Menilai Narasi Hilirisasi Jokowi: Pahlawan Kesiangan

Minggu, 17 Maret 2024 - 16:27 WIB
loading...
Menilai Narasi Hilirisasi...
Oponi dari Nirmal Ilham, Tenaga Ahli DPR RI. Foto/Ilustrasi/SINDOnews
A A A
Nirmal Ilham
Tenaga Ahli DPR RI

PADA tahun 1960, Presiden Sukarno menginisiasi pembangunan Proyek Baja Trikora bekerja sama dengan Uni Soviet. Pada 20 Mei 1962 pembangunan pabrik Cilegon Steel Mill dimulai (sekarang PT Krakatau Steel Tbk). Sukarno yang visioner memahami bahwa industri besi dan baja adalah mother of industry. Karena semua industri memerlukan besi dan baja. Maka Sukarno ingin meletakkan dasar penting bagi negara agraris untuk dapat menuju negara industri dikemudian hari.

Pada masa itu Indonesia masih mengekspor kayu hutan secara gelondongan. Tapi terhadap sumber daya alam bijih besi yang strategis, Sukarno tidak mau mengekspornya secara mentah. Sukarno ingin bijih besi yang melimpah di Sumatera, Jawa, Kalimantan dan Sulawesi diolah di dalam negeri. Karena akan mampu mendukung perkembangan industri nasional yang mandiri, bernilai tambah tinggi dan berpengaruh bagi ekonomi.

Pembangunan pabrik smelter salah satu yang terbesar di asia pada saat itu dipilih di tepi pantai Cilegon, Banten oleh Biro Perancang Negara (sekarang Bappenas). Lengkap dengan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU), pelabuhan dan jalur kereta api. Sumber bahan bakarnya dari batubara Tanjung Enim, Sumatera Selatan. Yang telah dieksploitasi oleh Belanda sejak 1919. Lalu oleh Sukarno dijadikan Perusahaan Negara Tambang Arang Bukit Asam (PN TABA) pada 1950 (Sekarang PT Bukit Asam Tbk).

Artinya Sukarno-lah yang pertama kali melakukan hilirisasi sumber daya alam tambang. Dan Sukarno memulainya dari industri yang utama, besi dan baja. Selanjutnya Sukarno merancang agar tambang bijih besinya punya negara, pabrik smelternya dimiliki oleh negara, dan bahan bakar batubaranya dari perusahaan negara. Hasilnya untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri yang utama, sisanya diekspor. Sesuai dengan semangat "Berdikari Dalam Ekonomi".

Namun pihak barat yang dipelopori Amerika tidak mau melihat Indonesia menuju negara industri. Mengadopsi teknologi Uni Soviet yang canggih. Dan kedekatan Indonesia-Uni Soviet. Amerika lalu membuat krisis ekonomi di Indonesia sehingga inflasi tinggi dan terpaksa mengeluarkan kebijakkan sanering. Selanjutnya operasi CIA dalam tujuh percobaan pembunuhan Sukarno. Dan berakhir dengan dikudetanya Sukarno oleh our local army friends kata dinas rahasia Amerika tersebut.

Jenderal Suharto yang melihat terhentinya pembangunan pengolahan besi baja terpadu itu. Mengambil tanggung jawab untuk melanjutkannya. Kemudian keluarlah Peraturan Pemerintah No 35 tahun 1970 untuk didirikannya PT Krakatau Steel (Persero). Teknologinya bekerjasama dengan Jerman Barat. Artinya Suharto memulai hilirisasi tambang sejak awal naik menjadi presiden, dengan mengambil berbagai risiko yang dapat terjadi dari ketidaksukaan pihak barat.

Pada 6 Januari 1976, Suharto mendirikan pabrik pengolahan alumunium dan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) sebagai sumber energinya di Asahan, Sumatera Utara. Perusahaannya bernama Nippon Asahan Alumunium, karena 90 persen sahamnya dimiliki Jepang dengan 12 perusahaan besar diantaranya Mitsubishi, Sumitomo dan Mitsui. 10 persen sisanya dimiliki pemerintah Indonesia.

Sesuai perjanjian, kepemilikan saham Jepang harus dikurangi secara bertahap seiring berjalannya waktu produksi. Hingga akhirnya pada 9 Desember 2013 seluruh sahamnya dipegang oleh pemerintah Indonesia. Yang kemudian mengganti namanya menjadi PT Inalum (Indonesia Asahan Alumunium).

PT Inalum inilah yang menjadi andalan Jokowi dalam membentuk holding BUMN pertambangan MIND ID (Mining Industry Indonesia penggabungan PT Inalum, PT Bukit Asam, PT Aneka Tambang dan PT Timah). PT Inalum jugalah yang ditugaskan Jokowi untuk menguasai 51 persen saham PT Freeport Indonesia, 20 persen saham PT Vale Indonesia dan mendirikan PT Industri Baterei Indonesia bersama PLN, Pertamina dan Aneka Tambang.

Sehingga ketika Presiden Jokowi mengatakan Indonesia sejak dari jaman Belanda hingga sekarang selalu mengekspor bahan mentah dari sumber daya alam tambang. Terlihat Jokowi berusaha menutupi sejarah Sukarno dan Suharto yang setengah abad lalu sudah melakukan hilirisasi tambang. Dalam hal ini Jokowi seperti ingin tampil hebat, padahal yang sebenarnya hebat adalah Sukarno dan Suharto. Karena mereka berani meletakkan visi dan harga diri bangsanya pada posisi tertinggi dalam melakukan hilirisasi. Walaupun semua tahu Indonesia waktu itu masih miskin dan bodoh.

Dan ketika Presiden Jokowi mengatakan hilirisasi tambang nikel harus dimulai dan diteruskan, tidak peduli dengan gugatan pihak barat. Tampak Jokowi berusaha tampil bak pahlawan, padahal itu dilakukan di sisa akhir masa jabatannya. Tidak sebanding dengan sejarah heroik Suharto yang melakukan hilirisasi tambang bijih besi dan alumunium di awal masa jabatannya. Sehingga sangat pantas jika dalam kebijakkan hilirisasi tambang, Jokowi diberi julukan "Pahlawan Kesiangan".
(maf)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1358 seconds (0.1#10.140)