Proxy War sebagai Ancaman Bangsa

Rabu, 09 Januari 2019 - 07:39 WIB
Proxy War sebagai Ancaman...
Proxy War sebagai Ancaman Bangsa
A A A
Muhammad Sadji Pemerhati Masalah Sosial, Politik dan Ekonomi Dalam Negeri,

Alumni S2 Fisipol Universitas Indonesia

JENDERAL Gatot Nurmantyo sewaktu menjabat Panglima TNI dalam berbagai kesempatan telah mengidentifikasi isu proxy war yang merupakan ancaman utama bagi bangsa Indonesia pada abad ke-21. Proxy war adalah perang ketika pihak yang berkepentingan tidak ikut terlibat langsung pada saat perang tersebut terjadi, tahu-tahu mendapatkan keuntungan dan manfaat dari hasil peperangan itu.

Padahal perang adalah upaya suatu bangsa atau negara untuk melumpuhkan bangsa atau negara lain. Tujuannya bermacam-macam, antara lain, karena ingin menguasai bangsa lain untuk mengangkangi kekayaan alamnya atau akan mengangkangi pasar potensialnya. Selain itu, juga untuk menguasai geopolitik maupun geostrategisnya serta membuat suatu bangsa atau negara lain tetap dalam keadaan tak berdaya, merana, walaupun sebenarnya kaya raya.

Dalam proxy war, negara yang berkepentingan, memanfaatkan potensi konflik di negara sasaran, misalnya isu suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA). Hal ini melumpuhkan otak dan raga melalui penyebaran narkoba, miras, dan pornografi, serta maraknya perilaku KKN sehingga terciptanya ketidakadilan menyebabkan timbulnya kerawanan kesenjangan dan konflik sosial berkepanjangan. Apabila ditelaah lebih dalam dan jujur, agaknya tidak usah menunggu abad 21, sekarang pun dan bahkan sebelumnya, sebenarnya bangsa Indonesia sudah merupakan korban proxy war.

Perang dingin antara Blok Barat dan Blok Timur yang timbul setelah berakhirnya Perang Dunia II membuat Indonesia menjadi sasaran perebutan kedua kubu tersebut karena kekayaan alamnya beraneka ragam serta letak geografisnya sangat strategis. Berbagai pemberontakan yang terjadi setelah proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, bukan mustahil merupakan ulah proxy war kedua kubu itu. Pemberontakan DI/TII di Jawa Barat/Aceh/Sulawesi Selatan, PKI Madiun, PRRI/Permesta, dan berbagai gerakan sparatisme berhasil diatasi dengan pengorbanan yang tidak sedikit. Tetapi, puncaknya, pemberontakan G30S yang terjadi pada 1965 mengubah segala tatanan bernegara dan berbangsa.

Menurut Presiden Soekarno sebagaimana disampaikan dalam pidato pertanggungjawaban kepada MPRS bahwa peristiwa G30S bisa terjadi karena tiga sebab, yaitu keblinger-nya orang-orang PKI, adanya oknum tidak bertanggung jawab, dan karena kelihaian neokolonialisme. Padahal waktu itu, Presiden Soekarno sedang mencanangkan Ganyang Malaysia dengan membantu kelompok di Kalimantan Utara yang ingin merdeka, tidak mau bergabung dengan Malaysia yang dibentuk Inggris ketika proses dekolonisasi.

Boleh jadi, Presiden Soekarno ingin memanfaatkan momentum dekolonisasi itu untuk mencaplok Kalimantan Utara sehingga tercapai dan terwujudnya keutuhan Pulau Kalimantan. Apalagi Presiden Soekarno tahun 1957 menggagas menetapkan Palangkaraya di Pulau Kalimantan sebagai ibu kota RI pengganti DKI Jakarta.

Pascaperistiwa G30S, keadaan dan situasi Indonesia berubah demikian cepat. Kehidupan perekonomian demikian sulit dan bunuh-membunuh sesama anak bangsa di berbagai tempat menjadi biasa dan tidak tersentuh hukum. Kesulitan ekonomi ini boleh jadi karena pergulatan panjang dalam mengatasi berbagai pemberontakan di dalam negeri dan perjuangan merebut Irian Barat (Irian Jaya). Bukan mustahil, merupakan rangkaian sabotase nasional oleh sindikat bermaksud merebut kekuasaan secara merangkak.

Demonstrasi massa terjadi di mana-mana disertai perusakan. Dalam keadaan terpaksa atau dipaksa, Presiden Soekarno mengeluarkan Surat Perintah tanggal 11 Maret 1966 (tetapi tidak bernomor) yang memerintahkan Jenderal Suharto memulihkan keadaan dan ketertiban serta kewibawaan pemerintah. Ironisnya, dengan SP 11 Maretlah pemerintahan Presiden Soekarno terguling dan semuanya berubah dengan drastis. Muncullah rezim baru yang menyebut dirinya sebagai Orde Baru. Mereka menyebut rezim sebelumnya (Presiden Soekarno) sebagai rezim Orde Lama, padahal mereka juga ada dalam struktur pemerintahan sehingga pada kasus ini bisa dikategorikan sebagai menggunting dalam lipatan alias berkhianat.

Rezim baru ini dimotori militer dan kelompok ekonom yang sering disebut sebagai mafia Berkeley. Di antara kelompok ini ada Prof. Dr. Ali Wardhana yang meninggal dunia beberapa waktu lalu. Di tangan mereka inilah Indonesia memasuki zaman neoliberal dan neokapitalisme sebagai antitesa berdikarinya Bung Karno dan Pembangunan Nasional Semesta Berencana tahap I yang sedang berjalan mulai dari tanggal 1 Januari 1961 sampai dengan 31 Desember 1969. Puja-puji disampaikan dari berbagai kalangan untuk Prof. Ali Wardhana, bahkan Mari Pangestu dalam tulisan obituarinya yang dimuat sebuah harian ibu kota melontarkan kata-kata: "..... apa jadinya Indonesia tanpa dia".

Agaknya banyak orang mendustakan keadaan sebenarnya. Padahal buah karya mereka sudah jelas, butuh waktu lebih dari tiga dekade dengan kekayaan alam terkuras oleh bangsa asing, KKN merajalela di berbagai sektor, utang dan besarnya dana yang dikorbankan, serta ribuan gedung sekolah dibangun mutunya tidak memenuhi syarat dari segi mutu bangunan dan bahan bangunan, luas lahan serta tata ruangnya, dan mudah rusak yang terkadang mencelakai anak murid yang sedang belajar.

Ironisnya, dalam kurun waktu selama itu Indonesia masih berada di landasan (bukan tinggal landas seperti yang selalu dikhayalkan), ekspor TKI/TKW yang sering dilecehkan bangsa lain dan ekspor asap terjadi secara rutin sejak tahun 1997 sampai sekarang. Asap itu sebagai akibat kebakaran hutan yang dibabat membabi buta karena pembangunan yang indah dalam konsep, tetapi ngawur dalam pelaksanaannya. Asap itu meracuni anak bangsa kita yang akan berpengaruh terhadap kesehatan serta kemampuan berpikirnya. Alhasil, itulah nasib suatu bangsa korban proxy war melalui kaki tangannya yang ada di dalam negeri secara tidak sadar justru sering kita puja-puji setinggi langit.

Kondisi bangsa Indonesia saat ini sebagaimana dinyatakan Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan baru-baru ini bahwa penduduk Indonesia diperkirakan mencapai 255 juta orang, tetapi menghadapi masalah sangat memprihatinkan dalam berbagai hal. Kesenjangan sosial adalah merupakan masalah utama karena 20% kelas atas menguasai hampir 50% konsumsi perekonomian Indonesia, sedangkan penduduk kelas bawah yang jumlahnya mencapai 40% hanya menguasai 20% konsumsi perekonomian. Pada saat ini 45% penduduk Indonesia memiliki kemampuan pengeluaran hanya Rp500.000 per bulan.

Menko Puan juga menyebutkan, jumlah penduduk yang menganggur atau sama sekali tidak bekerja saat ini diperkirakan berjumlah 7,2 juta jiwa dan lebih kurang 40 juta lainnya masih harus berjuang mendapatkan pekerjaan yang layak. Apalagi laju pertumbuhan penduduk Indonesia masih sulit dikendalikan dengan angka kelahiran bayi mencapai 4,5 juta bayi per tahun.

Sementara itu, Wakil Presiden Yusuf Kalla dalam penutupan rakernas dan konsolidasi pemenangan pilkada Partai NasDem di Jakarta tanggal 22 September 2015 mengingatkan bahwa berpolitik, termasuk mengikuti pemilihan kepala daerah adalah bertujuan membayar utang kepada masyarakat dengan melayani rakyat apabila memenangi pemilihan. Bagi seseorang yang merasa sudah banyak menerima dari Indonesia, maka berpolitik adalah untuk membayar utang kepada masyarakat, berpolitik dan memimpin itu untuk memajukan rakyat, bukan menggunakan perhitungan untung rugi.

Menurut Wapres, bangsa Indonesia terlalu besar untuk tidak mengalami kemajuan. Berpartai dan berpolitiklah dengan kesadaran tidak untuk diri pribadi. Berpolitiklah untuk mengurus daerah, generasi muda, dan masyarakat kita di kampung-kampung. Berpolitik untuk mendapatkan rahmat Tuhan (Kompas, 23/09/2015). Dalam hal ini, berpolitik tidak dalam berbuat penyelewengan dan berbuat dosa karena seluruh bangsa yang juga terkena azab, bencana, dan kutukan.

Sementara itu, anggota majelis tinggi Partai NasDem Lestari Moerdijat mengatakan, NasDem tetap berpegang pada komitmen sejak didirikan, yaitu sebagai gerakan perubahan, restorasi Indonesia yang menjunjung tinggi moralitas, integritas, dan kejujuran serta mewujudkan tegaknya hukum di Indonesia. Sikap Partai NasDem yang terbuka, transparan, dan konsisten dalam setiap menegakkan hukum (Jawa Pos, 26/09/215)

Agaknya, pesan Wapres Jusuf Kalla, data yang pernah disampaikan Menko Puan Maharani serta sikap tokoh Partai NasDem di atas bisa diadopsi semua parpol dan ormas yang hidup di Indonesia. Selain itu, diterapkan secara konsisten serta bertanggung jawab dalam kewaspadaan dan menangkal ancaman proxy war yang terus mengintai serta membayangi bangsa Indonesia.
(kri)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0546 seconds (0.1#10.140)