Belanja Daerah Harus Dipercepat

Jum'at, 14 Agustus 2020 - 06:41 WIB
loading...
Belanja Daerah Harus...
Foto/dok
A A A
JAKARTA - Pemerintah daerah di tingkat kabupaten/kota maupun provinsi harus bergerak cepat merealisasikan penggunaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) . Perlu upaya khusus agar realiasi anggaran di daerah yang kerap terlambat tidak terulang di masa mendatang.

Masalah klasik terkait minimnya realiasi anggaran di daerah memang bukan kali ini terjadi. Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) bahkan mencatat, realisasi anggaran yang minim ini terjadi saban tahun. Beberapa persoalan yang masih terjadi antara lain penyerapan yang rendah, besarnya belanja birokrasi dan proses laporan yang belum optimal.

“Kalau terjadi tahun ini kebangetan. Kenapa? Karena SKB (surat keputusan bersama) Menteri Keuangan dan Menteri Dalam Negeri itu minimal 35% APBD dipakai untuk realokasi anggaran dan refocusing program. Rinciannya, 50% dari belanja modal, belanja barang dan jasa, dan belanja aparatur,” kata Direktur Eksekutif KPPOD Robert Endi Jaweng saat dihubungi SINDO Media, di Jakarta, kemarin.

Dia menambahkan, melihat laporan yang disampaikan oleh Kementerian Dalam Negeri terkait realiasi APBD, dipastikan ada yang keliru apabila pemda-pemda belum bisa mengeluarkan anggarannya secara maksimal saat ini. (Baca: AS Peringatkan Rusia Tidak Tawarkan Hadiah untuk Tentaranya)

Dengan mengacu pada SKB tersebut, ujar dia, minimal pemda seharusnya sudah mengeluarkan 35% untuk belanja penanggulangan Covid-19. Bahkan jumlahnya bisa melebihi apabila ditambah dengan pengeluaran lain.

“Agustus ini minimal pengeluaran pemda-pemda itu sudah 50%. Kalau belum sampai titik itu, masalahnya bukan hanya daya serap rendah, tapi komitmen penanggulangan pandemi Covid-19 dipertanyakan,” ucapnya.

Sekadar diketahui, pada Rabu (12/08), Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) mengumumkan realisasi belanja di 34 provinsi baru rata-rata 37,9% atau Rp128,54 triliun dari total belanja sebesar Rp339,14 triliun. Sementara secara nasional, realisasi belanja mencapai 47,36%. Adapun rata-rata serapan kabupaten kota adalah 37,45% atau Rp310,03 triliun dari total alokasi belanja Rp827,80 triliun.

"Untuk belanja provinsi 37,9%. Kalau kita bandingan semester I/2019 itu angkanya 40,77%, Jadi ada penurunan sekitar 3,2% kalau kita bandingkan dengan semester I 2019,” ucap Direktur Jenderal Bina Keuangan Daerah (Keuda) Kemendagri Mochammad Ardian. (Baca juga: Pesan Amien Rais untuk Jokowi: Terus atau Mundur)

Data Kemendagri menyebutkan, ada lima provinsi dengan serapan di atas rata-rata nasional yakni DKI Jakarta 54,06%, Kalimantan Selatan 53,49%, Sumatera Barat 51,88%, Sulawesi Selatan 50,25% dan Gorontalo 48,81%. Sementara itu masih ada dua provinsi dengan serapan kurang dari 25% yakni Sulawesi Tenggara 24,56% dan Papua 21,57%.

Terkendala Teknis

Menurut Robert, selama masa pandemi Covid-19, ada sejumlah masalah teknis yang ditemui ketika pegawai negeri sipil (PNS) bekerja dari rumah. Mereka tidak banyak melakukan perjalanan dinas dan belanja lapangan sekarang sulit. Kemudian, rekanan dan pihak ketiga belum bisa bekerja optimal di tengah keterbatasan untuk bergerak karena pandemi Covid-19.

“Tapi lihat yang re-focusing program tanpa butuh keterlibatan presiden terlalu dalam itu bisa. Ada tiga aspek prioritas (penanganan pandemi), yakni belanja sistem kesehatan, belanja terkait jaring pengaman sosial, dan penanggulangan ekonomi dalam bentuk insentif kepada UKM. Yang seperti itu tidak perlu keterlibatan fisik. Itu dikelola dan kerja di rumah sekalipun bisa,” paparnya. (Lihat fotonya: Gajah Jinak Mati Mendadak di Aceh Jaya)

Menurut Robert, dalam mengeluarkan anggaran yang besar dan singkat, pemda memang cukup berhati-hati. Dia membenarkan pemda sempat khawatir mengeluarkan anggaran pada bulan Mei dan Juni. Hal itu disebabkan disharmoni regulasi antar kementerian.

Namun, semakin ke sini regulasinya sudah terpadu. Sekarang masalahnya ada pada birokrasi di lapangan yang masih menggunakan pola kerja dan mindset lama. Selain itu, ada juga serapan anggaran rendah karena masalah konflik politik di daerah, seperti di Kabupaten Jember.

“Kalau problem teknis, prosedur, dan sebagainya, harus ada tindakan khusus. Kita saat ini situasinya tidak normal, maka tidak bisa menggunakan cara-cara dan proses lama. Menteri Keuangan sudah mulai mendorong relaksasi belanja dana desa. Kemendagri membuat regulasi relaksasi APBD desa,” katanya.

Berdasarkan data KPPOD, sejak 2001 silam, hambatan dalam pengeluaran anggaran itu selalu sama yakni politik, teknis, dan hukum. Robert menerangkan jika masalahnya politik, seperti lambatnya pengesahan APBD itu harus diteguroleh pemerintah pusat. Pasalnya, lambatnya pengesahan akan merembet ke belanja daerah yang ikut telat.

“Kalau masalahnya teknis, harus dicari masalahnya. Terkait hukum itu soal regulasi yang mungkin membingungkan dan menjebak, itu perlihat oleh Kemendagri. Jadi kasus per kasus harus dilihat,” katanya. (Lihat videonya: Hujan Es Disertai Angin Kencang Terjadi di Cimahi)

Peneliti Indef Bhima Yudhistira berpendapat, kunci meningkatkan realisasi belanja di daerah terletak pada percepatan program-program stimulus penanganan Covid dan pemulihan ekonomi. Dia mendorong, agar komite pemulihan ekonomi juga berperan dalam percepatan realisasi anggaran di daerah.

Menurutnya, pejabat di daerah termasuk gubernur dan bupati/walikota jangan ragu membelanjakan anggaran karena dilindungi oleh UU No 2 tahun 2020. (F.W. Bahtiar/Dita Angga/Kunthi Fahmar Sandy)
(ysw)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1432 seconds (0.1#10.140)