Efektivitas Pembentukan Satgas Judi Online
loading...
A
A
A
Satgas-satgas tersebut merupakan respon atas permasalahan yang sedang terjadi, dengan mengedepankan kerjasama atau kolaborasi antar-lembaga, termasuk bersama institusi penegak hukum sebagai senjata penegakan hukum atau pemberi efek jera.
Mengambil contoh pembentukan Satgas mafia tanah yang baru dibentuk dibawah komando Kementerian ATR/BPN, dibentuk untuk memerangi mafia pertanahan yang telah menyebabkan berbagai permasalahan seperti sengketa atau konflik yang merugikan masyarakat. Tujuan operasi satgas ini menitikberatkan pada pencegahan dan penindakan, termasuk penataan SDM dan kelembagaan.
Akan tetapi, hingga saat ini permasalahan tanah ternyata masih terus terjadi. DPR misalnya masih terus menerima pengaduan masyarakat yang terkait sengketa dan konflik tanah yang berkepanjangan dan cenderung dihadapkan dengan aparat penegak hukum. Uniknya, dalam setiap permasalahan yang terjadi, masyarakat seolah justru dipolarisasi dengan penguasa dan korporasi serta kemudian dihadapkan dengan aparat.
Permasalahan yang sebetulnya mudah untuk dicegah dan diselesaikan, terutama jika terdapat keseriusan untuk menata dan menertibkan kebijakan administrasi negara maupun mekanisme penyelesaian sengketa kepemilikan atau hak atas tanah yang berkeadilan, transparan, responsif, dan berkepastian hukum.
Dalam beberapa contoh satgas yang telah ada, terlihat dibentuk untuk menghadapi berbagai perkembangan atau dinamika dalam masyarakat, terutama yang terkait dengan permasalahan hukum. Penulis melihat bahwa hal ini merupakan respons Presiden atau Pemerintah untuk menunjukkan keseriusan dengan fokus tertentu dalam penyelsaian sebuah permasalahan.
Pembentukan satgas menjadi sebuah respon Pemerintah agar tidak dinilai diam saja ketika terdapat sebuah permasalahan yang beredar luas di masyarakat. Akan tetapi, penulis juga berpendapat bahwa pembentukan satgas tidak boleh hanya berhenti untuk sebuah gestur politis, tetapi harus memiliki target atau tolok ukur pencapaiannya. Publik pasti akan menunggu berbagai gebrakan atau terobosan apa saja yang akan dibuat oleh Satgas ini.
Penulis mencotohkan tentang kebijakan anti Narkoba yang terus menerus digaungkan, dari pembentukan satgas, peraturan perundang-undangan, hingga banyak sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat. Namun permasalahan Narkoba tidak kunjung selesai, malah justru meningkat.
Demikian pula dengan permasalahan tanah, penanganan HAM, dan pemeliharaan lingkungan hidup. Seolah hilang lalu ada kembali. Hal ini mengindikasikan ada yang salah dengan kebijakan dan/atau implementasinya, yang tidak hanya diselesaikan sekedar dengan pembentukan sebuah Satuan Tugas.
Dalam berbagai permasalahan, terlihat beberapa hal yang berulang dan perlu diperhatikan oleh Presiden dan pemerintahannya, antara lain adanya permasalahan profesionalitas, akuntabilitas, dan tata kelola Sumber Daya Manusia (SDM) dan kelembagaan dalam pengambilan kebijakan.
Berbagai permasalahan banyak melibatkan “orang dalam” atau oknum yang memanfaatkan celah, yang uniknya disadari atau bahkan diciptakan sendiri. Selain itu, banyak kebijakan yang tidak terlalu pro kepada rakyat sehingga lebih banyak dianggap memihak kepada kepentingan golongan tertentu atau korporasi, yang pada ujungnya tidak menyentuh masyarakat.
Mengambil contoh pembentukan Satgas mafia tanah yang baru dibentuk dibawah komando Kementerian ATR/BPN, dibentuk untuk memerangi mafia pertanahan yang telah menyebabkan berbagai permasalahan seperti sengketa atau konflik yang merugikan masyarakat. Tujuan operasi satgas ini menitikberatkan pada pencegahan dan penindakan, termasuk penataan SDM dan kelembagaan.
Akan tetapi, hingga saat ini permasalahan tanah ternyata masih terus terjadi. DPR misalnya masih terus menerima pengaduan masyarakat yang terkait sengketa dan konflik tanah yang berkepanjangan dan cenderung dihadapkan dengan aparat penegak hukum. Uniknya, dalam setiap permasalahan yang terjadi, masyarakat seolah justru dipolarisasi dengan penguasa dan korporasi serta kemudian dihadapkan dengan aparat.
Permasalahan yang sebetulnya mudah untuk dicegah dan diselesaikan, terutama jika terdapat keseriusan untuk menata dan menertibkan kebijakan administrasi negara maupun mekanisme penyelesaian sengketa kepemilikan atau hak atas tanah yang berkeadilan, transparan, responsif, dan berkepastian hukum.
Dalam beberapa contoh satgas yang telah ada, terlihat dibentuk untuk menghadapi berbagai perkembangan atau dinamika dalam masyarakat, terutama yang terkait dengan permasalahan hukum. Penulis melihat bahwa hal ini merupakan respons Presiden atau Pemerintah untuk menunjukkan keseriusan dengan fokus tertentu dalam penyelsaian sebuah permasalahan.
Pembentukan satgas menjadi sebuah respon Pemerintah agar tidak dinilai diam saja ketika terdapat sebuah permasalahan yang beredar luas di masyarakat. Akan tetapi, penulis juga berpendapat bahwa pembentukan satgas tidak boleh hanya berhenti untuk sebuah gestur politis, tetapi harus memiliki target atau tolok ukur pencapaiannya. Publik pasti akan menunggu berbagai gebrakan atau terobosan apa saja yang akan dibuat oleh Satgas ini.
Penulis mencotohkan tentang kebijakan anti Narkoba yang terus menerus digaungkan, dari pembentukan satgas, peraturan perundang-undangan, hingga banyak sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat. Namun permasalahan Narkoba tidak kunjung selesai, malah justru meningkat.
Demikian pula dengan permasalahan tanah, penanganan HAM, dan pemeliharaan lingkungan hidup. Seolah hilang lalu ada kembali. Hal ini mengindikasikan ada yang salah dengan kebijakan dan/atau implementasinya, yang tidak hanya diselesaikan sekedar dengan pembentukan sebuah Satuan Tugas.
Dalam berbagai permasalahan, terlihat beberapa hal yang berulang dan perlu diperhatikan oleh Presiden dan pemerintahannya, antara lain adanya permasalahan profesionalitas, akuntabilitas, dan tata kelola Sumber Daya Manusia (SDM) dan kelembagaan dalam pengambilan kebijakan.
Berbagai permasalahan banyak melibatkan “orang dalam” atau oknum yang memanfaatkan celah, yang uniknya disadari atau bahkan diciptakan sendiri. Selain itu, banyak kebijakan yang tidak terlalu pro kepada rakyat sehingga lebih banyak dianggap memihak kepada kepentingan golongan tertentu atau korporasi, yang pada ujungnya tidak menyentuh masyarakat.