Silsilah Sejarah dalam Sunyi Puisi

Sabtu, 24 Februari 2024 - 20:04 WIB
loading...
A A A
Ia selalu tergesa merasa mencintai/ dan terlalu cepat membenci/ Dengan gampang menganggap menemukan/ lalu kecewa karena kehilangan/Terlampau pasti menyebut hutan sebagai pohonan/ maka keliru dan menganggapnya jebakan/ Ia acap gegabah menduga kedalaman/ dengan bangga berenang di permukaan/ Ia tak pernah sedikit bersabar menafsir itibar/ mendaki terjal gunjung seolah padang datar/ Ia hanya gemar menyigi tubir/ dengan tergesa menyebut diri penyair/ (hal. 11)

baca juga: Nasib Buram Buku Indonesia

Kiranya apa yang pernah diungkapkan Ignas Kleden, apabila puisi ditulis untuk dua alasan: pertama adalah dorongan hati dari penyair itu sendiri, ihwal bagaimana dirinya memberikan isi dan makna kepada suatu tindakan. Yang kedua ialah sebagai medium untuk menyampaikan sesuatu yang lain. Dengan kata lain, bagi saya, Iswadi dalam puisi-puisinya melengkapi dua hal tersebut. Ia mengejawantahkan semua hal yang ”sublim” bagi setiap renungan. Bagaimana ia menjembatani setiap karsa yang ada hingga puisi-puisinya dapat berbicara ke banyak sisi.

Bertabur Sejarah

Ihwal sejarah bertaburan dalam puisi-puisi Iswadi di buku ini. Dengan piawai ia melenting dari sisi benua ke benua lain. Ia seperti ingin merangkum, memberikan bercak jejak kemudian berbagi dalam kisah pedih yang perih. Ia berkisah tentang Mesopotamia: Tigris dan Efrat, menepi ke Lumbini, berkisah tentang Paz, Don Quixote, kemudian berdiam di Orangerie Theatre. Ia juga menjabarkan sebuah lagu dari Pink Floyd.

Bagaiman dengan lirih yang terjaga, ia menulis kesedihan yang “sengit”: Di antara dengkur tubuh-tubuh Makmur/Sambil bersandar di sisa dinding mizbah yang basah/Lelaki itu lirih berdoa://”Tuhan, pintu-Mu telah terbuka, tapi suara-Mu, di mana?”/ Lalu pipi kisut itu basah/lalu dada rentanya, merah/ Seorang serdadu menyemprotkan butiran peluru/ (Puisi “ Efrat: sebuah Fiksi Tentang Perang Suriah” , hal. 24)

Bagaimana ia memekik tentang pembantaian, perang atau ketersiaan yang gemanya terasa sampai hari ini: Di Babilonia, kudengar pekik Hammurabi./ Di antara puing bangunan, di Timur dan Selatan./ Sebuah peradaban dibangun di atas genangan darah/ dari pedang pemberontakan Elam./ Tanah yang kini terbengkaia dan gersang, di sanalah/ kukenang lagi Samsuiluna, Venus yang terbit dan terbenam,/ orang-orang Hitti yang tertindas dan meradang/ (Puisi “Tersebab Sunyi”, hal. 36)

Sebagaimana juga puisi yang menjadi judul buku ini, berdasarkan hasil penelurusan dapat berupa judul lagu dari Mozart yang dibuat tahun 1791. Proses pembuatan lagu yang tetap dikerjakan oleh Mozart meskipun dirinya telah sekarat dan merupakan permintaan khusus dari tamu misterius. Pada akhirnya memang Mozart hanya sempat menulis bait pertama dari lagu itu, dan selebihnya diselesaikan oleh Salieri dan murid Mozart.

baca juga: Buku dan Kertas Berlalu

Secara latin Lacrimosa bermakna penuh air mata/menangis. Dalam puisi “Lacrimosa” justru Iswadi menyigi ihwal puisi itu sendiri. Ia menjabarkan nama-nama penyair yang besar dalam belantara sastra Indonesia dan mendedahkan kata-kata dari puisi.
Halaman :
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1140 seconds (0.1#10.140)