DPR Desak Menteri ESDM Jelaskan Pencabutan IUP oleh Bahlil Lahadalia
loading...
A
A
A
JAKARTA - Komisi VII DPR mendesak Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif menjelaskan, pencabutan 2.051 Izin Usaha Pertambangan (IUP) sejak 2022 melalui Surat Keputusan (SK) yang dikeluarkan Menteri Investasi/Kepala BKPM Bahlil Lahadalia. Sebelum IUP dicabut, jumlahnya sempat 2.078.
Maka itu, pencabutan 2.051 IUP tersebut dipertanyakan Komisi VII DPR. Padahal dalam Pasal 116 Undang-Undang (UU) Nomor 3 Tahun 2020 Tentang Mineral dan Batubara (Minerba) tercantum bahwa yang melakukan pencabutan IUP adalah menteri yang terkait dengan pertambangan Minerba bukan menteri investasi.
"Kita baca halaman 1 ini ya. Apabila terdapat perbedaan jumlah data pencabutan IUP antara Dirjen Minerba dengan BKPM dimungkinkan adanya pencabutan IUP oleh Menteri Investasi/Kepala BKPM yang tidak atau belum dikirim tembusan ke Dirjen Minerba," kata anggota Komisi VII DPR Mulyanto dalam Rapat Kerja Komisi VII DPR dengan Menteri ESDM Arifin Tasrif, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (19/3/2024).
"Ini kalau kita baca sangat jelas bahwa kewenangan pencabutan sepertinya ada di tangan Menteri Investasi," sambung politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini
Maka itu, kata dia, secara kasat mata terjadi maladministrasi tata kelola, bad government, pemerintahan yang tidak baik menempatkan aktor pelaku undang-undang ini. Diketahui sebelumnya, anggota Komisi VII DPR Abdul Kadir Karding juga mempertanyakan hal serupa saat rapat dengar pendapat dengan Dirjen Minerba.
Karding meminta penjelasan apakah betul kewenangan pencabutan IUP terutama Minerba itu ada di Kepala BKPM. Dia juga mempertanyakan apakah betul BKPM berjalan sendiri tanpa rekomendasi dari Kementerian ESDM?
Dalam rapat kerja Komisi VII DPR, Arifin menerangkan bahwa dalam Pasal 191 UU Minerba Nomor 3 Tahun 2020 dijelaskan bahwa pertambangan IUP dan IUPK dapat dicabut oleh Menteri, jika tidak memenuhi kewajiban yang ditetapkan dalam IUP dan IUPK serta ketentuan dalam peraturan perundang-undangan.
Dia menambahkan, pemegang IUP atau IUPK tersebut melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam UU yang berujung pada kepailitan. Lalu, pemegang IUP dan IUPK tidak melaporkan Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) tahunan.
Maka itu, pencabutan 2.051 IUP tersebut dipertanyakan Komisi VII DPR. Padahal dalam Pasal 116 Undang-Undang (UU) Nomor 3 Tahun 2020 Tentang Mineral dan Batubara (Minerba) tercantum bahwa yang melakukan pencabutan IUP adalah menteri yang terkait dengan pertambangan Minerba bukan menteri investasi.
"Kita baca halaman 1 ini ya. Apabila terdapat perbedaan jumlah data pencabutan IUP antara Dirjen Minerba dengan BKPM dimungkinkan adanya pencabutan IUP oleh Menteri Investasi/Kepala BKPM yang tidak atau belum dikirim tembusan ke Dirjen Minerba," kata anggota Komisi VII DPR Mulyanto dalam Rapat Kerja Komisi VII DPR dengan Menteri ESDM Arifin Tasrif, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (19/3/2024).
"Ini kalau kita baca sangat jelas bahwa kewenangan pencabutan sepertinya ada di tangan Menteri Investasi," sambung politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini
Maka itu, kata dia, secara kasat mata terjadi maladministrasi tata kelola, bad government, pemerintahan yang tidak baik menempatkan aktor pelaku undang-undang ini. Diketahui sebelumnya, anggota Komisi VII DPR Abdul Kadir Karding juga mempertanyakan hal serupa saat rapat dengar pendapat dengan Dirjen Minerba.
Karding meminta penjelasan apakah betul kewenangan pencabutan IUP terutama Minerba itu ada di Kepala BKPM. Dia juga mempertanyakan apakah betul BKPM berjalan sendiri tanpa rekomendasi dari Kementerian ESDM?
Dalam rapat kerja Komisi VII DPR, Arifin menerangkan bahwa dalam Pasal 191 UU Minerba Nomor 3 Tahun 2020 dijelaskan bahwa pertambangan IUP dan IUPK dapat dicabut oleh Menteri, jika tidak memenuhi kewajiban yang ditetapkan dalam IUP dan IUPK serta ketentuan dalam peraturan perundang-undangan.
Dia menambahkan, pemegang IUP atau IUPK tersebut melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam UU yang berujung pada kepailitan. Lalu, pemegang IUP dan IUPK tidak melaporkan Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) tahunan.