Fenomena Oligarki Partai
A
A
A
Firman Noor
Kepala Puslit Politik LIPI
DI beberapa negara yang mengakui diri sebagai negara demokrasi, kerap muncul sebuah fenomena paradoks, di mana lembaga-lembaga demokrasi tidak saja terjebak dalam praktik oligarki namun pula menjadi akar bagi penciptaan oligarki itu sendiri. Tidak terkecuali di Indonesia. Salah satu institusi yang kemudian turut berperan dalam situasi tersebut adalah partai politik.
Pertanyaan yang kemudian kerap mengusik adalah bagaimana sebuah institusi demokrasi seperti partai bisa terjebak dalam lingkaran oligarki? Dalam kasus Indonesia keterjebakan itu disebabkan oleh beberapa hal. Di antaranya, pertama , keberadaan figur utama atau elite partai yang menjadi penentu dalam banyak hal, karena pada sebagian partai hingga kini tidak pula mendapatkan pengganti.
"Orang-orang kuat" ini muncul sebagai reprensentasi ideologis atau historis. Dalam konteks Indonesia saat ini, karena pada umumnya partai tidak bersifat ideologis, maka figuritas di kebanyakan partai disebabkan karena faktor kesejarahan terbentuknya partai atau sebuah "momen historis" yang menyebabkan seorang figur menjadi mencuat ke permukaan dan mendapat dukungan luas.Figur-firgur memainkan peran kesejarahan partai itu menyebabkan penghormatan, yang akhirnya kerap berlebihan sehingga keberadaannya berikut inner circle di dalamnya demikian kokoh. Partai-partai yang sejak awal diinisiasi, dibentuk, dan dijalankan oleh tokoh penentu, yang biasanya kemudian sebagai pimpinan partai, cenderung berpotensi mengalami situasi oligarkis.
Secara umum, kebanyakan partai kita juga tidak dibentuk secara kolektif oleh elemen masyarakat, seperti serikat pekerja atau komunitas yang mewakili kelas tertentu, atau yang mewakili kelompok-kelompok dasar sentimen primordial atau ideologis yang bekerja secara kolektif-kolegial.
Kondisi inilah yang pada akhirnya semakin menguatkan kehadiran dan peran personal. Tidak heran kemudian muncul belakangan ini istilah personalized party (Budi 2016) atau personalization of party (Ufen 2018) untuk menggambarkan beberapa partai berpengaruh di Indonesia. Keberadaan figur ini, di satu sisi mampu menghadirkan stabilitas partai. Namun, di sisi lain juga berpotensi besar menghadirkan model pengaturan dan tata kelola partai yang sentralistik.
Kedua, dalam perjalanannya, selain aspek historis ataupun ideologis, kehadiran para figur penentu yang melahirkan oligarki juga disebabkan adanya ketergantungan finansial partai pada sumber-sumber keuangan dimiliki atau jaringan yang dimiliki para figur itu.
Colin Crouch (2004) menggunakan istilah "firma politik" untuk menggambarkan ketergantungan finansial dan merembet pada struktur pembentukan partai yang pada akhirnya bagaimana partai dikelola. Partai-partai tersebut pada akhirnya cenderung bersifat "ultra-sentralistis" dan berperan terutama sebagai pelayan bagi kepentingan elite.
Situasi ini diperkuat oleh kondisi pragmatisme semakin kental saat ini karena money talks yang menyebabkan figur-figur kuat secara finansial akan bisa berperan amat besar. Dulu almarhum Cak Nur pernah menyinggung faktor ini dengan istilah kepemilikan "gizi".
Situasi ini sangat terasa terutama pada partai-partai yang tidak berorientasi values atau ideologi dalam aktivitasnya. Akibatnya, jaringan (networking ), konstelasi, ataupun kontestasi internal yang terbentuk saat ini lebih dipengaruhi oleh faktor kekuatan material-finansial.
Ketiga, hal lain turut berkontribusi untuk menciptakan oligarki karena pelembagaan partai yang belum sempurna. Pelembagaan partai itu sendiri singkatnya adalah sebuah kondisi ketika sistem yang dibangun partai dan segenap aturan main dihargai serta dijalankan secara konsisten selain terbangunnya pola sikap dan budaya dalam partai (Randall dan Svansand 2002).
Namun, yang terjadi saat ini pelembagaan masih berjalan stagnan bahkan mengalami regresi. Sistem dan aturan kerap ditafsirkan untuk kemudian disesuaikan demi kepentingan elite dan jaringan oligarkinya. Dalam momen-momen tertentu, pelaksanaan musyawarah menjadi semu. Keputusan partai kerap diambil sepihak. Sementara hukuman bagi mereka yang membangkang atau dianggap tidak loyal bisa diputuskan secara cepat, tanpa harus melalui tahapan-tahapan sebagaimana yang harus dilakukan.
Turunan dari lemahnya kelembagaan adalah proses kaderisasi yang mati suri. Pada akhirnya memungkinkan "figur-figur asing" untuk bisa langsung berada dalam lingkar kekuasaan, yang kiprahnya kebanyakan cenderung mengokohkan oligarki. Ketidakjelasan kaderisasi juga menyebabkan kader lebih terpicu untuk berlindung pada patron tertentu sehingga memuluskan pola hubungan patron-client , tentu saja mengganggu pembangunan demokrasi intrnal partai yang sehat.
Keempat , di sisi lain, tidak dapat dimungkiri bahwa AD/ART partai juga memberikan landasan bagi penguatan peran elite. Studi mengenai kandidasi partai, misalnya, menunjukkan dalam banyak hal, termasuk kandidasi, figur pimpinan partai menjadi demikian berkuasa, dan pada beberapa partai menjadi demikian absolut, karena aturan main internal memberi celah untuk itu. Kondisi ini tentu saja pada akhirnya mendorong perluasan rekayasa penciptaan kepatuhan buta yang mengorbankan semangat untuk kritis dan objektif.
Kelima , faktor eksternal turut memengaruhi aturan main terkait kepartaian dan kepemiluan yang secara umum masih memberikan celah bagi partai-partai untuk membangun oligarki dalam dirinya. Setidaknya hingga kini keharusan kaderisasi, pengelolaan keuangan partai yang mampu menetralisasi peran oligarki belum diatur secara tegas dan komprehensif. Selain itu, syarat ambang batas presiden maupun pencalonan kepala daerah yang memberikan peluang elite partai untuk saling bermanuver membangun koalisi juga turut berkontribusi secara tidak langsung bagi pengokohan kekuasaan elite maupun ketergantungan kader pada manuver elite.
Faktor eksternal lain yang turut memberikan kenyamanan para oligarki adalah sikap kurang kritis masyarakat atau civil society pada kondisi internal partai-partai. Akibatnya, partai tidak merasa terusik apalagi terpicu memperbaiki diri agar bisa benar-benar menjadi lembaga demokrasi yang mampu bersikap dan berperilaku demokratis. Mengingat kompleksitas penyebab oligarki di atas, tentu saja diperlukan pendekatan komprehensif mulai dari pembenahan internal partai, pengaderan aktor partai yang reformer, dukungan aturan main, hingga dukungan elemen-elemen civil society .
Pembenahan yang bersifat parsial dan tanpa dukungan komprehensif, jelas tidak akan membawa dampak signifikan bagi upaya pereduksian oligarki dalam partai politik. Sebuah situasi yang sesungguhnya telah melawan hakikat reformasi itu sendiri.
Kepala Puslit Politik LIPI
DI beberapa negara yang mengakui diri sebagai negara demokrasi, kerap muncul sebuah fenomena paradoks, di mana lembaga-lembaga demokrasi tidak saja terjebak dalam praktik oligarki namun pula menjadi akar bagi penciptaan oligarki itu sendiri. Tidak terkecuali di Indonesia. Salah satu institusi yang kemudian turut berperan dalam situasi tersebut adalah partai politik.
Pertanyaan yang kemudian kerap mengusik adalah bagaimana sebuah institusi demokrasi seperti partai bisa terjebak dalam lingkaran oligarki? Dalam kasus Indonesia keterjebakan itu disebabkan oleh beberapa hal. Di antaranya, pertama , keberadaan figur utama atau elite partai yang menjadi penentu dalam banyak hal, karena pada sebagian partai hingga kini tidak pula mendapatkan pengganti.
"Orang-orang kuat" ini muncul sebagai reprensentasi ideologis atau historis. Dalam konteks Indonesia saat ini, karena pada umumnya partai tidak bersifat ideologis, maka figuritas di kebanyakan partai disebabkan karena faktor kesejarahan terbentuknya partai atau sebuah "momen historis" yang menyebabkan seorang figur menjadi mencuat ke permukaan dan mendapat dukungan luas.Figur-firgur memainkan peran kesejarahan partai itu menyebabkan penghormatan, yang akhirnya kerap berlebihan sehingga keberadaannya berikut inner circle di dalamnya demikian kokoh. Partai-partai yang sejak awal diinisiasi, dibentuk, dan dijalankan oleh tokoh penentu, yang biasanya kemudian sebagai pimpinan partai, cenderung berpotensi mengalami situasi oligarkis.
Secara umum, kebanyakan partai kita juga tidak dibentuk secara kolektif oleh elemen masyarakat, seperti serikat pekerja atau komunitas yang mewakili kelas tertentu, atau yang mewakili kelompok-kelompok dasar sentimen primordial atau ideologis yang bekerja secara kolektif-kolegial.
Kondisi inilah yang pada akhirnya semakin menguatkan kehadiran dan peran personal. Tidak heran kemudian muncul belakangan ini istilah personalized party (Budi 2016) atau personalization of party (Ufen 2018) untuk menggambarkan beberapa partai berpengaruh di Indonesia. Keberadaan figur ini, di satu sisi mampu menghadirkan stabilitas partai. Namun, di sisi lain juga berpotensi besar menghadirkan model pengaturan dan tata kelola partai yang sentralistik.
Kedua, dalam perjalanannya, selain aspek historis ataupun ideologis, kehadiran para figur penentu yang melahirkan oligarki juga disebabkan adanya ketergantungan finansial partai pada sumber-sumber keuangan dimiliki atau jaringan yang dimiliki para figur itu.
Colin Crouch (2004) menggunakan istilah "firma politik" untuk menggambarkan ketergantungan finansial dan merembet pada struktur pembentukan partai yang pada akhirnya bagaimana partai dikelola. Partai-partai tersebut pada akhirnya cenderung bersifat "ultra-sentralistis" dan berperan terutama sebagai pelayan bagi kepentingan elite.
Situasi ini diperkuat oleh kondisi pragmatisme semakin kental saat ini karena money talks yang menyebabkan figur-figur kuat secara finansial akan bisa berperan amat besar. Dulu almarhum Cak Nur pernah menyinggung faktor ini dengan istilah kepemilikan "gizi".
Situasi ini sangat terasa terutama pada partai-partai yang tidak berorientasi values atau ideologi dalam aktivitasnya. Akibatnya, jaringan (networking ), konstelasi, ataupun kontestasi internal yang terbentuk saat ini lebih dipengaruhi oleh faktor kekuatan material-finansial.
Ketiga, hal lain turut berkontribusi untuk menciptakan oligarki karena pelembagaan partai yang belum sempurna. Pelembagaan partai itu sendiri singkatnya adalah sebuah kondisi ketika sistem yang dibangun partai dan segenap aturan main dihargai serta dijalankan secara konsisten selain terbangunnya pola sikap dan budaya dalam partai (Randall dan Svansand 2002).
Namun, yang terjadi saat ini pelembagaan masih berjalan stagnan bahkan mengalami regresi. Sistem dan aturan kerap ditafsirkan untuk kemudian disesuaikan demi kepentingan elite dan jaringan oligarkinya. Dalam momen-momen tertentu, pelaksanaan musyawarah menjadi semu. Keputusan partai kerap diambil sepihak. Sementara hukuman bagi mereka yang membangkang atau dianggap tidak loyal bisa diputuskan secara cepat, tanpa harus melalui tahapan-tahapan sebagaimana yang harus dilakukan.
Turunan dari lemahnya kelembagaan adalah proses kaderisasi yang mati suri. Pada akhirnya memungkinkan "figur-figur asing" untuk bisa langsung berada dalam lingkar kekuasaan, yang kiprahnya kebanyakan cenderung mengokohkan oligarki. Ketidakjelasan kaderisasi juga menyebabkan kader lebih terpicu untuk berlindung pada patron tertentu sehingga memuluskan pola hubungan patron-client , tentu saja mengganggu pembangunan demokrasi intrnal partai yang sehat.
Keempat , di sisi lain, tidak dapat dimungkiri bahwa AD/ART partai juga memberikan landasan bagi penguatan peran elite. Studi mengenai kandidasi partai, misalnya, menunjukkan dalam banyak hal, termasuk kandidasi, figur pimpinan partai menjadi demikian berkuasa, dan pada beberapa partai menjadi demikian absolut, karena aturan main internal memberi celah untuk itu. Kondisi ini tentu saja pada akhirnya mendorong perluasan rekayasa penciptaan kepatuhan buta yang mengorbankan semangat untuk kritis dan objektif.
Kelima , faktor eksternal turut memengaruhi aturan main terkait kepartaian dan kepemiluan yang secara umum masih memberikan celah bagi partai-partai untuk membangun oligarki dalam dirinya. Setidaknya hingga kini keharusan kaderisasi, pengelolaan keuangan partai yang mampu menetralisasi peran oligarki belum diatur secara tegas dan komprehensif. Selain itu, syarat ambang batas presiden maupun pencalonan kepala daerah yang memberikan peluang elite partai untuk saling bermanuver membangun koalisi juga turut berkontribusi secara tidak langsung bagi pengokohan kekuasaan elite maupun ketergantungan kader pada manuver elite.
Faktor eksternal lain yang turut memberikan kenyamanan para oligarki adalah sikap kurang kritis masyarakat atau civil society pada kondisi internal partai-partai. Akibatnya, partai tidak merasa terusik apalagi terpicu memperbaiki diri agar bisa benar-benar menjadi lembaga demokrasi yang mampu bersikap dan berperilaku demokratis. Mengingat kompleksitas penyebab oligarki di atas, tentu saja diperlukan pendekatan komprehensif mulai dari pembenahan internal partai, pengaderan aktor partai yang reformer, dukungan aturan main, hingga dukungan elemen-elemen civil society .
Pembenahan yang bersifat parsial dan tanpa dukungan komprehensif, jelas tidak akan membawa dampak signifikan bagi upaya pereduksian oligarki dalam partai politik. Sebuah situasi yang sesungguhnya telah melawan hakikat reformasi itu sendiri.
(mhd)