Pemerintah Diminta Kaji Ulang WFH untuk Antisipasi Kemacetan Arus Balik Lebaran
loading...
A
A
A
JAKARTA - Menteri Perhubungan (Menhub) Budi Karya Sumadi mengusulkan adanya skema kerja dari rumah atau Work From Home (WFH) dalam mengantisipasi kepadatan arus balik Lebaran 2024. Usulan tersebut harus dikaji ulang karena berdampak pada industri dan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM).
Pemerhati Transportasi dan Kebijakan Publik Bambang Haryo Soekartono mengatakan, usulan tersebut perlu dikaji ulang ditinjau dari sisi berjalannya ekonomi nasional.
“Jika WFH diterapkan maka dunia industri dan UMKM akan terhenti. Ini tentu akan berdampak pada perekonomian negara. Ekonomi nasional bisa terganggu. Karena sumber daya manusia UMKM dan industrilah yang terbanyak melakukan mudik. Bila dikeluarkan instruksi WFH ini akan merepotkan para pengusaha dari sektor UMKM maupun sektor industri,” katanya, Minggu (14/4/2024).
Anggota Dewan Pakar Partai Gerindra ini menilai, kebijakan ini tidak perlu dilakukan menyeluruh atau secara nasional bila memang harus diterapkan WFH karena wilayah yang paling banyak mengalami kemacetan hanya di Jawa saja. Sedangkan di luar Jawa seperti Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua tidak terjadi stagnasi atau kemacetan sehingga tidak perlu diberlakukan secara nasional.
“Kalau masalahnya untuk mengurai kepadatan (arus balik), seyogyanya transportasi publik benar-benar dilakukan semaksimal mungkin. Mungkin bisa dilakukan dengan menambah jumlah trip untuk memudahkan mendapatkan tempat duduk dan murahnya tarif transportasi publik. ” imbuhnya.
Bambang mengusulkan perlunya analisis mendalam terhadap wacana kebijakan tersebut. Dia mengurai kuncinya hanya melalui pembenahan transportasi publik. Transportasi publik harus dibenahi secara masif, terutama kecukupan kapasitas atau kemudahan mendapatkan tiket, kepastian jadwal, tarif yang murah sehingga unsur biaya transportasi publik khsusnya bahan bakar, bisa diberikan insentif lebih besar daripada transportasi pribadi, kenyamanan, serta keselamatan yang andal.
"Itu perlu dorongan pemerintah untuk pembenahan total di transportasi publik agar masyarakat tidak menggunakan kendaraan pribadi untuk mudik, dan beralih ke transportasi publik terutama kereta api sebagai transportasi publik massal. Seperti halnya di beberapa negara maju dan berkembang saat ini. Sehingga dapat mengurangi kepadatan di jalan raya," ucap pria yang akrab disapa BHS.
Dia mengaku pernah mengusulkan perlunya dorongan pemerintah kepada masyarakat untuk mau menggunakan jalan antar provinsi di Jawa atau Trans Jawa bagian selatan bagi pemudik yang menggunakan transportasi pribadi. “Saat ini load faktor jalur tersebut hanya sekitar 25% pada saat terjadi musim libur Lebaran." Lanjutnya.
Dia menilai, usulan penambahan libur atau WFH ini bisa mengakibatkan kesulitan pengusaha, baik industri maupun UMKM karena waktu libur Lebaran di Indonesia termasuk adalah yang terpanjang dibanding dengan beberapa negara yang mayoritas penduduknya Muslim.
Misalnya di Malaysia, libur Idulfitri hanya dua hari, Arab Saudi tiga hari dan ditambah Sabtu-Minggu menjadi 5 hari. Kemudian di Turki satu hari ditambah Sabtu-Minggu menjadi 3 hari. Sedangkan di Indonesia sekitar 7 hari termasuk Sabtu-Minggu, belum lagi ditambah WFH sebanyak 2 hari.
”Pasti ini akan menyulitkan dunia usaha dan ekonomi Nasional, serta produktivitas pegawai akan menurun,” ucapnya.
Pemerhati Transportasi dan Kebijakan Publik Bambang Haryo Soekartono mengatakan, usulan tersebut perlu dikaji ulang ditinjau dari sisi berjalannya ekonomi nasional.
“Jika WFH diterapkan maka dunia industri dan UMKM akan terhenti. Ini tentu akan berdampak pada perekonomian negara. Ekonomi nasional bisa terganggu. Karena sumber daya manusia UMKM dan industrilah yang terbanyak melakukan mudik. Bila dikeluarkan instruksi WFH ini akan merepotkan para pengusaha dari sektor UMKM maupun sektor industri,” katanya, Minggu (14/4/2024).
Anggota Dewan Pakar Partai Gerindra ini menilai, kebijakan ini tidak perlu dilakukan menyeluruh atau secara nasional bila memang harus diterapkan WFH karena wilayah yang paling banyak mengalami kemacetan hanya di Jawa saja. Sedangkan di luar Jawa seperti Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua tidak terjadi stagnasi atau kemacetan sehingga tidak perlu diberlakukan secara nasional.
“Kalau masalahnya untuk mengurai kepadatan (arus balik), seyogyanya transportasi publik benar-benar dilakukan semaksimal mungkin. Mungkin bisa dilakukan dengan menambah jumlah trip untuk memudahkan mendapatkan tempat duduk dan murahnya tarif transportasi publik. ” imbuhnya.
Bambang mengusulkan perlunya analisis mendalam terhadap wacana kebijakan tersebut. Dia mengurai kuncinya hanya melalui pembenahan transportasi publik. Transportasi publik harus dibenahi secara masif, terutama kecukupan kapasitas atau kemudahan mendapatkan tiket, kepastian jadwal, tarif yang murah sehingga unsur biaya transportasi publik khsusnya bahan bakar, bisa diberikan insentif lebih besar daripada transportasi pribadi, kenyamanan, serta keselamatan yang andal.
"Itu perlu dorongan pemerintah untuk pembenahan total di transportasi publik agar masyarakat tidak menggunakan kendaraan pribadi untuk mudik, dan beralih ke transportasi publik terutama kereta api sebagai transportasi publik massal. Seperti halnya di beberapa negara maju dan berkembang saat ini. Sehingga dapat mengurangi kepadatan di jalan raya," ucap pria yang akrab disapa BHS.
Dia mengaku pernah mengusulkan perlunya dorongan pemerintah kepada masyarakat untuk mau menggunakan jalan antar provinsi di Jawa atau Trans Jawa bagian selatan bagi pemudik yang menggunakan transportasi pribadi. “Saat ini load faktor jalur tersebut hanya sekitar 25% pada saat terjadi musim libur Lebaran." Lanjutnya.
Dia menilai, usulan penambahan libur atau WFH ini bisa mengakibatkan kesulitan pengusaha, baik industri maupun UMKM karena waktu libur Lebaran di Indonesia termasuk adalah yang terpanjang dibanding dengan beberapa negara yang mayoritas penduduknya Muslim.
Misalnya di Malaysia, libur Idulfitri hanya dua hari, Arab Saudi tiga hari dan ditambah Sabtu-Minggu menjadi 5 hari. Kemudian di Turki satu hari ditambah Sabtu-Minggu menjadi 3 hari. Sedangkan di Indonesia sekitar 7 hari termasuk Sabtu-Minggu, belum lagi ditambah WFH sebanyak 2 hari.
”Pasti ini akan menyulitkan dunia usaha dan ekonomi Nasional, serta produktivitas pegawai akan menurun,” ucapnya.
(cip)