meningkatkan inklusi atau pemanfaatan produk keuangan dan bermuara pada peningkatan kesejahteraan masyarakat. Melalui fintech lending sektor usaha mikro dan kecil semakin memiliki alternatif dalam mendapatkan pinjaman untuk mengembangkan bisnisnya tanpa harus melewati banyak persyaratan seperti yang diminta perbankan dan perusahaan pembiayaan.
Otoritas Jasa Keuangan cukup tanggap dengan perkembangan teknologi di industri jasa keuangan ini yang dengan cepat di akhir 2016 mengeluarkan Peraturan OJK (POJK) Nomor 77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi, sehingga semua platform yang melakukan usaha pinjam meminjam uang harus memiliki izin dan terdaftar di OJK. Hingga 5 Agustus 2020 tercatat jumlah fintech lending yang terdaftar dan berizin di OJK sebanyak 158 perusahaan dan sampai 30 Juni 2020 jumlah akumulasi penyaluran pinjaman per 30 Juni 2020 sebesar Rp113,46 triliun atau mengalami peningkatan 153,23% yoy. Nilai penyaluran pinjaman yang cukup besar bagi sebuah sektor industri keuangan yang baru berjalan sekitar tiga tahun.
OJK bersama Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) kemudian juga sudah secara masif dan aktif melakukan sosialisasi kepada masyarakat melalui berbagai saluran komunikasi untuk mengarahkan masyarakat bijak menggunakan fintech lending ini terutama kepada para peminjam dana, agar memahami risiko dan tata cara meminjam di fintech lending agar terlindungi kepentingannya. Masyarakat yang meminjam dana di fintech lending diarahkan untuk memanfaatkannya guna keperluan yang produktif dan bertanggungjawab untuk mengembalikan pinjamannya sesuai perjanjian.
Fintech Lending Ilegal
Potensi besar fintech lending sebagai alternatif pembiayaan usaha mikro dan kecil ini dalam perkembangannya dibayangi ancaman yang meresahkan akibat maraknya fintech lending yang ilegal, yang tidak terdaftar dan berizin dari OJK sehingga tidak diawasi oleh OJK, namun jumlahnya sangat banyak beredar menawarkan pinjaman melalui SMS atau iklan di website internet.
Satgas Waspada Investasi sejak tahun 2018 sampai Juni 2020 sudah berhasil menindak fintech lending ilegal sebanyak 2591 entitas. Namun, Ketua Satgas Waspada Investasi Tongam L Tobing menjelaskan bahwa di luar yang sudah ditutup oleh Satgas, masih banyak jumlah fintech lending ilegal yang beredar di masyarakat, karena setelah ditutup, para pelaku langsung membuat entitas baru pinjaman online ilegal ini.
Media massa beberapa waktu lalu banyak memberitakan masyarakat yang menjadi korban fintech lending ilegal. Mereka dikenakan bunga yang sangat tinggi dari pinjaman, dan saat mereka tidak mampu membayar berbagai teror penagihan mereka terima. Debt collector fintech ilegal tidak segan melakukan penagihan dengan kasar disertai ancaman, penyebaran informasi ke berbagai kontak di telepon, bahkan sampai penyebaran foto yang melecehkan.
Ancaman-ancaman itu bisa terjadi karena fintech lending ilegal berhasil meminta peminjam untuk memberikan akses kontak telepon, foto dan data lainnya. Hal yang sebenarnya dilarang oleh OJK untuk dilakukan oleh fintech lending yang terdaftar dan berizin, karena mereka hanya boleh meminta akses kamera, microphone, dan lokasi, guna mencegah penyalahgunaan akses peminjam tersebut.