ICW Sebut Dana Aktivitas Digital Pemerintah Meningkat Sejak 2017
loading...
A
A
A
JAKARTA - Penggunaan jasa influencer oleh pemerintah sedang marak dibahas oleh publik. Salah satu yang membuat heboh adalah para selebritis yang memposting dukungan untuk Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja (RUU Ciptaker).
Indonesia Corruption Watch (ICW) melakukan penelusuran singkat mengenai anggaran pemerintah pusat untuk promosi di media sosial melalui layanan pengadaan secara elektronik (LPSE). Peneliti ICW Egi Primayogha menilai pemerintah Joko Widodo (Jokowi) sering menggunakan jasa influencer.
Dia mengungkapkan bahwa penggunaan influencer untuk mempromosikan sesuatu atau produk bukan lah hal baru. Dahulu praktik ini banyak dilakukan oleh perusahaan swasta. Kini bergeser, pemerintah pun kerap melakukannya.(
)
"Satu sisi, tidak masalah. Di sisi lain, informasi yang disampaikan influencer tidak selalu valid, tidak jarang menimbulkan disinformasi," ujarnya dalam diskusi daring dengan tema "Rezim Humas: Berapa Miliar Anggaran Influencer?", Kamis (20/8/2020).
Egi memberikan contoh penggunaan influencer mengenai penanganan COVID-19. Sejumlah selebritis diundang ke Istana, kemudian mereka menyosialisasikan berbagai kebijakan, seperti penggunaan kalung anti COVID-19. Tentu saja, yang terakhir adalah artis-artis yang menyatakan dukungan terhadap Omnibus Law Ciptaker.
Untuk itu, ICW mencoba mencari tahu anggaran pemerintah terkait aktivitas digital. ICW menggunakan beberapa kunci untuk menelusuri ini, seperti media sosial, influencer, key opinion leader, komunikasi, dan youtube. Hasilnya, ICW menemukan anggaran pemerintah pusat untuk aktivitas digital sebesar Rp1,29 triliun.
Egi menerangkan dana itu bukan hanya untuk influencer, tetapi juga terkait penyediaan infrastruktur kegiatan. Besaran anggaran untuk aktivitas digital semakin meningkat pada 2017. Pada periode 2014-2016, anggarannya Rp609 juta, Rp5,3 miliar, dan Rp606 juta.(Baca Juga: Gaet Wisatawan Asing Pakai Influencer, Pemerintah Anggarkan Rp72 Miliar)
Pada 2017, anggarannya mencapai Rp535,9 miliar. Pada tahun ini, anggaran yang dapat dilihat di LPSE mencapai Rp322,3 miliar. "Ini mungkin bisa meningkat karena belum dipublikasi di LPSE," ucap Egi.
Egi memaparkan beberapa kementerian yang menggunakan jasa influencer, seperti Pariwisata dan Ekonomi Kreatif ada 44 paket dengan nilai Rp263,29 miliar dan Kementerian Keuangan 17 paket dengan nilai Rp21,25 miliar. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) mempunyai 14 paket dengan nilai anggaran Rp1,95 miliar.
Egi mengungkapkan, anggaran aktivitas digital yang paling besar di kepolisian. Jumlah paketnya sebanyak 12 dengan nilai anggaran Rp927 miliar.
Dengan temuan ini, ICW menyimpulkan pemerintah telah menggelontorkan anggaran yang besar untuk aktivitas digital. Egi menyatakan Jokowi tidak percaya diri dengan program-programnya sehingga harus menggelontorkan anggaran untuk influencer.
ICW mendorong pemerintah untuk transparan dalam penggunaan anggaran ini. Jumlah anggaran yang telah dikeluarkan harus dipublikasi karena masyarakat berhak mengetahui. Kemudian, influencer harus menyatakan bahwa aktivitas atau postingan di media sosial itu berbayar atau mendukung pemerintah.
Penggunaan influencer, menurutnya, membuat peran humas di setiap kementerian dan lembaga menjadi mubazir. "Tren penggunaan influencer dapat menjadi kebiasaan pemerintah dalam mengambil jalan pintas, misalnya, memuluskan kebijakan yang kontroversial," katanya.
Lihat Juga: Pendidikan dr Azmi Fadhlih, Dokter Influencer yang Meninggal Dunia Setelah Nongkrong Bareng Arief Muhammad
Indonesia Corruption Watch (ICW) melakukan penelusuran singkat mengenai anggaran pemerintah pusat untuk promosi di media sosial melalui layanan pengadaan secara elektronik (LPSE). Peneliti ICW Egi Primayogha menilai pemerintah Joko Widodo (Jokowi) sering menggunakan jasa influencer.
Dia mengungkapkan bahwa penggunaan influencer untuk mempromosikan sesuatu atau produk bukan lah hal baru. Dahulu praktik ini banyak dilakukan oleh perusahaan swasta. Kini bergeser, pemerintah pun kerap melakukannya.(
Baca Juga
"Satu sisi, tidak masalah. Di sisi lain, informasi yang disampaikan influencer tidak selalu valid, tidak jarang menimbulkan disinformasi," ujarnya dalam diskusi daring dengan tema "Rezim Humas: Berapa Miliar Anggaran Influencer?", Kamis (20/8/2020).
Egi memberikan contoh penggunaan influencer mengenai penanganan COVID-19. Sejumlah selebritis diundang ke Istana, kemudian mereka menyosialisasikan berbagai kebijakan, seperti penggunaan kalung anti COVID-19. Tentu saja, yang terakhir adalah artis-artis yang menyatakan dukungan terhadap Omnibus Law Ciptaker.
Untuk itu, ICW mencoba mencari tahu anggaran pemerintah terkait aktivitas digital. ICW menggunakan beberapa kunci untuk menelusuri ini, seperti media sosial, influencer, key opinion leader, komunikasi, dan youtube. Hasilnya, ICW menemukan anggaran pemerintah pusat untuk aktivitas digital sebesar Rp1,29 triliun.
Egi menerangkan dana itu bukan hanya untuk influencer, tetapi juga terkait penyediaan infrastruktur kegiatan. Besaran anggaran untuk aktivitas digital semakin meningkat pada 2017. Pada periode 2014-2016, anggarannya Rp609 juta, Rp5,3 miliar, dan Rp606 juta.(Baca Juga: Gaet Wisatawan Asing Pakai Influencer, Pemerintah Anggarkan Rp72 Miliar)
Pada 2017, anggarannya mencapai Rp535,9 miliar. Pada tahun ini, anggaran yang dapat dilihat di LPSE mencapai Rp322,3 miliar. "Ini mungkin bisa meningkat karena belum dipublikasi di LPSE," ucap Egi.
Egi memaparkan beberapa kementerian yang menggunakan jasa influencer, seperti Pariwisata dan Ekonomi Kreatif ada 44 paket dengan nilai Rp263,29 miliar dan Kementerian Keuangan 17 paket dengan nilai Rp21,25 miliar. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) mempunyai 14 paket dengan nilai anggaran Rp1,95 miliar.
Egi mengungkapkan, anggaran aktivitas digital yang paling besar di kepolisian. Jumlah paketnya sebanyak 12 dengan nilai anggaran Rp927 miliar.
Dengan temuan ini, ICW menyimpulkan pemerintah telah menggelontorkan anggaran yang besar untuk aktivitas digital. Egi menyatakan Jokowi tidak percaya diri dengan program-programnya sehingga harus menggelontorkan anggaran untuk influencer.
ICW mendorong pemerintah untuk transparan dalam penggunaan anggaran ini. Jumlah anggaran yang telah dikeluarkan harus dipublikasi karena masyarakat berhak mengetahui. Kemudian, influencer harus menyatakan bahwa aktivitas atau postingan di media sosial itu berbayar atau mendukung pemerintah.
Penggunaan influencer, menurutnya, membuat peran humas di setiap kementerian dan lembaga menjadi mubazir. "Tren penggunaan influencer dapat menjadi kebiasaan pemerintah dalam mengambil jalan pintas, misalnya, memuluskan kebijakan yang kontroversial," katanya.
Lihat Juga: Pendidikan dr Azmi Fadhlih, Dokter Influencer yang Meninggal Dunia Setelah Nongkrong Bareng Arief Muhammad
(abd)