Menyorot Penyelenggaraan Transportasi Mudik Lebaran
loading...
A
A
A
Antrean panjang di Pelabuhan Merak
Pemerintah perlu serius mengatasi antrean panjang yang terjadi di Pelabuhan Merak dan Pelabuhan Bakauheni, yang mencapai 8-10 jam. Bahkan sampai 12 jam untuk angkutan logistik. Ini kejadian berulang setiap tahun. Seharusnya pemerintah dan PT ASDP Indonesia Ferry bisa mengantisipasinya, dengan menambah armada kapal dan atau menambah dermaga. Bahwa antrean itu juga dipicu oleh perilaku masyarakat, misalnya dalam pembelian tiket, tentu hal ini seharusnya bisa diantisipasi sebelumnya. Sebab nyatanya karakter dan perilaku penumpang kapal ferry tidak bisa disamakan dengan penumpang pesawat.
Dalam suasana mudik Lebaran, rasanya tidak mungkin PT ASDP Indonesia Ferry dibiarkan sendirian untuk menangani persoalan di Pelabuhan Merak Bakauheni. Dalam hal ini pemerintah belum menjadikan moda transportasi penyeberangan dan laut sebagai alternatif trsnsportasi mudik. Pemerintah hanya terfokus pada transportasi darat saja.
Diskresi Korlantas
Dari sisi rekayasa lalu lintas (management traffic) yang merupakan diskresi Korlantas Mabes Polri, kerja keras Korlantas patut diapresiasi untuk melakukan rekayasa lalu lintas, baik dengan contraflow, one way traffic, atau ganjil genap. Namun perlu disorot (dievaluasi) adalah implementasi lawan arah (contraflow), khususnya merujuk pada kejadian di KM 58 jalan tol, yang menewaskan seluruh penumpang Gran Max (12 orang).
Sekalipun kejadian tersebut lebih dipicu oleh pelanggaran pengemudi Gran Max, namun dari sisi safety model lawan arah memang berisiko tinggi, apalagi di jalan tol. Sebab dari sisi ruas jalan, lawan arah hanya dibatasi oleh traffic cone saja, yang bisa bergeser, tumbang, dan dilanggar oleh pengguna jalan. Kecuali pembatas jalan itu berupa permanen, sehingga bisa lebih memberikan proteksi pengguna jalan yang melakukan contraflow. Namun tentunya hal ini sulit dilakukan. Dari sisi pengguna jalan tol, yang notabene adalah jalan berbayar, contraflow bisa dikatakan bentuk pelanggaran terhadap SPM (Standar Pelayanan Minimal) jalan tol. Akan lebih safety jika diskresi Korlantas berbasis one way dan ganjil genap saja, tanpa contraflow.
Jalan non tol
Mengoptimalkan fungsi jalan non tol, khususnya akses jalan Pantai Utara (Pantura) dan Pantai Selatan (Pansela) Jawa. Sebab, sekalipun jalan tol Trans Jawa sudah terintegrasi sepanjang 1.745 km, faktanya tidak mampu secara optimal memfasilitasi mudik Lebaran dengan jumlah kendaraan mencapai lebih dari 1,5 jutaan kendaraan yang keluar dari arah Jakarta. Sedangkan di sisi lain, kapasitas jalan Pantura dan Pansela masih relatif longgar. Jadi perlu ada rekayasa lalu lintas yang lebih radikal, bukan hanya contraflow, one way, dan atau ganjil genap (gage).
Pemerintah perlu serius mengatasi antrean panjang yang terjadi di Pelabuhan Merak dan Pelabuhan Bakauheni, yang mencapai 8-10 jam. Bahkan sampai 12 jam untuk angkutan logistik. Ini kejadian berulang setiap tahun. Seharusnya pemerintah dan PT ASDP Indonesia Ferry bisa mengantisipasinya, dengan menambah armada kapal dan atau menambah dermaga. Bahwa antrean itu juga dipicu oleh perilaku masyarakat, misalnya dalam pembelian tiket, tentu hal ini seharusnya bisa diantisipasi sebelumnya. Sebab nyatanya karakter dan perilaku penumpang kapal ferry tidak bisa disamakan dengan penumpang pesawat.
Dalam suasana mudik Lebaran, rasanya tidak mungkin PT ASDP Indonesia Ferry dibiarkan sendirian untuk menangani persoalan di Pelabuhan Merak Bakauheni. Dalam hal ini pemerintah belum menjadikan moda transportasi penyeberangan dan laut sebagai alternatif trsnsportasi mudik. Pemerintah hanya terfokus pada transportasi darat saja.
Diskresi Korlantas
Dari sisi rekayasa lalu lintas (management traffic) yang merupakan diskresi Korlantas Mabes Polri, kerja keras Korlantas patut diapresiasi untuk melakukan rekayasa lalu lintas, baik dengan contraflow, one way traffic, atau ganjil genap. Namun perlu disorot (dievaluasi) adalah implementasi lawan arah (contraflow), khususnya merujuk pada kejadian di KM 58 jalan tol, yang menewaskan seluruh penumpang Gran Max (12 orang).
Sekalipun kejadian tersebut lebih dipicu oleh pelanggaran pengemudi Gran Max, namun dari sisi safety model lawan arah memang berisiko tinggi, apalagi di jalan tol. Sebab dari sisi ruas jalan, lawan arah hanya dibatasi oleh traffic cone saja, yang bisa bergeser, tumbang, dan dilanggar oleh pengguna jalan. Kecuali pembatas jalan itu berupa permanen, sehingga bisa lebih memberikan proteksi pengguna jalan yang melakukan contraflow. Namun tentunya hal ini sulit dilakukan. Dari sisi pengguna jalan tol, yang notabene adalah jalan berbayar, contraflow bisa dikatakan bentuk pelanggaran terhadap SPM (Standar Pelayanan Minimal) jalan tol. Akan lebih safety jika diskresi Korlantas berbasis one way dan ganjil genap saja, tanpa contraflow.
Jalan non tol
Mengoptimalkan fungsi jalan non tol, khususnya akses jalan Pantai Utara (Pantura) dan Pantai Selatan (Pansela) Jawa. Sebab, sekalipun jalan tol Trans Jawa sudah terintegrasi sepanjang 1.745 km, faktanya tidak mampu secara optimal memfasilitasi mudik Lebaran dengan jumlah kendaraan mencapai lebih dari 1,5 jutaan kendaraan yang keluar dari arah Jakarta. Sedangkan di sisi lain, kapasitas jalan Pantura dan Pansela masih relatif longgar. Jadi perlu ada rekayasa lalu lintas yang lebih radikal, bukan hanya contraflow, one way, dan atau ganjil genap (gage).