Parpol Harus Bangun Narasi Impresif di Medsos

Jum'at, 31 Agustus 2018 - 23:42 WIB
Parpol Harus Bangun...
Parpol Harus Bangun Narasi Impresif di Medsos
A A A
JAKARTA - Partisipasi politik masyarakat saat ini dinilai terjadi ledakan seiring dengan membeludaknya penggunaan media sosial (medsos). Indikasinya terlihat dari penggunaan medsos seperti Facebook, Twitter, Instagram, dan lainnya yang berkaitan dengan konten politik.

Pakar komunikasi politik dari Universitas Gajah Mada (UGM), Yogyakarta, Nyarwi Ahmad mengatakan, penggunaan medsos di Indonesia termasuk terbesar di dunia. Karena itu, partai politik (parpol) harus bisa memanfaatkan ledakan partisipasi politik ini. Nyarwi menjelaskan, partisipasi politik adalah poin paling penting dari demokrasi. Tidak ada demokrasi tanpa partisipasi.

"Tagar 2019 Ganti Presiden atau tagar 2019 Tetap Bersaudara, merupakan satu metamorfosis partisipasi politik. Partisipasi bertemu antara yang online dan offline, atau antara media sosial dan kenyataan (riil). Ini positif karena partisipasi kelas menengah yang sebelumnya malu-malu sekarang muncul dan menguat. Bahasa-bahasa politik tidak lagi dengan bahasa standar, formal, ilmiah, tapi bahasa visual, seperti meme,” jelas Nyarwi dalam diskusi bertema "Penguatan Partisipasi Politik Masyarakat" yang digelar Koordinatoriat Wartawan Parlemen bekerjasama dengan Biro Humas MPR di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Jumat (31/8/2018).

Direktur Presidential Studies-DECODE UGM ini menuturkan, ledakan partisipasi politik yang luar biasa ini jika bisa di-manage dengan baik maka bisa memberikan dampak yang sangat positif. Artinya, parpol harus bisa memanfaatkan tingginya partisipasi politik, misalnya dengan membangun narasi atau pesan yang impresif kepada pemilih. "#2019GantiPresiden misalnya, harus dibangun dengan narasi yang meyakinkan. Misalnya, mengapa ganti presiden dan apa alasan-alasannya? Isu apa yang menjadikan kita merasa penting ganti presiden. Begitu pula #2019TetapJokowi, apa narasinya? Kenapa harus tetap Jokowi?" katanya.

Nyarwi mengaku optimistis ledakan partisipasi politik di Indonesia, seperti terlihat dalam aktivitas diskusi, platform politik, bisa memberi manfaat positif. "Artinya, orang peduli dengan dunia politik. Itu sudah satu poin. Karena itu tingkat kepercayaan pada partai politik perlu ditingkatkan. Bonus demografi dan kelas menengah akan membuat riuh perpolitikan,” sambungnya.

Nyarwi menyebutkan, partisipasi politik di negara-negara lain dalam pemilu rata-rata tidak sampai 60%. Bahkan, partisipasi dalam pemilu 50% saja di luar negeri sudah tinggi, seperti di Italia. "Partisipasi politik di Indonesia yang 70% itu, sudah tinggi sekali,” tandasnya.

Sementara itu, anggota MPR yang juga Sekjen Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Abdul Kadir Karding mengatakan, partisipasi publik dalam politik menjadi ukuran keberhasilan demokrasi. "Jadi kalau partisipasinya banyak itu dianggap demokrasi jauh lebih baik. Tetapi kalau partisipasi politik itu rendah menjadi lampu kuning bagi demokrasi sekaligus legitimasi kekuasaan. Jadi partisipasi ini bisa menjadi ukuran legitimasi kekuasaan," tuturnya.

Karding menuturkan, untuk meningkatkan partisipasi publik dalam politik, para pelaku politik harus cerdas dan kreatif menggunakan instrumen media komunikasi, termasuk medsos untuk menggerakkan kesadaran masyarakat akan hak dan kewajibannya untuk mendorong agar begini, salah satu kenapa orang mau berpartisipasi. "Saya kira medsos atau instrumen teknologi yang canggih ini harus menjadi instrumen yang baik bagi kita," tuturnya.

Institusi-institusi politik seperti DPR, kata Karding, harus bisa menunjukkan citra yang positif agar publik mau berpartisipasi dalam politik. "Partisipasi akan tinggi kalau citra publik kinerja kita itu baik, dan tersosialisasikan baik. Tapi kalau tidak, saya dengar banyak survei mengatakan bahwa kecenderungan orang itu melihat misalnya partai politik itu tingkat kepercayaannya rendah, ini menurut saya juga riskan," tuturnya.

Menurutnya, parpol juga harus mencegah hal-hal yang bertentangan dengan opini publik, terutama yang sensitif. Misalnya bergaya hidup berlebihan, korupsi, dan lainnya. "Itu jadi catatan kita sebagai tokoh-tokoh politik, aktivis politik, sebagai partai dan termasuk juga di DPR ini. Saya kira harus dibangun ke sana karena itu akan memobilisasi secara langsung maupun tidak langsung terhadap partisipasi," urainya.
(pur)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6045 seconds (0.1#10.140)