Persekongkolan Tender, MA Vonis 4 Perusahaan Bayar Denda Rp5 Miliar
loading...
A
A
A
Empat, menghukum terlapor IV (PT Ayem Mulya Abadi) membayar denda sebesar Rp1 miliar. Lima, menghukum terlapor V (PT Ayem Mulya Aspalmix) membayar denda sebesar Rp1 miliar. Enam, menghukum terlapor VI (PT Ratna) membayar denda sejumlah Rp1 miliar. Denda tersebut masing-masing harus dibayarkan PT Ayem Mulya Abadi, PT Ayem Mulya Aspalmix, dan PT Ratna dengan disetor ke kas negara sebagai setoran pendapatan denda pelanggaran di bidang persaingan usaha dengan ketentuan yang sama seperti PT Kediri Putra.
"Tujuh, melarang Terlapor III, Terlapor IV, Terlapor V, dan Terlapor VI untuk mengikuti pengadaan barang dan jasa secara bersama-sama pada paket pekerjaan yang sama. Delapan, melarang Terlapor III untuk mengikuti tender dalam lingkup jasa konstruksi jalan yang menggunakan dana APBN dan APBD di seluruh Indonesia selama 1 tahun sejak putusan ini memiliki kekuatan hukum tetap. Sembilan, memerintahkan Terlapor III, Terlapor IV, Terlapor V, dan Terlapor VI untuk melaporkan dan menyerahkan salinan bukti pembayaran denda tersebut ke KPPU," kata Yakup.(Baca juga: Kadang Cepat Kadang Lambat, MA Ungkap Alasan di Balik Putusan)
Putusan ini diambil dalam rapat musyawarah majelis hakim pada Selasa, 19 Mei 2020. Putusan diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum pada hari itu juga oleh ketua majelis dengan dihadiri dua hakim anggota tersebut serta NL Perginasari AR sebagai panitera pengganti. Para pihak tidak dihadiri saat pengucapan putusan.
Majelis hakim kasasi mengungkapkan ada dua pertimbangan majelis menilai judex facti tidak salah menerapkan hukum. Satu di antaranya, alasan-alasan kasasi para pemohon kasasi mengenai penilaian hasil pembuktian yang bersifat penghargaan tentang suatu kenyataan, tidak dapat dipertimbangkan dalam pemeriksaan pada tingkat kasasi.
Pasalnya, pemeriksaan dalam tingkat kasasi hanya berkenaan dengan adanya kesalahan penerapan hukum, adanya pelanggaran hukum yang berlaku, adanya kelalaian dalam memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya putusan yang bersangkutan atau bila pengadilan tidak berwenang atau melampaui batas wewenangnya.
"Sebagaimana yang dimaksud Pasal 30 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009," bunyi pertimbangan putusan kasasi.
Majelis hakim kasasi melanjutkan, ada dua pertimbangan utama putusan PN Tulungagung harus diperbaiki sepanjang mengenai amar pada nomor 3 dan nomor 8. Pertama, menurut Mahkamah Agung, untuk memberikan keadilan dalam menjatuhkan putusan di samping pedoman yang ada dalam UU perlu pula dipertimbangkan keadaan kondisi perusahaan terlapor. Sehingga jangan sampai terjadi pengenaan denda dan penghukuman melarang ikut tender menjadikan pelaku usaha bangkrut. Musababnya, tujuan utama pemberian sanksi tersebut adalah untuk pembinaan terhadap pelaku usaha supaya tidak melakukan kembali perbuatan yang dilarang oleh UU.
"Jika sanksi denda yang dijatuhkan terlalu besar, maka dimungkinkan akan terjadinya kemacetan likuiditas keuangan dari pelaku usaha yang bisa berdampak lebih besar misalnya terjadinya pemutusan hubungan kerja (PHK) dan lain-lain," kata majelis hakim .
Kedua, oleh karena itu juga maka perlu perincian atas perhitungan denda. Di mana pelaku usaha seharusnya mempunyai hak untuk mengetahui dasar penghitungan denda yang dikenakan. Jika hak tersebut tidak terpenuhi, maka hal ini juga bertentangan dengan prinsip hukum acara perdata, di mana setiap jumlah yang didalilkan haruslah dibuktikan dasar penghitungannya. Namun hal itu tidak terbukti dalam penghitungan majelis KPPU.
"Oleh karena itu perlu dikoreksi menyangkut pengenaan denda tersebut, sebagaimana yang ditentukan dalam amar putusan a quo," katanya.
"Tujuh, melarang Terlapor III, Terlapor IV, Terlapor V, dan Terlapor VI untuk mengikuti pengadaan barang dan jasa secara bersama-sama pada paket pekerjaan yang sama. Delapan, melarang Terlapor III untuk mengikuti tender dalam lingkup jasa konstruksi jalan yang menggunakan dana APBN dan APBD di seluruh Indonesia selama 1 tahun sejak putusan ini memiliki kekuatan hukum tetap. Sembilan, memerintahkan Terlapor III, Terlapor IV, Terlapor V, dan Terlapor VI untuk melaporkan dan menyerahkan salinan bukti pembayaran denda tersebut ke KPPU," kata Yakup.(Baca juga: Kadang Cepat Kadang Lambat, MA Ungkap Alasan di Balik Putusan)
Putusan ini diambil dalam rapat musyawarah majelis hakim pada Selasa, 19 Mei 2020. Putusan diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum pada hari itu juga oleh ketua majelis dengan dihadiri dua hakim anggota tersebut serta NL Perginasari AR sebagai panitera pengganti. Para pihak tidak dihadiri saat pengucapan putusan.
Majelis hakim kasasi mengungkapkan ada dua pertimbangan majelis menilai judex facti tidak salah menerapkan hukum. Satu di antaranya, alasan-alasan kasasi para pemohon kasasi mengenai penilaian hasil pembuktian yang bersifat penghargaan tentang suatu kenyataan, tidak dapat dipertimbangkan dalam pemeriksaan pada tingkat kasasi.
Pasalnya, pemeriksaan dalam tingkat kasasi hanya berkenaan dengan adanya kesalahan penerapan hukum, adanya pelanggaran hukum yang berlaku, adanya kelalaian dalam memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya putusan yang bersangkutan atau bila pengadilan tidak berwenang atau melampaui batas wewenangnya.
"Sebagaimana yang dimaksud Pasal 30 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009," bunyi pertimbangan putusan kasasi.
Majelis hakim kasasi melanjutkan, ada dua pertimbangan utama putusan PN Tulungagung harus diperbaiki sepanjang mengenai amar pada nomor 3 dan nomor 8. Pertama, menurut Mahkamah Agung, untuk memberikan keadilan dalam menjatuhkan putusan di samping pedoman yang ada dalam UU perlu pula dipertimbangkan keadaan kondisi perusahaan terlapor. Sehingga jangan sampai terjadi pengenaan denda dan penghukuman melarang ikut tender menjadikan pelaku usaha bangkrut. Musababnya, tujuan utama pemberian sanksi tersebut adalah untuk pembinaan terhadap pelaku usaha supaya tidak melakukan kembali perbuatan yang dilarang oleh UU.
"Jika sanksi denda yang dijatuhkan terlalu besar, maka dimungkinkan akan terjadinya kemacetan likuiditas keuangan dari pelaku usaha yang bisa berdampak lebih besar misalnya terjadinya pemutusan hubungan kerja (PHK) dan lain-lain," kata majelis hakim .
Kedua, oleh karena itu juga maka perlu perincian atas perhitungan denda. Di mana pelaku usaha seharusnya mempunyai hak untuk mengetahui dasar penghitungan denda yang dikenakan. Jika hak tersebut tidak terpenuhi, maka hal ini juga bertentangan dengan prinsip hukum acara perdata, di mana setiap jumlah yang didalilkan haruslah dibuktikan dasar penghitungannya. Namun hal itu tidak terbukti dalam penghitungan majelis KPPU.
"Oleh karena itu perlu dikoreksi menyangkut pengenaan denda tersebut, sebagaimana yang ditentukan dalam amar putusan a quo," katanya.