Masalah Karbon, Pemerhati Kebijakan Publik Singgung Tragedi Pemusnahan Hutan
loading...
A
A
A
Peraturan Menteri (Permen) Lingkungan Hidup Dan Kehutanan Nomor 21 Tahun 2022 tentang Tata Laksana Penerapan Nilai Ekonomi Karbon ini mengatur tentang ketentuan umum, tata cara pelaksanaan perdagangan karbon, pembayaran berbasis kinerja, pungutan atas karbon, mekanisme penyelenggaran NEK lainnya, pengukuran, pelaporan dan verifikasi penyelenggaraan NEK, penyelenggaraan Sistem Register Nasional (RN), sertifikasi pengurangan emisi gas rumah kaca, pengelolaan dana atas perdagangan karbon, partisipasi para pihak, pemantauan dan evaluasi dan ketentuan penutup. Lengkap, tinggal diikuti pelaksanaannya oleh para pelaku bisnis karbon.
Satu lagi Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 7 Tahun 2023 tentang Tata Cara Perdagangan Karbon Sektor Kehutanan. Peraturan Menteri ini mengatur tentang ketentuan umum, pelaksanaan perdagangan emisi dan offset emisi GRK sektor kehutanan, penerimaan negara bukan pajak atas perdagangan karbon, laporan, evaluasi dan pembinaan dan ketentuan penutup.
Jadi jika para badan usaha swasta dan pengejar rente perdagangan karbon Internasional mengatakan bahwa peraturan Voluntary Carbon Market (VCM) itu menghambat perdagangan karbon sukarela di pasar Internasional, itu merupakan pendapat yang keliru.
Dijelaskan Agus Pambagio, para pengusaha beserta asosiasinya yang ingin karbon diperdagangkan secara sukarela, bebas tanpa harus taat pada peraturan perundangannya; termasuk menolak melakukan pencatatan, menolak keterbukaan informasi dsb. telah bertemu dan mengusulkan perubahan atau revisi Perpres No. 98 Tahun 2021 kepada Presiden.
Langkah ini harus dicegah bersama-sama karena kalau Perpres Nomor 28 Tahun 2021 ini direvisi, pemerintah secara pasti melanggar perintah Pasal 33 UUD 45 dalam hal memanfaatkan sumber daya alam kita untuk kesejahteraan masyarakat. Rencana merevisi Perpres tersebut jika terlaksana, tidak akan mensejahterakan rakyat tetapi justru akan membentuk oligarki baru perdagangan karbon.
"Dari catatan usulan perubahan Perpres Nomor 98 Tahun 2021 yang kami dapatkan, disebutkan bahwa alasan Perpres perlu direvisi karena terdapat kesenjangan tata kelola perdagagangan karbon luar negeri yang mengakibatkan terkendalanya penjualan kredit karbon melalui pasar karbon sukarela Internasional yang sangat dibutuhkan sebagai salah satu sumber pendanaan dalam investasi aksi mitigasi perubahan iklim," ungkapnya
"Menurut mereka, dampak dari kesenjangan tata kelola ini, beberapa Proyek Strategis Nasional (PSN) di sektor energi terbarukan dan lain lain, tertunda penerimaan dan pendanaan karbonnya. Sebuah alasan yang terlalu dibuat buat," tambahnya.
Alasan lain perlunya merevisi Perpres Nomor 98 Tahun 2021 karena adanya pembekuan dan pencabutann izin proyek karbon serta pelarangan perdagangan karbon sukarela Internasional telah menyebabkan terhentinya investasi kegiatan mitigasi perubahan iklim dan memberikan sinyal buruk untuk kegiatan investasi di Indonesia.
Selain itu menurut catatan tersebut, juga dikatakan bahwa ekosistem perdagangan karbon di Indonesia saat ini belum mengikuti praktik terbaik Internasional, dimana belum terjadi perdagGangan emisi lintas sektor.
"Hal tersebut di atas tidak bisa diberikan oleh Kementerian LHK, karena dalam berbagai sidang COP UNFCCC memang belum ada formulasi mengatur karena menurut UNFCCC bahwa tentang bisnis karbon bebas seperti itu diatur menurut masing-masing kepentingan negara dan situasi negara," tutupnya.
Satu lagi Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 7 Tahun 2023 tentang Tata Cara Perdagangan Karbon Sektor Kehutanan. Peraturan Menteri ini mengatur tentang ketentuan umum, pelaksanaan perdagangan emisi dan offset emisi GRK sektor kehutanan, penerimaan negara bukan pajak atas perdagangan karbon, laporan, evaluasi dan pembinaan dan ketentuan penutup.
Jadi jika para badan usaha swasta dan pengejar rente perdagangan karbon Internasional mengatakan bahwa peraturan Voluntary Carbon Market (VCM) itu menghambat perdagangan karbon sukarela di pasar Internasional, itu merupakan pendapat yang keliru.
Dijelaskan Agus Pambagio, para pengusaha beserta asosiasinya yang ingin karbon diperdagangkan secara sukarela, bebas tanpa harus taat pada peraturan perundangannya; termasuk menolak melakukan pencatatan, menolak keterbukaan informasi dsb. telah bertemu dan mengusulkan perubahan atau revisi Perpres No. 98 Tahun 2021 kepada Presiden.
Langkah ini harus dicegah bersama-sama karena kalau Perpres Nomor 28 Tahun 2021 ini direvisi, pemerintah secara pasti melanggar perintah Pasal 33 UUD 45 dalam hal memanfaatkan sumber daya alam kita untuk kesejahteraan masyarakat. Rencana merevisi Perpres tersebut jika terlaksana, tidak akan mensejahterakan rakyat tetapi justru akan membentuk oligarki baru perdagangan karbon.
"Dari catatan usulan perubahan Perpres Nomor 98 Tahun 2021 yang kami dapatkan, disebutkan bahwa alasan Perpres perlu direvisi karena terdapat kesenjangan tata kelola perdagagangan karbon luar negeri yang mengakibatkan terkendalanya penjualan kredit karbon melalui pasar karbon sukarela Internasional yang sangat dibutuhkan sebagai salah satu sumber pendanaan dalam investasi aksi mitigasi perubahan iklim," ungkapnya
"Menurut mereka, dampak dari kesenjangan tata kelola ini, beberapa Proyek Strategis Nasional (PSN) di sektor energi terbarukan dan lain lain, tertunda penerimaan dan pendanaan karbonnya. Sebuah alasan yang terlalu dibuat buat," tambahnya.
Alasan lain perlunya merevisi Perpres Nomor 98 Tahun 2021 karena adanya pembekuan dan pencabutann izin proyek karbon serta pelarangan perdagangan karbon sukarela Internasional telah menyebabkan terhentinya investasi kegiatan mitigasi perubahan iklim dan memberikan sinyal buruk untuk kegiatan investasi di Indonesia.
Selain itu menurut catatan tersebut, juga dikatakan bahwa ekosistem perdagangan karbon di Indonesia saat ini belum mengikuti praktik terbaik Internasional, dimana belum terjadi perdagGangan emisi lintas sektor.
"Hal tersebut di atas tidak bisa diberikan oleh Kementerian LHK, karena dalam berbagai sidang COP UNFCCC memang belum ada formulasi mengatur karena menurut UNFCCC bahwa tentang bisnis karbon bebas seperti itu diatur menurut masing-masing kepentingan negara dan situasi negara," tutupnya.