Memilih (Tidak) Aborsi

Jum'at, 21 Agustus 2020 - 20:03 WIB
loading...
A A A
Faktor ketiga, adalah terkait lemahnya penegakan hukum atas kasus abortus criminalis sehingga tidak menimbulkan efek jera pada pelaku abortus criminalis maupun pihak yang melakukan praktek untuk membantu pihak yang melakukan abortus criminalis. Demikian juga dengan aspek pengawasan dari dinas terkait yang masih lemah turut mendorong tingginya terjadinya praktek abortus criminalis. Pada prinsipnya secara kriminologis hubungan antara pihak yang melakukan abortus criminalis dan oknum yang berpraktek membantu melakukan abortus criminalis adalah ‘supply and demand’ sehingga mata rantai tersebut seharusnya diputuskan dengan penegakan hukum yang tegas serta pengawasan yang optimal.

Solusi ‘Pro Life’
Solusi yang paling utama atas persoalan tingginya angka abortus criminalis ini adalah faktor kesadaran ‘pro life’ (menghargai kehidupan lain) pada diri pelaku aborsi secara ilegal tersebut. Selama ini para pelaku abortus criminalis selalu berorientasi pada justifikasi ‘pro choice’ (hak untuk memilih). Kesadaran pro life inilah yang harus ditumbuh kembangkan dalam diri setiap manusia sehingga tidak terjadi upaya pembenaran atas terjadinya aborsi secara ilegal. Menganut pada rezim hukum kesehatan di Indonesia ‘pro choice’ hanya dapat dipergunakan secara terbatas dalam hal adanya indikasi medis yang mengancam ibu yang akan melahirkan atau faktor lainnya yang dikualifikasikan sebagai abortus provocatus dalam KUHP.

Demikian juga terkait dengan faktor abortus criminalis yang disebabkan oleh masyarakat atau bahkan lingkungan terdekat. Kesadaran ‘pro life’ dalam masyarakat harus ditumbuhkan dengan adanya kesadaran bahwa setiap makhluk hidup termasuk janin memiliki hak hidup dan adanya dukungan dari masyarakat kepada bayi tersebut kelak dengan tidak memberikan stigma negatif maupun diskriminasi, termasuk dalam hal catatan kependudukan.

Faktor terakhir adalah harus adanya penegakan hukum yang tegas terhadap pelaku abortus criminalis sehingga akan tumbuh efek jera, mengingat dalam hal ini hukum harus berfungsi untuk menata perilaku masyarakat. Hukum sebagai ‘ultimum remidium’ yakni upaya terakhir yang bisa dilakukan pemerintah untuk mencegah terjadinya abortus criminalis harus dapat berfungsi untuk menumbuhkan kesadaran ‘pro life’ yang merupakan hak asasi manusia.

Terakhir dalam hal ini mengingat tingginya dan berulangnya kasus abortus criminalis maka dinas kesehatan harus meningkatkan pengawasan untuk memastikan agar abortus criminalis tidak terulang kembali. Demikian juga dalam hal ini perlu peran serta dari Ikatan Dokter Indonesia mengingat oknum yang berpraktek membantu abortus criminalis adalah oknum dokter dan perawat sehingga dalam hal ini pengawasan dan peran serta dari organisasi profesi sangat besar artinya untuk menekan praktek abortus criminalis, utamanya mengingat profesi dokter dan tenaga kesehatan senantiasa berpegang pada doktrin ‘pro life’.
(ras)
Halaman :
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.0612 seconds (0.1#10.140)