Soal Isu Wanita Harus Punya Satu Anak Perempuan, BKKBN: Bukan Mewajibkan

Senin, 08 Juli 2024 - 15:23 WIB
loading...
Soal Isu Wanita Harus...
Kepala BKKBN dokter Hasto menegaskan, soal perempuan harus punya satu anak perempuan bukan mewajibkan. Foto/istimewa
A A A
JAKARTA - Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional ( BKKBN ) dokter Hasto menanggapi terkait pernyataannya soal satu wanita melahirkan rerata satu anak perempuan agar Penduduk Tumbuh Seimbang (PTS) terjaga. Pernyataan tersebut bukan merupakan mewajibkan.

Hal itu disampaikan dokter Hasto saat menghadiri menghadiri High Level Meeting Komite Kebijakan Sektor Kesehatan Triwulan II, bersama Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin, Direktur Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, dan Pelaksana Tugas Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) di Yogyakarta, akhir pekan lalu.

“Rata-rata perempuan punyak anak sudah tidak dua, kalau di daerah tertentu seperti Bali, DKI, DI Yogyakarta (karena TFR sudah di bawah 2,1). Sebetulnya rata-rata perempuan punya dua anak itu penting," katanya, Senin (8/7/2024).



Dia menegaskan kata rata-rata satu anak perempuan, bukan mewajibkan. “Kalau depan rumah punya anak perempuannya dua, belakang rumah nggak punya anak perempuan no problem. Jangan dipelintir ya, tapi rata-rata. Di kampung ada perempuan 10. Mestinya besok pada generasi berikutnya minimal juga ada perempuan 10. Tapi rata-rata kan ini. Karena tugas kita menjaga agar pertumbuhan penduduk seimbang,” jelasnya.

Dia juga mengungkap ancaman minus growth di beberapa Klkota dengan Total Fertility Rate (TFR) di bawah 2,1. “Yogya rata-rata melahirkannya sudah di bawah 2. Yogya ini sudah 1,9. Makanya hati-hati daerah-daerah tertentu seperti DKI, Bali, DIY bisa mengalami minus growth,” ucapnya.



Hal ini, karena rata-rata pendidikan di DI Yogyakarta tinggi, kemudian rata-rata nikah perempuan di DI Yogyakarta sudah di atas 22 tahun. Dia juga mengingatkan agar perempuan juga tidak terlalu tua saat melahirkan. “Perempuan itu usia suburnya setelah umur 35 sudah decline, turun. Telur perempuan kalau sudah 38 tahun itu sudah tinggal 10%, ya hati-hati,” tambahnya.

Di sisi lain, bonus demografi di Indonesia menutup lebih cepat. Negara sebenarnya mendapatkan kesempatan kaya dan pendapatan perkapita masyarakat bisa naik cepat pada periode bonus demografi. Pada 2035 Indonesia harus berhati-hati karena lansia sudah jauh lebih banyak dibandingkan jumlah anak-anaknya. Sementara di 2035 umumnya lansia berpendidikan dan memiliki ekonomi rendah.

Dia menyebut beratnya menaikkan pendapatan perkapita karena yang bekerja sedikit. “Kalau seandainya sekarang angka stuntingnya sudah tinggi, kemudian kualitasnya nggak bagus, terus jumlahnya sedikit, waduh berat sekali menyangga beban,” tutupnya.

pada kesempatan yang sama menjelaskan tugas BKKBN di antaranya peningkatan kualitas kesehatan ibu dan anak. “Yang ada irisannya dengan kerja BKKBN saya kira kualitas SDM melalui keluarga,” ungkapnya.

Dokter Hasto mengungkapkan, BKKBN dalam pertemuan ini akan mendiskusikan bersama Kemenkes, BPJS, dan BPPOM tentang Keluarga Berencana, pelayanan terkait dengan stunting, dan juga integrasi dengan BPJS dan BPPOM.

Sementara itu, Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin mendukung kebijakan BKKBN terkait kebijakan PTS. Di mana kebijakan tersebut mempertahankan TFR di angka 2,1. “Kita mendukung sekali, setiap kita ada meeting G-20, banyak kepala negara yang sekarang concern, karena penduduknya menua, tidak produktif, dan populasinya menurun. Sehingga negaranya tidak bisa tumbuh. GDP-nya tuh nggak bisa tumbuh di atas 4% per tahun," urainya.

"Kalau kita masih mau mengngejar supaya jadi negara maju, pertumbuhan GDP-nya cukup tinggi, jumlah usia produktif tinggi. Itu perhitungan beliau (BKKBN) total fertility ratenya minimal harus 2,1. Kalau turun di bawah itu tapi kita belum menjadi negara maju akan lebih sulit untuk mencapai ke sana,” katanya.

Budi menyebut pertemuan triwulanan ini adalah upaya koordinasi dan sinkronisasi kebijakan di bidang kesehatan antarkementerian, lembaga dan pihak terkait. “Di UU Kesehatan ada Komite Kebijakan Sektor Kesehatan di mana kita diminta untuk bisa lebih mengintegrasikan rencana, kebijakan, monitoring dan evaluasi dari kebijakan yang dibuat,” ujarnya.

Budi mengungkapkan, pertemuan ini adalah kali ketiga untuk mencari bentuk, menjalin komunikasi, dan juga saling mengenal satu sama lain antarkementerian dan lembaga di bidang kesehatan. “Saya merasa sudah tiga kali integrasinya sudah jalan. Jadi, saya harapkan ke depannya semua permasalahan di sektor kesehatan kita bisa didiskusikan bareng-bareng, enggak sendiri-sendiri. Sehingga bisa saling sinergi,” tambahnya.

Pada acara ini juga ditandatangani Kesepakatan Bersama Komite Kebijakan Sektor Kesehatan antara Kemenkes, BPJS, BPPOM, dan BKKBN tentang Integrasi Service Delivery dan Interoperabilitas Data Bidang Kesehatan.

“Ketauan di BPJS misalnya sakitnya apa, di kita datanya ada, nah itu bisa di integrasi. Kita (Kemenkes) punya data ibu anak, BKKBN ada data ibu anak, itu bisa diintegrasi. Sehingga teman-teman daerah enggak usah data entrynya dua kali. Dan datanya jadi lebih bagus kualitasnya karena data yang dari beliau (BKKBN),” imbuh Budi.

Selain Menteri Kesehatan dan Kepala BKKBN, High Level Meeting Komite Kebijakan Sektor Kesehatan Triwulan II dihadiri juga Direktur Utama BPJS Kesehatan Ali Ghufron Mukti; Ketua Dewan Pengawas BPJS Kesehatan Abdul Kadir; Ketua Komisi Pengawasan, Monitoring & Evaluasi, Muttaqien; Pelaksana Tugas Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Rizka Andalusia; dan para pejabat Pimpinan Tinggi Madya dan Pratama Kementerian/Lembaga.
(cip)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1966 seconds (0.1#10.140)