Legislator: Nilai Tukar Rupiah Masih Lebih Baik dari Mata Uang Lain
loading...
A
A
A
JAKARTA - Anggota Komisi XI DPR Puteri Anetta Komarudin mengungkapkan bahwa Komisi XI DPR mencermati dinamika dan dampak dari konflik geopolitik, terutama terhadap nilai tukar Rupiah. Karena, dampaknya memicu kepanikan investor di pasar keuangan global.
Sehingga, investor global mengalihkan investasinya ke aset yang lebih aman seperti mata uang Dolar Amerika Serikat (AS) dan emas. Indeks Dolar tercatat semakin menguat hingga mencapai level tertinggi 106,25 pada 16 April 2024.
Lebih lanjut dia mengatakan, hal tersebut kemudian mendorong terjadinya arus modal keluar dan pelemahan nilai tukar di sejumlah negara berkembang, termasuk Indonesia. Bank Indonesia mencatat Rupiah melemah hingga 5,07 persen (ytd) pada 23 April 2024.
“Namun, saya kira pelemahan ini tidak sedalam seperti pada Baht Thailand dan Won Korea yang masing-masing terdepresiasi 7,88 persen dan 6,55 persen (ytd),” kata Puteri, Kamis (2/5/2024).
Bahkan, dia menilai, Rupiah relatif lebih baik dibandingkan Yen Jepang dan Dolar New Zealand yang justru melemah hingga 8,91 persen dan 6,12 persen (ytd). Rupiah yang tetap terjaga tidak terlepas dari kondisi fundamental ekonomi Indonesia yang masih kuat.
“Terlihat dari neraca dagang yang masih surplus, cadangan devisa yang tinggi, serta inflasi yang terkendali. Karenanya, kami terus imbau pemerintah dan Bank Indonesia untuk memantau dan melakukan intervensi untuk menjaga stabilitas nilai tukar Rupiah,” kata politikus Partai Golkar ini.
Dia mengatakan, pelemahan nilai tukar Rupiah pasti meningkatkan risiko terhadap belanja pada APBN. Terutama besaran anggaran untuk subsidi energi yang berpotensi tertekan akibat konversi harga Dolar terhadap Rupiah yang lebih tinggi.
“Apalagi ternyata, saat ini sekitar 60 persen kebutuhan BBM kita masih impor sehingga rentan terhadap risiko nilai tukar,” katanya.
Depresiasi Rupiah juga berisiko terhadap beban pembayaran utang/pinjaman, terutama surat utang dengan mata utang Dolar AS. Akan tetapi, penguatan Dolar AS juga dapat meningkatkan penerimaan dari aktivitas perdagangan internasional, seperti PPh Pasal 22 impor, PPN dan PPNBM impor, bea masuk, dan bea keluar.
Perubahan nilai tukar Rupiah juga bakal berdampak pada penerimaan PPh migas dan PNBP SDA migas. “Untuk itu, kami mendorong pemerintah untuk terus memantau pergerakan kurs Rupiah dan merumuskan langkah-langkah antisipasi yang dibutuhkan,” tuturnya.
Dia menuturkan, Komisi XI DPR mendukung Bank Indonesia (BI) untuk terus melakukan operasi moneter seperti intervensi di pasar valas secara spot dan DNDF (Domestic Non-Deliverable Forward), pembelian SBN dari pasar sekunder, serta pengelolaan likuiditas secara memadai.
Komisi XI DPR juga mendorong BI untuk terus mengoptimalkan berbagai instrumen moneter pro-market melalui instrumen SRBI, SVBI, dan SUVBI guna menarik aliran portofolio asing dari luar negeri sehingga mendukung stabilisasi nilai tukar Rupiah.
“Kami juga mendorong BI untuk mengoptimalkan penggunaan mata uang lokal dalam transaksi Indonesia dengan negara mitra atau Local Currency Transaction(LCT). Hingga akhir Maret 2024, transaksi LCT sudah mencapai 1,37 miliar dolar AS dengan melibatkan 3.504 pelaku,” ujar Puteri.
Penerapan LCT diharapannya dapat mengurangi ketergantungan pada mata uang dolar, mempermudah transaksi ekspor-impor, maupun mendorong investasi. BI perlu terus bersinergi bersama pemerintah dalam memaksimalkan implementasi instrumen penempatan valas Devisa Hasil Ekspor Sumber Daya Alam (DHE SDA) untuk menambah pasokan cadangan devisa di dalam negeri.
“Dengan demikian, Rupiah bisa semakin kuat dalam menghadapi tekanan di pasar keuangan global saat ini. Kami juga mendukung upaya pemerintah yang terus melakukan sosialisasi dan pengawasan terkait kebijakan DHE SDA agar terimplementasi secara maksimal,” pungkasnya.
Sehingga, investor global mengalihkan investasinya ke aset yang lebih aman seperti mata uang Dolar Amerika Serikat (AS) dan emas. Indeks Dolar tercatat semakin menguat hingga mencapai level tertinggi 106,25 pada 16 April 2024.
Lebih lanjut dia mengatakan, hal tersebut kemudian mendorong terjadinya arus modal keluar dan pelemahan nilai tukar di sejumlah negara berkembang, termasuk Indonesia. Bank Indonesia mencatat Rupiah melemah hingga 5,07 persen (ytd) pada 23 April 2024.
“Namun, saya kira pelemahan ini tidak sedalam seperti pada Baht Thailand dan Won Korea yang masing-masing terdepresiasi 7,88 persen dan 6,55 persen (ytd),” kata Puteri, Kamis (2/5/2024).
Bahkan, dia menilai, Rupiah relatif lebih baik dibandingkan Yen Jepang dan Dolar New Zealand yang justru melemah hingga 8,91 persen dan 6,12 persen (ytd). Rupiah yang tetap terjaga tidak terlepas dari kondisi fundamental ekonomi Indonesia yang masih kuat.
“Terlihat dari neraca dagang yang masih surplus, cadangan devisa yang tinggi, serta inflasi yang terkendali. Karenanya, kami terus imbau pemerintah dan Bank Indonesia untuk memantau dan melakukan intervensi untuk menjaga stabilitas nilai tukar Rupiah,” kata politikus Partai Golkar ini.
Dia mengatakan, pelemahan nilai tukar Rupiah pasti meningkatkan risiko terhadap belanja pada APBN. Terutama besaran anggaran untuk subsidi energi yang berpotensi tertekan akibat konversi harga Dolar terhadap Rupiah yang lebih tinggi.
“Apalagi ternyata, saat ini sekitar 60 persen kebutuhan BBM kita masih impor sehingga rentan terhadap risiko nilai tukar,” katanya.
Depresiasi Rupiah juga berisiko terhadap beban pembayaran utang/pinjaman, terutama surat utang dengan mata utang Dolar AS. Akan tetapi, penguatan Dolar AS juga dapat meningkatkan penerimaan dari aktivitas perdagangan internasional, seperti PPh Pasal 22 impor, PPN dan PPNBM impor, bea masuk, dan bea keluar.
Perubahan nilai tukar Rupiah juga bakal berdampak pada penerimaan PPh migas dan PNBP SDA migas. “Untuk itu, kami mendorong pemerintah untuk terus memantau pergerakan kurs Rupiah dan merumuskan langkah-langkah antisipasi yang dibutuhkan,” tuturnya.
Dia menuturkan, Komisi XI DPR mendukung Bank Indonesia (BI) untuk terus melakukan operasi moneter seperti intervensi di pasar valas secara spot dan DNDF (Domestic Non-Deliverable Forward), pembelian SBN dari pasar sekunder, serta pengelolaan likuiditas secara memadai.
Komisi XI DPR juga mendorong BI untuk terus mengoptimalkan berbagai instrumen moneter pro-market melalui instrumen SRBI, SVBI, dan SUVBI guna menarik aliran portofolio asing dari luar negeri sehingga mendukung stabilisasi nilai tukar Rupiah.
“Kami juga mendorong BI untuk mengoptimalkan penggunaan mata uang lokal dalam transaksi Indonesia dengan negara mitra atau Local Currency Transaction(LCT). Hingga akhir Maret 2024, transaksi LCT sudah mencapai 1,37 miliar dolar AS dengan melibatkan 3.504 pelaku,” ujar Puteri.
Penerapan LCT diharapannya dapat mengurangi ketergantungan pada mata uang dolar, mempermudah transaksi ekspor-impor, maupun mendorong investasi. BI perlu terus bersinergi bersama pemerintah dalam memaksimalkan implementasi instrumen penempatan valas Devisa Hasil Ekspor Sumber Daya Alam (DHE SDA) untuk menambah pasokan cadangan devisa di dalam negeri.
“Dengan demikian, Rupiah bisa semakin kuat dalam menghadapi tekanan di pasar keuangan global saat ini. Kami juga mendukung upaya pemerintah yang terus melakukan sosialisasi dan pengawasan terkait kebijakan DHE SDA agar terimplementasi secara maksimal,” pungkasnya.
(rca)