Khilafah dan Konflik Laten dengan Allah
A
A
A
Faisal Ismail
Guru Besar Pascasarjana FIAI
Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta
Dalam sebuah tulisan yang diunggah di media sosial dan disertai pajangan foto diri, Emha Ainun Nadjib (akrab disapa Cak Nun) menulis: "Kepada teman-teman Polri saya minta jangan membenci HTI (Hizbut Tahrir Indonesia) karena mereka menginginkan kehidupan yang lebih baik bagi bangsa Indonesia. Mestinya Anda panggil mereka untuk berdialog, simposium 3-5 sesi supaya matang. Kalau langsung Anda berangus, nanti ada cipratannya, akan membengkak, serbuk-serbuknya akan malah melebar ke organ-organ lain. Mohon Anda juga jangan anti-khilafah, kita jangan cari masalah dengan Allah, sebab khilafah itu gagasan paling dasar dari qadla dan qadar-Nya. Kita punya keluarga dan anak cucu, mari kita hindarkan konflik laten dengan Tuhan."
Poin penting pendapat Cak Nun yang perlu didiskusikan adalah khilafah merupakan gagasan paling dasar qadla dan qadar Allah. Benarkah khilafah merupakan gagasan paling dasar qadla dan qadar Allah yang berlaku bagi manusia sebagaimana disebut Cak Nun itu? Apa landasan doktrinal-diniah dan rujukan ilmiah Cak Nun dalam mendukung dan memperkuat pendapatnya bahwa khilalah adalah gagasan paling dasar qadla dan qadar Allah?Emha Ainun Nadjib tidak memaparkan episode sejarah yang membuktikan bahwa khilafah adalah gagasan dasar qadla dan qadar Allah. Dalam tulisannya yang ringkas, Cak Nun tidak mengelaborasinya. Pembaca berhak tahu karena Cak Nun adalah seorang intelektual muslim yang dikenal luas (selain sebagai penyair, sastrawan, dan pimpinan Grup Musik Kiai Kanjeng) serta menjadi panutan di kalangan dan di luar komunitasnya.
Untuk memberikan catatan kritis-apresiatif terhadap pendapat Cak Nun, terlebih dahulu perlu diuraikan tentang pengertian qadla dan qadar. Menurut bahasa, kata qadla berarti hukum, ketetapan, perintah, kehendak, pemberitahuan, dan penciptaan. Menurut istilah, qadla adalah ketentuan dan ketetapan Allah SWT dari sejak zaman azali tentang segala sesuatu yang berkaitan dengan makhluk-Nya sesuai dengan iradah (kehendak-Nya) meliputi hal-hal yang baik dan hal-hal yang buruk, hidup dan mati, serta ketetapan-ketetapan-Nya yang lain.Selanjutnya, kata qadar menurut bahasa berarti kepastian, peraturan, dan ukuran. Secara istilah, qadar adalah realisasi ketetapan/qadla (yang telah ada sejak zaman azali sesuai dengan iradah-Nya) yang berlaku bagi semua makhluk-Nya.
Qadar disebut pula takdir Tuhan yang berlaku bagi semua makhluk-Nya, baik yang telah, sedang, maupun akan terjadi di masa depan. Iman kepada qadla-qadar Allah berarti mempercayai dan meyakini sepenuh hati adanya ketentuan dan ketetapan Allah SWT bagi semua makhluk-Nya. Sayangnya, Emha Ainun Nadjib tidak mengemukakan argumen doktrinal-teologis-diniah dan juga tidak memaparkan episode sejarah kekhalifan Islam yang bisa meyakinkan pembaca bahwa khilafah adalah gagasan paling dasar dari qadla dan qadar Allah.
Poin penting lain pendapat Emha Ainun Nadjib yang perlu dicermati adalah khilafah yang dia maksud adalah khilafah dalam pengertian sistem pemerintahan. Hal ini dapat diketahui, dipahami, dan dibuktikan, dengan pernyataannya yang ia kaitkan dengan ide dan gerakan HTI yang mengusung khilafah, seruannya kepada Polri untuk tidak membenci khilafah, imbauannya untuk mengadakan dialog dan simposium 3-5 sesi tentang khilafah, seruannya agar jangan anti-khilafah, serta jangan memberangus ide dan gerakan khilafah karena mereka (HTI) menginginkan kehidupan yang lebih baik bagi bangsa Indonesia.
Benarkah dengan menerapkan sistem khilafah sebagaimana dicita-citakan HTI akan memberikan kehidupan lebih baik bagi bangsa Indonesia seperti yang disebut Cak Nun itu? Mainstream umat Islam Indonesia menolak (menolak tidak harus diartikan memusuhi, membenci, atau anti, FI) khilafah dan pemerintah telah membubarkan HTI karena organisasi/kelompok ini mengusung ide khilafah yang dinilai bertentangan dengan Pancasila, UUD 1945, nasionalisme, dan NKRI. Fakta ini menjelaskan bahwa Pancasila, UUD 1945, nasionalisme, sistem presidensial, dan NKRI dan bukan sistem khilafah justru sangat pas dan memberikan kehidupan lebih baik bagi bangsa Indonesia.
Selanjutnya poin penting lain pandangan Cak Nun yang perlu dicermati adalah seruannya agar "jangan anti-khilafah, jangan cari masalah dengan Allah" dan "mari kita hindarkan konflik laten dengan Tuhan." Jika logika Cak Nun diikuti, orang-orang yang anti-khilafah berarti mereka mencari masalah dengan Allah dan hal itu menciptakan konflik laten dengan Allah. Logika apa ini? Sedikitnya ada 20 negara di dunia, seperti Mesir, Yordania, Arab Saudi, Turki, Malaysia, serta Indonesia melarang dan membubarkan Hizbut Tahir (HT) yang mengusung ide dan gerakan khilafah.Jika logika Cak Nun diikuti, negara-negara/bangsa-bangsa yang membubarkan HT (pengusung ide dan gerakan khilafah) mencari masalah dengan Allah dan menciptakan konflik laten dengan Allah? Saya yakin negara-negara yang membubarkan HT (pengusung ide dan gerakan khilafah) sama sekali tidak mencari masalah dengan Allah dan tidak menciptakan konflik laten dengan Allah.
Cak Nun perlu menjelaskan maksud pernyataannya "jangan anti-khilafah, jangan cari masalah dengan Allah." Memangnya orang yang tidak suka atau anti-khilafah mencari masalah apa dengan Allah? Juga Cak Nun harus menjelaskan maksud pernyataannya "mari kita hindarkan konflik laten dengan Allah." Konflik laten dengan Allah itu seperti apa, apa wujudnya, dan bagaimana kejadian atau peristiwanya? Apa konkretnya bentuk-bentuk konflik laten dengan Allah itu? Emha Ainun Nadjib seharusnya menjelaskan dan mengelaborasi dengan mengangkat contoh-contoh tentang (kemungkinan) timbulnya "masalah dengan Allah" dan terjadinya ketegangan dan pertentangan/"konflik laten dengan Allah" itu.
Hal yang saya pelajari dari sejarah kekhalifahan Islam pada zaman klasik adalah mengerasnya perseteruan, permusuhan, pertentangan, dan konflik antara Dinasti Umayyah dan Dinasti Abbasiyah. Pada 750 M, Dinasti Abbasiyah secara tragis menumbangkan Dinasti Umayyah di Damaskus dan pasukan Abbasiyah melakukan pembantaian massal terhadap keluarga Umayyah. Sudah sejak lama terjadi konflik laten antara Dinasti Abbasiyah dan Dinasti Umayyah.Saya yakin, umat Islam Indonesia dan bangsa Indonesia (dan bangsa-bangsa lain) yang menolak khilafah (karena itu pengusungnya, Hizbut Tahrir, dibubarkan dan dilarang) tidak mencari masalah dengan Allah dan tidak menciptakan konflik laten dengan Allah.
Guru Besar Pascasarjana FIAI
Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta
Dalam sebuah tulisan yang diunggah di media sosial dan disertai pajangan foto diri, Emha Ainun Nadjib (akrab disapa Cak Nun) menulis: "Kepada teman-teman Polri saya minta jangan membenci HTI (Hizbut Tahrir Indonesia) karena mereka menginginkan kehidupan yang lebih baik bagi bangsa Indonesia. Mestinya Anda panggil mereka untuk berdialog, simposium 3-5 sesi supaya matang. Kalau langsung Anda berangus, nanti ada cipratannya, akan membengkak, serbuk-serbuknya akan malah melebar ke organ-organ lain. Mohon Anda juga jangan anti-khilafah, kita jangan cari masalah dengan Allah, sebab khilafah itu gagasan paling dasar dari qadla dan qadar-Nya. Kita punya keluarga dan anak cucu, mari kita hindarkan konflik laten dengan Tuhan."
Poin penting pendapat Cak Nun yang perlu didiskusikan adalah khilafah merupakan gagasan paling dasar qadla dan qadar Allah. Benarkah khilafah merupakan gagasan paling dasar qadla dan qadar Allah yang berlaku bagi manusia sebagaimana disebut Cak Nun itu? Apa landasan doktrinal-diniah dan rujukan ilmiah Cak Nun dalam mendukung dan memperkuat pendapatnya bahwa khilalah adalah gagasan paling dasar qadla dan qadar Allah?Emha Ainun Nadjib tidak memaparkan episode sejarah yang membuktikan bahwa khilafah adalah gagasan dasar qadla dan qadar Allah. Dalam tulisannya yang ringkas, Cak Nun tidak mengelaborasinya. Pembaca berhak tahu karena Cak Nun adalah seorang intelektual muslim yang dikenal luas (selain sebagai penyair, sastrawan, dan pimpinan Grup Musik Kiai Kanjeng) serta menjadi panutan di kalangan dan di luar komunitasnya.
Untuk memberikan catatan kritis-apresiatif terhadap pendapat Cak Nun, terlebih dahulu perlu diuraikan tentang pengertian qadla dan qadar. Menurut bahasa, kata qadla berarti hukum, ketetapan, perintah, kehendak, pemberitahuan, dan penciptaan. Menurut istilah, qadla adalah ketentuan dan ketetapan Allah SWT dari sejak zaman azali tentang segala sesuatu yang berkaitan dengan makhluk-Nya sesuai dengan iradah (kehendak-Nya) meliputi hal-hal yang baik dan hal-hal yang buruk, hidup dan mati, serta ketetapan-ketetapan-Nya yang lain.Selanjutnya, kata qadar menurut bahasa berarti kepastian, peraturan, dan ukuran. Secara istilah, qadar adalah realisasi ketetapan/qadla (yang telah ada sejak zaman azali sesuai dengan iradah-Nya) yang berlaku bagi semua makhluk-Nya.
Qadar disebut pula takdir Tuhan yang berlaku bagi semua makhluk-Nya, baik yang telah, sedang, maupun akan terjadi di masa depan. Iman kepada qadla-qadar Allah berarti mempercayai dan meyakini sepenuh hati adanya ketentuan dan ketetapan Allah SWT bagi semua makhluk-Nya. Sayangnya, Emha Ainun Nadjib tidak mengemukakan argumen doktrinal-teologis-diniah dan juga tidak memaparkan episode sejarah kekhalifan Islam yang bisa meyakinkan pembaca bahwa khilafah adalah gagasan paling dasar dari qadla dan qadar Allah.
Poin penting lain pendapat Emha Ainun Nadjib yang perlu dicermati adalah khilafah yang dia maksud adalah khilafah dalam pengertian sistem pemerintahan. Hal ini dapat diketahui, dipahami, dan dibuktikan, dengan pernyataannya yang ia kaitkan dengan ide dan gerakan HTI yang mengusung khilafah, seruannya kepada Polri untuk tidak membenci khilafah, imbauannya untuk mengadakan dialog dan simposium 3-5 sesi tentang khilafah, seruannya agar jangan anti-khilafah, serta jangan memberangus ide dan gerakan khilafah karena mereka (HTI) menginginkan kehidupan yang lebih baik bagi bangsa Indonesia.
Benarkah dengan menerapkan sistem khilafah sebagaimana dicita-citakan HTI akan memberikan kehidupan lebih baik bagi bangsa Indonesia seperti yang disebut Cak Nun itu? Mainstream umat Islam Indonesia menolak (menolak tidak harus diartikan memusuhi, membenci, atau anti, FI) khilafah dan pemerintah telah membubarkan HTI karena organisasi/kelompok ini mengusung ide khilafah yang dinilai bertentangan dengan Pancasila, UUD 1945, nasionalisme, dan NKRI. Fakta ini menjelaskan bahwa Pancasila, UUD 1945, nasionalisme, sistem presidensial, dan NKRI dan bukan sistem khilafah justru sangat pas dan memberikan kehidupan lebih baik bagi bangsa Indonesia.
Selanjutnya poin penting lain pandangan Cak Nun yang perlu dicermati adalah seruannya agar "jangan anti-khilafah, jangan cari masalah dengan Allah" dan "mari kita hindarkan konflik laten dengan Tuhan." Jika logika Cak Nun diikuti, orang-orang yang anti-khilafah berarti mereka mencari masalah dengan Allah dan hal itu menciptakan konflik laten dengan Allah. Logika apa ini? Sedikitnya ada 20 negara di dunia, seperti Mesir, Yordania, Arab Saudi, Turki, Malaysia, serta Indonesia melarang dan membubarkan Hizbut Tahir (HT) yang mengusung ide dan gerakan khilafah.Jika logika Cak Nun diikuti, negara-negara/bangsa-bangsa yang membubarkan HT (pengusung ide dan gerakan khilafah) mencari masalah dengan Allah dan menciptakan konflik laten dengan Allah? Saya yakin negara-negara yang membubarkan HT (pengusung ide dan gerakan khilafah) sama sekali tidak mencari masalah dengan Allah dan tidak menciptakan konflik laten dengan Allah.
Cak Nun perlu menjelaskan maksud pernyataannya "jangan anti-khilafah, jangan cari masalah dengan Allah." Memangnya orang yang tidak suka atau anti-khilafah mencari masalah apa dengan Allah? Juga Cak Nun harus menjelaskan maksud pernyataannya "mari kita hindarkan konflik laten dengan Allah." Konflik laten dengan Allah itu seperti apa, apa wujudnya, dan bagaimana kejadian atau peristiwanya? Apa konkretnya bentuk-bentuk konflik laten dengan Allah itu? Emha Ainun Nadjib seharusnya menjelaskan dan mengelaborasi dengan mengangkat contoh-contoh tentang (kemungkinan) timbulnya "masalah dengan Allah" dan terjadinya ketegangan dan pertentangan/"konflik laten dengan Allah" itu.
Hal yang saya pelajari dari sejarah kekhalifahan Islam pada zaman klasik adalah mengerasnya perseteruan, permusuhan, pertentangan, dan konflik antara Dinasti Umayyah dan Dinasti Abbasiyah. Pada 750 M, Dinasti Abbasiyah secara tragis menumbangkan Dinasti Umayyah di Damaskus dan pasukan Abbasiyah melakukan pembantaian massal terhadap keluarga Umayyah. Sudah sejak lama terjadi konflik laten antara Dinasti Abbasiyah dan Dinasti Umayyah.Saya yakin, umat Islam Indonesia dan bangsa Indonesia (dan bangsa-bangsa lain) yang menolak khilafah (karena itu pengusungnya, Hizbut Tahrir, dibubarkan dan dilarang) tidak mencari masalah dengan Allah dan tidak menciptakan konflik laten dengan Allah.
(rhs)