Kriminalisasi Penyelenggara Pemilu

Kamis, 31 Januari 2019 - 05:07 WIB
Kriminalisasi Penyelenggara Pemilu
Kriminalisasi Penyelenggara Pemilu
A A A
Perseteruan Komisi Pemilihan Umum (KPU) dengan Ketua Umum DPP Partai Hanura Oesman Sapta Odang (OSO) makin memanas. Perseteruan bahkan mulai mengancam kelancaran pelaksanaan Pemilu 2019. Ini akibat langkah OSO yang melaporkan seluruh komisioner KPU ke Bareskrim Polri. Oleh OSO, KPU dianggap melakukan tindakan pidana karena tidak memasukkan nama ketua DPD RI tersebut ke dalam daftar calon tetap (DCT) anggota DPD untuk Pemilu 2019. Polda Metro Jaya sejak Senin sudah memeriksa komisioner KPU yang diawali dengan meminta klarifikasi Ketua KPU Arief Budiman.

Kisruh antara penyelenggara pemilu dengan peserta pemilu ini menunjukkan betapa proses berdemokrasi kita terlihat sangat rumit. KPU yang tadinya melaksanakan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) justru dihadapkan pada ancaman pidana. Bisa dibayangkan masalah yang akan timbul pada proses pemilu kali ini jika komisioner KPU nanti dinyatakan bersalah sehingga harus menjalani hukuman pidana.

Dalam situasi seperti ini kepolisian perlu responsif melihat kondisi yang ada. Jangan sampai kepentingan bangsa yang lebih besar, yakni terselenggaranya pemilu yang lancar dan tertib, justru terganggu karena ada kepentingan individu yang justru berpotensi membajak penyelenggaraan pemilu. Sewajarnya jika kepolisian mendukung langkah KPU yang sedang menjaga konstitusionalitas penyelenggaraan Pemilu 2019. Lembaga penyelenggara pemilu harus bisa dihindarkan dari berbagai bentuk upaya delegitimasi. Juga, demi lancarnya pemilu, komisioner KPU harus dilindungi dari upaya kriminalisasi pihak tertentu. Intinya, demokrasi yang sedang dibangun bersama ini tidak boleh dibajak oleh kepentingan apa pun, termasuk kepentingan individu.

Dalam kasus OSO ini, KPU yang memilih melaksanakan putusan MK harus dihormati sebagai lembaga independen. Ini wujud nyata kemandirian lembaga penyelenggara pemilu yang tidak dapat diintervensi pihak mana pun, apalagi atas kepentingan individu.KPU sedang mewujudkan pemilu yang konstitusional dengan menjalankan putusan MK. Yang juga perlu dipahami bahwa putusan MK itu sederajat dengan undang-undang.

Kisruh ini sesungguhnya tidak terjadi jika antara lembaga hukum tidak membuat keputusan yang bertentangan antara satu dengan yang lain. Bisa dikatakan, dalam kasus ini KPU hanya menjadi korban atas putusan lembaga hukum yang berbeda-beda. KPU menjadi terjepit, langkah apa pun yang diambil akhirnya tetap akan dipersoalkan karena mengabaikan putusan lembaga hukum.

Langkah KPU yang mencoret OSO dari DCT dilandasi Putusan MK Nomor 30/PUU-XVI/2018 yang menyebut pengurus partai politik dilarang rangkap jabatan menjadi anggota DPD. Adapun OSO saat ini menjabat ketua umum Hanura dan ketua DPD. Namun, Mahkamah Agung tempat OSO mengajukan gugatan memberi putusan lain. MA menyatakan bahwa putusan MK tersebut tidak berlaku surut yang juga berarti OSO berhak untuk masuk DCT.

Putusan PTUN pun senada, yakni memerintahkan KPU mencabut Surat Keputusan Penetapan DCT anggota DPD yang tidak memuat nama OSO. Majelis hakim juga meminta KPU menerbitkan DCT baru dengan memasukkan nama OSO di dalamnya. Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) juga Bawaslu meminta KPU memasukan OSO ke DCT sebagai bentuk pelaksanaan putusan PTUN.

Selain itu, tak kalah penting adalah bagaimana mencari solusi dari permasalahan hukum ini. Karena itu, para pembuat keputusan, baik MK, MA, PTUN, maupun Bawaslu perlu bertemu untuk menyamakan persepsi. Perlu segera ada penyelesaian kasus pencalonan OSO ini agar kegaduhan tidak berlarut-larut dan mengancam kelancaran pelaksanaan tahapan pemilu. Lebih jauh, seluruh lembaga perlu memikirkan formula yang tepat agar ke depan tak ada lagi keputusan yang saling bertentangan antara satu lembaga hukum dengan lembaga hukum lainnya.
(pur)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7460 seconds (0.1#10.140)