Susahnya Pecat PNS Koruptor

Jum'at, 01 Februari 2019 - 07:03 WIB
Susahnya Pecat PNS Koruptor
Susahnya Pecat PNS Koruptor
A A A
PEMECATAN aparatur sipil negara (ASN) yang terlibat korupsi sangat lamban dilakukan pemerintah. Bahkan, banyak ASN koruptor yang kasusnya telah memiliki kekuatan hukum tetap pun masih mendapatkan gaji tiap bulan dari negara. Pemerintah harus segera mencari solusi yang tepat dan cepat untuk menyelesaikan masalah tersebut.Berdasarkan data Badan Kepegawaian Negara (BKN), hingga 29 Januari 2019 total PNS terlibat tindak pidana korupsi (tipikor) berkekuatan hukum tetap mencapai 2.357 PNS. Dari jumlah tersebut, baru 478 PNS yang sudah dijatuhi sanksi pemberhentian tidak dengan hormat atau sebanyak 20,28%. Rinciannya, 49 PNS kementerian/lembaga dan 429 PNS daerah. Berarti masih ada 1.879 PNS yang belum dipecat.
Masalah lambatnya pemecatan ASN koruptor harus menjadi atensi khusus semua pihak yang terlibat. Mengapa? Pertama, penyelesaian yang berlarut-larut atas masalah ini akan menimbulkan kerugian negara yang lebih besar. Sebab, pemerintah harus mengeluarkan uang tiap bulan untuk menggaji ASN yang sebenarnya secara hukum sudah tidak layak lagi menerima gaji. Yang jelas jika dihitung berdasarkan gaji dan tunjangan pegawai dengan rata-rata gaji terendah yakni Rp7 juta dikali 1.879 PNS koruptor yang belum dipecat maka kerugian yang dihasilkan mencapai sekitar Rp13,1 miliar lebih. Sungguh angka yang besar. Itu pun kalau gajinya Rp7 juta. Tidak menutup kemungkinan gaji para koruptor tersebut jauh lebih besar dari itu. Tentu secara jumlah total, uang yang dikeluarkan oleh negara bertambah banyak. Pemerintah harusnya sadar bisa menggunakan uang tersebut untuk membantu pendidikan saudara-saudara kita yang lain yang kurang beruntung. Di sisi lain, fenomena ini juga merupakan penghinaan terhadap para PNS yang bersih dan bekerja keras dalam menjalankan amanah dari masyarakat.
Kedua, belum beresnya sanksi administrasi untuk memecat semua PNS yang terlibat korupsi menandakan komitmen pemerintah untuk memberantas korupsi dipertanyakan. Betapa tidak. Pemerintah secara telanjang telah membiarkan ketidakadilan terjadi selama bertahun-tahun tanpa alasan yang jelas. Ini bentuk kekonyolan pemerintah yang seharusnya tidak terjadi. Karena pemerintah sebenarnya bisa bertindak tegas untuk menyelesaikan masalah tersebut tanpa perlu berlarut-larut. Ketiga, ketidaktegasan pemerintah terhadap PNS koruptor yang sudah berkekuatan hukum tetap (inkrah) ini akan menimbulkan preseden buruk terhadap pemberantasan korupsi. Langkah pembiaran tersebut akhirnya tidak menimbulkan efek jera sama sekali. Karena memang sanksinya sangat tidak tegas. Bagaimana tidak enak, meski sudah dipenjara tetap menerima gaji dari negara. Seharusnya aparat yang terlibat melihat hal tersebut sebagai sesuatu yang sangat memalukan. Apalagi, dari kajian atau penyelidikan sementara alasan yang dikemukakan benar-benar tidak masuk akal. Jadi, banyak PNS koruptor tidak diberhentikan segera karena salah satunya ada perasaan sungkan atau tidak enak terhadap teman kerja atau mantan atasan. Alasan yang sangat tidak masuk akal. Bagaimana tidak. Pejabat tersebut berani mengabaikan kepentingan negara hanya gara-gara sungkan terhadap temannya yang seharusnya dipecat karena terlibat korupsi.
Setelah mendapat kritik pedas dari organisasi antikorupsi, pemerintah saat ini baru kelabakan. Mereka berjanji akan menindak tegas pejabat terkait baik di pusat maupun daerah yang tidak segera memberhentikan PNS koruptor di wilayah kerjanya. Namun, hal ini baru sebatas ancaman. Yang ditunggu masyarakat adalah aksi tegas dan cepat para pejabat terkait untuk memecat para PNS koruptor yang jumlahnya ribuan tersebut dengan tidak hormat. Jangan sampai ancaman ini hanya menjadi wacana dan kemudian hilang. Karena itu, marilah kita terus mengawal masalah ini agar tidak ada lagi PNS koruptor yang menerima gaji. Intinya adalah pemerintah tak boleh lagi meneruskan kekonyolannya tersebut dengan terus menggaji orang-orang yang telah mengkhianati amanah yang diberikan kepadanya.
(mhd)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.0244 seconds (0.1#10.140)