75 Tahun RI Merdeka, Pentingnya Menjaga Nilai Keindonesiaan Lewat Kurikulum
loading...
A
A
A
"Memasuki abad 21 ini, agar generasi muda tidak kehilangan cara untuk memahami jati diri bangsanya maka dirasa perlu untuk membangunkan generasi muda dengan menanamkan nilai-nilai luhur budaya warisan nenek moyang. Karenanya, globalisasi dan neoliberalisme tidak boleh menghanguskan itu semua," jelas Pontjo
Berdasarkan hasil pendidikan di beberapa tempat, lanjut dia, penanaman nilai keindonesiaan bagi warga negara harus lebih efektif jika kita ingin Indonesia tak makin tertinggal. Salah satu caranya dengan mengefektifkan sistem pendidikan nasional (SPN) yang berperan penting dalam penanaman nilai keindonesian kepada peserta didik.
SPN meliputi pendidikan formal (sekolah), pelatihan nonformal (kursus atau pelatihan) dan pendidikan informal (keluarga). Pendidikan menjadi salah satu upaya paling strategis untuk membentuk jiwa bangsa dan nilai keindonesiaan baik secara formal, informal, maupun nonformal. Ketiganya harus berjalan bersamaan dan terintegrasi. Sebab ini soal genting di masa penting.
Menurut Pontjo, Daoed Joesoef salah satu tokoh pendidikan nasional pernah mengatakan bahwa “sistem pendidikan nasional” dituntut untuk mampu mengantisipasi, merumuskan nilai-nilai dan menetapkan prioritas-prioritas dalam suasana perubahan yang tidak pasti agar generasi-generasi mendatang tidak menjadi “mangsa” dari proses yang semakin tidak terkendali di zaman mereka di kemudian hari. Jangan menanti apapun dari masa depan, karena kita sendirilah yang harus menyiapkannya.
"Dengan begitu, pendidikan kita memerlukan usaha revitalisasi agar ia menjadi alat pemenangan sebuah negara-bangsa di zaman global dan era perang modern. Memenangkan pendidikan via revitalisasi adalah memastikan kedaulatan masa kini, kemakmuran bersama dan kemartabatan kebangsaan-kemanusiaan sekarang dan masa depan," terangnya.
Yudi Haryono, Ketua Tim Penulis Naskah Akademik Sisbuddiknas menambahkan bahwa revitalisasi yang dilakukan bukan sembarang revitalisasi, melainkan harus revitalisasi pendidikan berbasis Pancasila dan Konstitusi, dengan semangat Proklamasi (pembebasan atas penjajahan), Bhinneka Tunggal Ika (pluralis), Sumpah Pemuda (bersatu), NKRI (menyeluruh dan nir-laba) dan berwawasan Nusantara serta berwawasan kebangsaan.
"Mengapa harus demikian? Sebab Pancasila merupakan kode genetik dan cetakan dasar bangsa Indonesia. Dengan basis tersebut serta hadirnya warga negara unggul yang terkelola, berwatak memimpin dan punya setrilyun kejeniusan maka usaha revitalisasi ini akan ditempuh demi, dari, oleh, dan untuk Indonesia Raya," ujarnya.
Sementara itu, Bambang Pharmasetiawan selaku Wakil Ketua Tim Penulis Naskah Akademik Sisbuddiknas menyoroti soal Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) dan tentang inklusi yang ada dalam naskah akademik tersebut. Pendidikan jarak jauh (PJJ) bukan metode baru dalam sistem pendidikan. Dalam bahasa Inggris disebut distance education.
"Metoda ini merupakan pendidikan formal berbasis media yang peserta didik dan instrukturnya berada di lokasi terpisah (baik karena antar daerah, antar pulau, maupun karena wabah virus seperti Corona yang mewajibkan social distancing dan karantina bahkan isolasi) sehingga memerlukan sistem telekomunikasi interaktif untuk menghubungkan keduanya dan berbagai sumber daya yang diperlukan di dalamnya," jelasnya.
Menurutnya, harus dipahami bahwa PJJ bukan memindahkan mentah-mentah pembelajaran tatap muka menjadi daring, di sinilah kreatifitas dan kemampuan guru-guru dituntut. Keberhasilan PJJ bergantung pada materi yang berkualitas yang disajikan dengan efektif, efisien, dan menarik. Untuk itu diperlukan perangkat keras dan perangkat lunak dan kemampuan guru dalam menguasai platform dan media digital, baik yang sinkronous maupun yang asinkronous.
"Selain itu jaminan internet yang memadai. Musibah pandemi COVID-19 dapat dijadikan momentum untuk mempercepat dan memasyarakatkan PJJ sebagai sarana untuk menjangkau daerah-daerah 3T dan daerah yang masih kekurangan guru. Inilah bukti negara hadir dalam pendidikan nasional," kata dia.
Berdasarkan hasil pendidikan di beberapa tempat, lanjut dia, penanaman nilai keindonesiaan bagi warga negara harus lebih efektif jika kita ingin Indonesia tak makin tertinggal. Salah satu caranya dengan mengefektifkan sistem pendidikan nasional (SPN) yang berperan penting dalam penanaman nilai keindonesian kepada peserta didik.
SPN meliputi pendidikan formal (sekolah), pelatihan nonformal (kursus atau pelatihan) dan pendidikan informal (keluarga). Pendidikan menjadi salah satu upaya paling strategis untuk membentuk jiwa bangsa dan nilai keindonesiaan baik secara formal, informal, maupun nonformal. Ketiganya harus berjalan bersamaan dan terintegrasi. Sebab ini soal genting di masa penting.
Menurut Pontjo, Daoed Joesoef salah satu tokoh pendidikan nasional pernah mengatakan bahwa “sistem pendidikan nasional” dituntut untuk mampu mengantisipasi, merumuskan nilai-nilai dan menetapkan prioritas-prioritas dalam suasana perubahan yang tidak pasti agar generasi-generasi mendatang tidak menjadi “mangsa” dari proses yang semakin tidak terkendali di zaman mereka di kemudian hari. Jangan menanti apapun dari masa depan, karena kita sendirilah yang harus menyiapkannya.
"Dengan begitu, pendidikan kita memerlukan usaha revitalisasi agar ia menjadi alat pemenangan sebuah negara-bangsa di zaman global dan era perang modern. Memenangkan pendidikan via revitalisasi adalah memastikan kedaulatan masa kini, kemakmuran bersama dan kemartabatan kebangsaan-kemanusiaan sekarang dan masa depan," terangnya.
Yudi Haryono, Ketua Tim Penulis Naskah Akademik Sisbuddiknas menambahkan bahwa revitalisasi yang dilakukan bukan sembarang revitalisasi, melainkan harus revitalisasi pendidikan berbasis Pancasila dan Konstitusi, dengan semangat Proklamasi (pembebasan atas penjajahan), Bhinneka Tunggal Ika (pluralis), Sumpah Pemuda (bersatu), NKRI (menyeluruh dan nir-laba) dan berwawasan Nusantara serta berwawasan kebangsaan.
"Mengapa harus demikian? Sebab Pancasila merupakan kode genetik dan cetakan dasar bangsa Indonesia. Dengan basis tersebut serta hadirnya warga negara unggul yang terkelola, berwatak memimpin dan punya setrilyun kejeniusan maka usaha revitalisasi ini akan ditempuh demi, dari, oleh, dan untuk Indonesia Raya," ujarnya.
Sementara itu, Bambang Pharmasetiawan selaku Wakil Ketua Tim Penulis Naskah Akademik Sisbuddiknas menyoroti soal Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) dan tentang inklusi yang ada dalam naskah akademik tersebut. Pendidikan jarak jauh (PJJ) bukan metode baru dalam sistem pendidikan. Dalam bahasa Inggris disebut distance education.
"Metoda ini merupakan pendidikan formal berbasis media yang peserta didik dan instrukturnya berada di lokasi terpisah (baik karena antar daerah, antar pulau, maupun karena wabah virus seperti Corona yang mewajibkan social distancing dan karantina bahkan isolasi) sehingga memerlukan sistem telekomunikasi interaktif untuk menghubungkan keduanya dan berbagai sumber daya yang diperlukan di dalamnya," jelasnya.
Menurutnya, harus dipahami bahwa PJJ bukan memindahkan mentah-mentah pembelajaran tatap muka menjadi daring, di sinilah kreatifitas dan kemampuan guru-guru dituntut. Keberhasilan PJJ bergantung pada materi yang berkualitas yang disajikan dengan efektif, efisien, dan menarik. Untuk itu diperlukan perangkat keras dan perangkat lunak dan kemampuan guru dalam menguasai platform dan media digital, baik yang sinkronous maupun yang asinkronous.
"Selain itu jaminan internet yang memadai. Musibah pandemi COVID-19 dapat dijadikan momentum untuk mempercepat dan memasyarakatkan PJJ sebagai sarana untuk menjangkau daerah-daerah 3T dan daerah yang masih kekurangan guru. Inilah bukti negara hadir dalam pendidikan nasional," kata dia.