Legislator: Nilai Tukar Rupiah Masih Lebih Baik dari Mata Uang Lain

Jum'at, 03 Mei 2024 - 18:43 WIB
loading...
Legislator: Nilai Tukar...
Anggota Komisi XI DPR Puteri Anetta Komarudin mengungkapkan bahwa Komisi XI DPR mencermati dinamika dan dampak dari konflik geopolitik, terutama terhadap nilai tukar Rupiah. Foto/dpr.go.id
A A A
JAKARTA - Anggota Komisi XI DPR Puteri Anetta Komarudin mengungkapkan bahwa Komisi XI DPR mencermati dinamika dan dampak dari konflik geopolitik, terutama terhadap nilai tukar Rupiah. Karena, dampaknya memicu kepanikan investor di pasar keuangan global.

Sehingga, investor global mengalihkan investasinya ke aset yang lebih aman seperti mata uang Dolar Amerika Serikat (AS) dan emas. Indeks Dolar tercatat semakin menguat hingga mencapai level tertinggi 106,25 pada 16 April 2024.

Lebih lanjut dia mengatakan, hal tersebut kemudian mendorong terjadinya arus modal keluar dan pelemahan nilai tukar di sejumlah negara berkembang, termasuk Indonesia. Bank Indonesia mencatat Rupiah melemah hingga 5,07 persen (ytd) pada 23 April 2024.



“Namun, saya kira pelemahan ini tidak sedalam seperti pada Baht Thailand dan Won Korea yang masing-masing terdepresiasi 7,88 persen dan 6,55 persen (ytd),” kata Puteri, Kamis (2/5/2024).

Bahkan, dia menilai, Rupiah relatif lebih baik dibandingkan Yen Jepang dan Dolar New Zealand yang justru melemah hingga 8,91 persen dan 6,12 persen (ytd). Rupiah yang tetap terjaga tidak terlepas dari kondisi fundamental ekonomi Indonesia yang masih kuat.

“Terlihat dari neraca dagang yang masih surplus, cadangan devisa yang tinggi, serta inflasi yang terkendali. Karenanya, kami terus imbau pemerintah dan Bank Indonesia untuk memantau dan melakukan intervensi untuk menjaga stabilitas nilai tukar Rupiah,” kata politikus Partai Golkar ini.

Dia mengatakan, pelemahan nilai tukar Rupiah pasti meningkatkan risiko terhadap belanja pada APBN. Terutama besaran anggaran untuk subsidi energi yang berpotensi tertekan akibat konversi harga Dolar terhadap Rupiah yang lebih tinggi.

“Apalagi ternyata, saat ini sekitar 60 persen kebutuhan BBM kita masih impor sehingga rentan terhadap risiko nilai tukar,” katanya.

Depresiasi Rupiah juga berisiko terhadap beban pembayaran utang/pinjaman, terutama surat utang dengan mata utang Dolar AS. Akan tetapi, penguatan Dolar AS juga dapat meningkatkan penerimaan dari aktivitas perdagangan internasional, seperti PPh Pasal 22 impor, PPN dan PPNBM impor, bea masuk, dan bea keluar.
Halaman :
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1905 seconds (0.1#10.140)