Penguatan Local Taxing Power
loading...
A
A
A
Candra Fajri Ananda
Staf Khusus Menteri Keuangan RI
EKONOMI pembangunan daerah tak dapat dipisahkan dari peran Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Hal tersebut lantaran APBD merupakan instrumen utama bagi pemerintah daerah dalam merancang dan mengimplementasikan program-program pembangunan yang berdampak langsung pada kesejahteraan masyarakat.
Ironisnya, sebagian besar alokasi APBD saat ini masih lebih banyak digunakan untuk pembiayaan belanja pegawai dibandingkan dengan alokasi untuk kegiatan Pembangunan yang diinginkan masyarakat. Ketergantungan pada belanja rutin – seperti gaji dan tunjangan pegawai – membuat ruang fiskal yang tersedia untuk pembangunan infrastruktur, peningkatan pelayanan publik, dan pengembangan ekonomi daerah menjadi sangat terbatas. Tatkala sebagian besar dana APBD terserap untuk belanja pegawai, maka inisiatif-inisiatif strategis untuk pengembangan wilayah menjadi terhambat.
Penting untuk dicatat bahwa sebagian besar dana transfer dari pemerintah pusat – seperti Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), Dana Bagi Hasil (DBH), dan Dana Desa (DD) – sebagian besar telah ditentukan penggunaannya (earmarked). Sehingga, keberadaan earmarking mutlak memangkas fleksibilitas pemerintah daerah dalam mengalokasikan dana sesuai dengan kebutuhan dan prioritas lokal. Akibatnya, keluhan terhadap kekurangan anggaran untuk program-program yang dianggap penting oleh pemerintah daerah pun kerap tak terhindarkan.
Salah satu solusi untuk mengatasi keterbatasan fiskal pemerintah ialah dengan memperkuat Pendapatan Asli Daerah (PAD). Penguatan PAD bukan hanya sekadar pilihan, tetapi menjadi suatu keharusan untuk meningkatkan kemandirian fiskal daerah. Penguatan PAD menjadi penting karena sumber pendapatan tersebut lebih fleksibel penggunaannya dibandingkan dengan dana transfer dari pemerintah pusat.
Pemerintah daerah mutlak akan memiliki lebih banyak keleluasaan dalam merancang dan melaksanakan program pembangunan yang sesuai dengan kebutuhan dan potensi daerahnya melalui optimalisasi sumber-sumber PAD. Pendapatan dari sumber-sumber PAD seperti pajak daerah, retribusi, dan hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dapat digunakan lebih leluasa sesuai kebutuhan dan prioritas pembangunan daerah. Dengan demikian, Pemda lebih leluasa menggunakan PADnya untuk mendanai berbagai program pembangunan yang bersifat strategis dan berdampak langsung pada kesejahteraan masyarakat.
Kendati demikian, meningkatkan PAD bukanlah tugas yang mudah dan sampai saat ini, masih banyak daerah yang belum mampu dan memiliki potensi sumber daya ekonomi yang memadai untuk meningkatkan PAD secara signifikan.
Kebijakan ini juga mencakup Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT), di mana kewenangan pengelolaannya lebih banyak diserahkan kepada daerah. Langkah ini diharapkan dapat meningkatkan penerimaan daerah dan memberikan insentif bagi pemerintah daerah untuk lebih proaktif dalam menggali potensi pajak lokal.
Perubahan proporsi tersebut memiliki dampak signifikan terhadap upaya penguatan fiskal daerah. Sebelumnya, berdasarkan data Kementerian Keuangan tahun 2023, realisasi penerimaan PKB nasional mencapai Rp 35,2 triliun, di mana sebelumnya 70% diterima oleh pemerintah provinsi dan 30% oleh kabupaten/kota. Kini, dengan adanya perubahan kebijakan, diharapkan kabupaten/kota akan lebih memiliki insentif untuk meningkatkan penerimaan PKB dengan upaya-upaya yang lebih maksimal, seperti memperbaiki sistem penagihan pajak, meningkatkan pelayanan wajib pajak, dan mencegah terjadinya kebocoran pajak.
Staf Khusus Menteri Keuangan RI
EKONOMI pembangunan daerah tak dapat dipisahkan dari peran Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Hal tersebut lantaran APBD merupakan instrumen utama bagi pemerintah daerah dalam merancang dan mengimplementasikan program-program pembangunan yang berdampak langsung pada kesejahteraan masyarakat.
Ironisnya, sebagian besar alokasi APBD saat ini masih lebih banyak digunakan untuk pembiayaan belanja pegawai dibandingkan dengan alokasi untuk kegiatan Pembangunan yang diinginkan masyarakat. Ketergantungan pada belanja rutin – seperti gaji dan tunjangan pegawai – membuat ruang fiskal yang tersedia untuk pembangunan infrastruktur, peningkatan pelayanan publik, dan pengembangan ekonomi daerah menjadi sangat terbatas. Tatkala sebagian besar dana APBD terserap untuk belanja pegawai, maka inisiatif-inisiatif strategis untuk pengembangan wilayah menjadi terhambat.
Penting untuk dicatat bahwa sebagian besar dana transfer dari pemerintah pusat – seperti Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), Dana Bagi Hasil (DBH), dan Dana Desa (DD) – sebagian besar telah ditentukan penggunaannya (earmarked). Sehingga, keberadaan earmarking mutlak memangkas fleksibilitas pemerintah daerah dalam mengalokasikan dana sesuai dengan kebutuhan dan prioritas lokal. Akibatnya, keluhan terhadap kekurangan anggaran untuk program-program yang dianggap penting oleh pemerintah daerah pun kerap tak terhindarkan.
Salah satu solusi untuk mengatasi keterbatasan fiskal pemerintah ialah dengan memperkuat Pendapatan Asli Daerah (PAD). Penguatan PAD bukan hanya sekadar pilihan, tetapi menjadi suatu keharusan untuk meningkatkan kemandirian fiskal daerah. Penguatan PAD menjadi penting karena sumber pendapatan tersebut lebih fleksibel penggunaannya dibandingkan dengan dana transfer dari pemerintah pusat.
Pemerintah daerah mutlak akan memiliki lebih banyak keleluasaan dalam merancang dan melaksanakan program pembangunan yang sesuai dengan kebutuhan dan potensi daerahnya melalui optimalisasi sumber-sumber PAD. Pendapatan dari sumber-sumber PAD seperti pajak daerah, retribusi, dan hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dapat digunakan lebih leluasa sesuai kebutuhan dan prioritas pembangunan daerah. Dengan demikian, Pemda lebih leluasa menggunakan PADnya untuk mendanai berbagai program pembangunan yang bersifat strategis dan berdampak langsung pada kesejahteraan masyarakat.
Kendati demikian, meningkatkan PAD bukanlah tugas yang mudah dan sampai saat ini, masih banyak daerah yang belum mampu dan memiliki potensi sumber daya ekonomi yang memadai untuk meningkatkan PAD secara signifikan.
Tantangan dan Peluang Pajak Daerah dalam Kerangka UU HKPD
Salah satu pilar utama dalam Undang-Undang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (UU HKPD) adalah peningkatan kemampuan pajak daerah atau local taxing power. Kebijakan ini bertujuan untuk memperkuat kemandirian fiskal pemerintah daerah dalam rangka mendukung pembangunan yang berkelanjutan. Salah satu langkah konkret yang diatur dalam UU tersebut adalah perubahan proporsi bagi hasil Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) dari sebelumnya 70:30 (70% untuk provinsi dan 30% untuk kabupaten/kota) menjadi 30% untuk provinsi dan 70% untuk kabupaten/kota.Kebijakan ini juga mencakup Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT), di mana kewenangan pengelolaannya lebih banyak diserahkan kepada daerah. Langkah ini diharapkan dapat meningkatkan penerimaan daerah dan memberikan insentif bagi pemerintah daerah untuk lebih proaktif dalam menggali potensi pajak lokal.
Perubahan proporsi tersebut memiliki dampak signifikan terhadap upaya penguatan fiskal daerah. Sebelumnya, berdasarkan data Kementerian Keuangan tahun 2023, realisasi penerimaan PKB nasional mencapai Rp 35,2 triliun, di mana sebelumnya 70% diterima oleh pemerintah provinsi dan 30% oleh kabupaten/kota. Kini, dengan adanya perubahan kebijakan, diharapkan kabupaten/kota akan lebih memiliki insentif untuk meningkatkan penerimaan PKB dengan upaya-upaya yang lebih maksimal, seperti memperbaiki sistem penagihan pajak, meningkatkan pelayanan wajib pajak, dan mencegah terjadinya kebocoran pajak.