Perempuan dan Aksara
loading...
A
A
A
Akan tetapi, kesaktian itu sesungguhnya sudah ada dalam diri perempuan sejak ia masih berupa janin. Hanya perlu membukanya dengan kunci yang tepat. Sayangnya, kunci itu sendiri butuh untuk ditemukan. Yang menemukan secara tidak sengaja, patut bersyukur, tidak perlu buang banyak tenaga. Sementara yang sengaja mencarinya, malah kesulitan karena―sialnya―bertemu dengan partner yang tidak ingin kunci itu ditemukan. Atau, kuncinya sudah ditemukan, tetapi berusaha dirusak dengan segala cara.
Ada lelucon berbunyi begini, “Kalau perempuan dianggap lemah, mengapa obat kuat justru tercipta untuk laki-laki?” Saya pikir ini senada dengan premis yang disampaikan Rina Nose. Paradoks yang mengundang tawa sekaligus tanya. Benarkah label-label yang selama ini kita dengar tentang perempuan? Atau, itu hanya rekaan kaum patriarki? Adonis, seorang penyair berkebangsaan Suriah, bercerita banyak soal perempuan di bukunya Sejarah yang Tercabik di Tubuh Perempuan (Diva Press, 2022).
Begitulah perempuan:/Sesekali, yang menjerat dirinya adalah putranya/Tapi seringkali, yang menjerat dirinya adalah suaminya/ (halaman 18). Saya rasa bait tersebut cukup gamblang. Siapa pun dapat dengan mudah menerjemahkan. Namun, ini bukan berarti kita berhak menyalahkan para suami (juga anak). Sama seperti relasi lainnya, tuntutan akan selalu ada.
baca juga: Serunya Berkarier sebagai Penulis, Ini Alasannya!
Akan tetapi, dari situ akan lahir kesepakatan-kesepakatan yang diharapkan tidak merugikan pihak mana pun. Ini termasuk membebaskan perempuan menjadi dirinya sendiri. Dengan begitu, potensi dan kekuatannya dapat bermanfaat bagi banyak orang. Mari kita simak kutipan berikut. Diambil dari Ruang Milik Sendiri karya Virginia Woolf.
… mengapa perempuan tak menulis puisi pada zaman Elizabeth, dan aku kurang yakin bagaimana mereka dididik; apakah mereka diajari menulis; apakah mereka memiliki ruang untuk diri mereka sendiri; berapa banyak perempuan yang memiliki anak sebelum berusia dua puluh satu tahun; singkatnya, apa saja yang mereka lakukan dari jam delapan pagi sampai jam delapan malam. (halaman 52)
Dalam sebuah film―kebetulan saya lupa judulnya, tetapi ingat sekali salah satu bagiannya―diceritakan seorang perempuan harus memakai nama laki-laki ketika menerbitkan karyanya. Ya, semata-mata agar ada yang sudi membeli.
Entah apa yang melatari. Apakah pihak yang berkuasa kala itu memang melarang? Apakah masyarakat tidak percaya bahwa perempuan bisa menulis (dalam hal ini, sebuah tulisan fiksi)? Apakah demi menghindari kritik atas karyanya, penulis sengaja ‘bersembunyi’?
Probabilitasnya cukup luas. Apa pun alasannya, akan terbentuk opini di kemudian hari bahwa perempuan sulit mendapat tempat dalam sebuah komunitas. Tekanan-tekanan serupa juga diceritakan Nawal El Saadawi dalam bukunya Melawan Sistem Perbudakan (IRCiSoD, 2022).
Sejak lahir, perempuan seolah-olah tidak memiliki hak selain ‘menundukkan pandangannya’. Tidak mengherankan. Ketika perempuan benar-benar memaknai otaknya, ia akan mudah mengalahkan laki-laki, apalagi jika para laki-laki ini dicekoki slogan ‘tidak boleh kalah dari perempuan’.
Aturan-aturan akhirnya tercipta untuk membatasi gerak perempuan. Sebab, tidak dimungkiri, dengan pandangan yang lebih luas, yang lebih menyentuh langit, pikiran perempuan (tentu saja beserta hatinya) mampu menuntaskan tantangan sebesar dan seberat apa pun.
Ada lelucon berbunyi begini, “Kalau perempuan dianggap lemah, mengapa obat kuat justru tercipta untuk laki-laki?” Saya pikir ini senada dengan premis yang disampaikan Rina Nose. Paradoks yang mengundang tawa sekaligus tanya. Benarkah label-label yang selama ini kita dengar tentang perempuan? Atau, itu hanya rekaan kaum patriarki? Adonis, seorang penyair berkebangsaan Suriah, bercerita banyak soal perempuan di bukunya Sejarah yang Tercabik di Tubuh Perempuan (Diva Press, 2022).
Begitulah perempuan:/Sesekali, yang menjerat dirinya adalah putranya/Tapi seringkali, yang menjerat dirinya adalah suaminya/ (halaman 18). Saya rasa bait tersebut cukup gamblang. Siapa pun dapat dengan mudah menerjemahkan. Namun, ini bukan berarti kita berhak menyalahkan para suami (juga anak). Sama seperti relasi lainnya, tuntutan akan selalu ada.
baca juga: Serunya Berkarier sebagai Penulis, Ini Alasannya!
Akan tetapi, dari situ akan lahir kesepakatan-kesepakatan yang diharapkan tidak merugikan pihak mana pun. Ini termasuk membebaskan perempuan menjadi dirinya sendiri. Dengan begitu, potensi dan kekuatannya dapat bermanfaat bagi banyak orang. Mari kita simak kutipan berikut. Diambil dari Ruang Milik Sendiri karya Virginia Woolf.
… mengapa perempuan tak menulis puisi pada zaman Elizabeth, dan aku kurang yakin bagaimana mereka dididik; apakah mereka diajari menulis; apakah mereka memiliki ruang untuk diri mereka sendiri; berapa banyak perempuan yang memiliki anak sebelum berusia dua puluh satu tahun; singkatnya, apa saja yang mereka lakukan dari jam delapan pagi sampai jam delapan malam. (halaman 52)
Dalam sebuah film―kebetulan saya lupa judulnya, tetapi ingat sekali salah satu bagiannya―diceritakan seorang perempuan harus memakai nama laki-laki ketika menerbitkan karyanya. Ya, semata-mata agar ada yang sudi membeli.
Entah apa yang melatari. Apakah pihak yang berkuasa kala itu memang melarang? Apakah masyarakat tidak percaya bahwa perempuan bisa menulis (dalam hal ini, sebuah tulisan fiksi)? Apakah demi menghindari kritik atas karyanya, penulis sengaja ‘bersembunyi’?
Probabilitasnya cukup luas. Apa pun alasannya, akan terbentuk opini di kemudian hari bahwa perempuan sulit mendapat tempat dalam sebuah komunitas. Tekanan-tekanan serupa juga diceritakan Nawal El Saadawi dalam bukunya Melawan Sistem Perbudakan (IRCiSoD, 2022).
Sejak lahir, perempuan seolah-olah tidak memiliki hak selain ‘menundukkan pandangannya’. Tidak mengherankan. Ketika perempuan benar-benar memaknai otaknya, ia akan mudah mengalahkan laki-laki, apalagi jika para laki-laki ini dicekoki slogan ‘tidak boleh kalah dari perempuan’.
Aturan-aturan akhirnya tercipta untuk membatasi gerak perempuan. Sebab, tidak dimungkiri, dengan pandangan yang lebih luas, yang lebih menyentuh langit, pikiran perempuan (tentu saja beserta hatinya) mampu menuntaskan tantangan sebesar dan seberat apa pun.