Bahaya Hoaks bagi Anak dan Remaja

Jum'at, 22 Maret 2019 - 06:05 WIB
Bahaya Hoaks bagi Anak dan Remaja
Bahaya Hoaks bagi Anak dan Remaja
A A A
KEMAJUAN teknologi digital dewasa ini ibarat pisau bermata dua. Di satu sisi memberi kemudahan bagi manusia dalam beraktivitas dan mencapai tujuan yang diinginkannya, tetapi di sisi lain juga membawa dampak negatif yang berpotensi merusak jika tidak disikapi dengan arif dan bijak. Media sosial (medsos) yang hari ini dengan mudah diakses masyarakat merupakan salah satu perwujudan dari kemajuan teknologi digital.Di satu sisi medsos bermanfaat sebagai medium bertukar informasi dan berinteraksi dengan orang lain yang jaraknya jauh secara lebih intensif, tetapi di sisi lain juga menampakkan sisi negatif yang mungkin tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Sisi negatif tersebut adalah maraknya penyebaran berita bohong atau hoaks. Medsos kini menjadi sarana efektif bagi pihak yang tak bertanggung jawab untuk memproduksi dan mereproduksi hoaks dengan tujuan tertentu.

Hoaks bekerja dengan mengeksploitasi sisi psikologis manusia yang dengan itu bisa menimbulkan keresahan, kecemasan, hilangnya penghormatan, bahkan berpotensi memicu pertikaian dan perpecahan di masyarakat.

Penyebaran hoaks seolah mendapatkan momentumnya ketika bangsa Indonesia bersiap menghadapi pemilihan umum yang digelar pada 17 April 2019. Rivalitas politik antarpendukung calon presiden yang bersaing di pemilu rupanya memicu persaingan yang keras dan menjurus tidak sehat. Demi meraih dukungan berbagai cara dilakukan, termasuk menyerang kubu lawan dengan hoaks. Kondisi "perang" di dunia maya ini sangat berbahaya karena rawan memicu gesekan di masyarakat sebagai akibat tindakan provokasi. Sejauh ini sudah banyak pihak yang berurusan dengan hukum lantaran menyebarkan hoaks.

Namun ancaman hoaks sesungguhnya tidak berhenti di situ. Ada akibat lain yang bersifat jangka panjang yang mesti diantisipasi, khususnya oleh kalangan orang tua. Hoaks kini dengan mudah dikonsumsi oleh anak-anak dan remaja. Penyebaran konten digital nyaris tanpa filter memungkinkan anak dan remaja mengakses informasi yang tidak bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya. Akibat buruk dari berita bohong adalah munculnya rasa saling curiga, sikap tak percaya, intoleransi, bahkan kebencian terhadap pihak atau kelompok tertentu. Usia muda dengan kemampuan mengolah informasi yang masih terbatas berpotensi membuat anak dan remaja mudah terpapar efek buruk dari hoaks.

Data dari Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) 2017, sekitar 143 juta orang kini telah terhubung jaringan internet. Sebanyak 49,52% adalah mereka yang berusia 19 hingga 34 tahun. Pengguna internet usia ini paling besar, disusul posisi kedua usia 35 hingga 54 tahun, yakni 29,55%. Adapun remaja usia ke-13 hingga ke-18 tahun menempati posisi ketiga dengan porsi 16,68%. Terakhir orang tua di atas 54 tahun hanya 4,24% memanfaatkan internet.

Dalam mendidik anak, tentu orang tua tidak bisa lagi sekadar mengandalkan peran guru di sekolah. Karena sumber informasi anak kini lebih banyak diperoleh melalui gawai, tidak ada jalan bagi orang tua selain terlibat lebih intensif mengawasi dan mendidik anak. Lalu, apa yang bisa dilakukan orang tua untuk menghindarkan anak dan remaja dari paparan hoaks?

Pertama, salah satu kunci bagi terciptanya relasi yang seimbang adalah komunikasi. Dalam hal ini, orang tua harus bertindak sebagai teman bagi anak. Penting untuk memberi contoh kepada anak untuk tidak mudah mengakses sumber-sumber informasi yang kredibilitasnya diragukan. Bahkan, kalau perlu, langsung menghapus konten-konten yang terindikasi bersifat provokatif atau menghasut adalah langkah bijak.

Kedua, anak juga perlu dibiasakan untuk mengonsumsi buku bacaan. Melatih anak agar melek literasi sangat penting di tengah banjir informasi yang ikut membawa "sampah" hoaks. Dibanding informasi di medsos, konten yang dimuat di buku jauh lebih bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya. Memberi anak hadiah buku bacaan adalah salah satu upaya menarik mereka untuk akrab dengan dunia literasi.

Ketiga, anak perlu dibiasakan untuk kritis dalam menerima informasi. Ajarkan untuk terbiasa melakukan verifikasi. Perlu ditegaskan bahwa sebelum memercayai sebuah cerita atau informasi dari orang lain, cek dulu kebenarannya. Penting untuk melatih anak-anak mengenali situs berita yang kredibel dan mengajarkan mereka agar hanya percaya itu sebagai sumber berita yang layak dipercaya.
(kri)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4245 seconds (0.1#10.140)