Hukum Diskriminatif dalam Kasus Aborsi?
A
A
A
Reza Indragiri Amriel
Pengurus Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI)
PUTUSAN majelis hakim atas terdakwa kasus aborsi di Jambi dirasakan banyak pihak bertentangan dengan keadilan. Dasar putusan hakim dipertanyakan mengingat terdakwa dikabarkan merupakan korban perkosaan.
Penjatuhan hukuman bagi pelaku aborsi yang hamil akibat perkosaan memang sangat kontroversial. Di sisi lain, aborsi yang dilakukan di luar ketentuan yang berlaku memang tidak dapat dibenarkan. Pelakunya sudah seharusnya dipidana, dihukum. Pertanyaannya, dari sisi anak yang diaborsi, seberapa adilkah hukuman yang diberlakukan saat ini bagi pelaku aborsi di luar ketentuan?
Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization, WHO) memperkirakan terdapat 56 juta kasus aborsi setiap tahunnya. Berbeda dengan di negara-negara berkembang di mana terjadi penurunan kasus aborsi, kasus pengguguran kandungan justru mengalami peningkatan di negara-negara kurang dan sedang berkembang.
Mengacu pada UU Kesehatan, hukuman maksimal bagi pelaku aborsi-tidak sesuai ketentuan adalah pidana penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak 1 miliar rupiah. Baik UU Kesehatan maupun UU Perlindungan Anak sama-sama menetapkan ancaman sanksi pidana yang sama berat bagi pelaku aborsi. UU Perlindungan Anak bahkan mencantumkan ayat tersendiri yang menegaskan bahwa aborsi merupakan tindak kejahatan. Sampai di situ tidak ada persoalan.
Masalah baru muncul apabila sorotan ditarik kembali ke titik hulu, yakni ke definisi tentang anak. Anak mengacu pada UU Perlindungan Anak adalah sebutan bagi individu berusia 0 hingga sebelum 18 tahun. Jadi bisa dipahami bahwa sejak masih berada di dalam kandungan pun manusia sudah termasuk dalam kelompok usia anak. Dan karena semua pihak dikenai kewajiban dan tanggung jawab oleh UU untuk menyelenggarakan perlindungan terhadap anak, perlindungan dimaksud tentu juga berlaku bagi anak yang masih berada di dalam kandungan.
Dengan kata lain, karena salah satu prinsip dasar penyelenggaraan perlindungan anak adalah nondiskriminasi, anak yang sudah dilahirkan dan anak yang masih di dalam kandungan harus berkedudukan sama di hadapan hukum serta memperoleh perlakuan setara.Seberapa jauh prinsip nondiskriminasi terejawantah dalam kasus aborsi? Ruang perdebatan mulai terbuka manakala pasal tentang aborsi pada UU Perlindungan Anak dibandingkan dengan pasal t entang kekerasan terhadap anak di UU yang sama.
Bunyinya, pelaku kekerasan yang mengakibatkan anak tewas dihukum pidana penjara paling lama 15 tahun dan/atau denda paling banyak 3 miliar rupiah. Kalau pelaku adalah orang tua si anak, hukuman ditambah sepertiga. Ternyata ada perbedaan penyikapan hukum terhadap anak yang belum dilahirkan dan anak yang sudah dilahirkan. Kedua subjek adalah sama: anak-anak. Perlakuan yang mereka terima juga sama: kekerasan yang sengaja dilakukan sedemikian rupa dengan niat untuk menghilangkan nyawa anak.
Namun kontras, konsekuensi hukum atas perbuatan yang sama terhadap anak yang sudah dilahirkan dan anak yang belum dilahirkan pada kenyataannya berbeda dalam takaran beratnya. Pelaku pembunuhan terhadap anak yang sudah dilahirkan dihukum lebih berat ketimbang ketika pembunuhan dilakukan saat anak masih di dalam kandungan. Ini jelas standar ganda. Ini tindak diskriminatif terhadap anak.
Apalagi jika dibayangkan bahwa pelaku aborsi sudah membangun niat menghabisi janinnya. Pelaku menjalankan persiapan untuk itu, termasuk melibatkan pihak lain. Ia boleh jadi juga mengalokasikan anggaran tertentu untuk merealisasi niatnya tersebut. Implikasinya, bukankah rentetan langkah sedemikian rupa yang dilakukan pelaku aborsi adalah setara atau bahkan sama persis dengan aksi kejahatan pembunuhan berencana? Ironisnya, berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, pelaku pembunuhan berencana justru bisa dikenai sanksi maksimal berupa hukuman mati.
Tak pelak, terdapat diskriminasi ganda. Pertama, mengapa anak yang dihabisi secara sengaja sebelum lahir didiskriminasi dengan anak yang dimatikan sesudah ia dilahirkan? Kedua, mengapa pelaku kekerasan (pembunuhan berencana) terhadap anak diancam dengan berat hukuman berbeda bila dibandingkan dengan ketika korban kejahatan yang sama adalah orang dewasa?
Penting untuk dicermati pertimbangan-pertimbangan yang mendasari para penyusun UU Perlindungan Anak sehingga menentukan berat hukuman yang berbeda untuk jenis kejahatan yang sama sebagaimana tertulis di atas. Boleh jadi ini terkait dengan anggapan bahwa anak yang berada di dalam kandungan belum mengenal rasa sakit, sementara sensasi yang sama sudah dimiliki oleh anak yang telah dilahirkan.
Merujuk pada sejumlah hasil riset, para ilmuwan sejauh ini menyimpulkan bahwa bayi atau janin baru bisa mengenal rasa sakit setelah memasuki usia sekitar dua puluh dua minggu. Atas dasar itu, sekian banyak negara dan negara bagian memberlakukan ketentuan hukum bahwa manakala aborsi dilakukan terhadap bayi yang telah berumur minimal dua puluh minggu, dokter harus terlebih dahulu memberikan anestesi ataupun obat-obatan penghilang rasa sakit kepada bayi dimaksud sebelum proses aborsi dimulai.
Dokter yang mengabaikan ketentuan tersebut dapat dikenai denda ratusan ribu dolar dan izin praktiknya juga dapat dicabut. Pertanyaan yang kemudian muncul, apakah aborsi, termasuk yang dilakukan sebelum bayi berumur 22 minggu (belum mengenal rasa sakit) lebih bisa dibenarkan?
Pada sisi lain, berdasarkan kajian mereka atas isi Alquran dan hadis, para fuqaha menyatakan bahwa janin mulai memiliki roh pada bulan keempat sejak peleburan sel telur dan sel sperma. Setali tiga uang, apakah lantas bisa ditarik batasan bahwa sebelum bulan keempat janin (anak) boleh diaborsi?
Saya memilih untuk tidak mengecilkan masalah aborsi ini menjadi terbatas pada ada tidaknya rasa sakit dan sudah ada atau belum adanya ruh di tubuh janin. Aborsi adalah proses peniadaan makhluk yang berasal dari pertemuan sel telur dan sel sperma. Begitu makhluk itu mengada, saat itulah dia menjadi subjek (anak) yang—sekali lagi—berdasarkan UU harus dilindungi. Hanya regulasi resmi yang bisa menggugurkan kewajiban dan tanggung jawab semua pihak untuk menyelenggarakan perlindungan atas anak tersebut.
Tidak bisa disangkal, di dalam peranti hukum atau bahkan lex specialis sekalipun anak masih merupakan warga kelas dua. Juga janin (anak yang belum dilahirkan) tetap tidak punya kemuliaan dengan kadar yang setara dengan setelah ia dilahirkan. Wallahu a’lam.
Pengurus Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI)
PUTUSAN majelis hakim atas terdakwa kasus aborsi di Jambi dirasakan banyak pihak bertentangan dengan keadilan. Dasar putusan hakim dipertanyakan mengingat terdakwa dikabarkan merupakan korban perkosaan.
Penjatuhan hukuman bagi pelaku aborsi yang hamil akibat perkosaan memang sangat kontroversial. Di sisi lain, aborsi yang dilakukan di luar ketentuan yang berlaku memang tidak dapat dibenarkan. Pelakunya sudah seharusnya dipidana, dihukum. Pertanyaannya, dari sisi anak yang diaborsi, seberapa adilkah hukuman yang diberlakukan saat ini bagi pelaku aborsi di luar ketentuan?
Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization, WHO) memperkirakan terdapat 56 juta kasus aborsi setiap tahunnya. Berbeda dengan di negara-negara berkembang di mana terjadi penurunan kasus aborsi, kasus pengguguran kandungan justru mengalami peningkatan di negara-negara kurang dan sedang berkembang.
Mengacu pada UU Kesehatan, hukuman maksimal bagi pelaku aborsi-tidak sesuai ketentuan adalah pidana penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak 1 miliar rupiah. Baik UU Kesehatan maupun UU Perlindungan Anak sama-sama menetapkan ancaman sanksi pidana yang sama berat bagi pelaku aborsi. UU Perlindungan Anak bahkan mencantumkan ayat tersendiri yang menegaskan bahwa aborsi merupakan tindak kejahatan. Sampai di situ tidak ada persoalan.
Masalah baru muncul apabila sorotan ditarik kembali ke titik hulu, yakni ke definisi tentang anak. Anak mengacu pada UU Perlindungan Anak adalah sebutan bagi individu berusia 0 hingga sebelum 18 tahun. Jadi bisa dipahami bahwa sejak masih berada di dalam kandungan pun manusia sudah termasuk dalam kelompok usia anak. Dan karena semua pihak dikenai kewajiban dan tanggung jawab oleh UU untuk menyelenggarakan perlindungan terhadap anak, perlindungan dimaksud tentu juga berlaku bagi anak yang masih berada di dalam kandungan.
Dengan kata lain, karena salah satu prinsip dasar penyelenggaraan perlindungan anak adalah nondiskriminasi, anak yang sudah dilahirkan dan anak yang masih di dalam kandungan harus berkedudukan sama di hadapan hukum serta memperoleh perlakuan setara.Seberapa jauh prinsip nondiskriminasi terejawantah dalam kasus aborsi? Ruang perdebatan mulai terbuka manakala pasal tentang aborsi pada UU Perlindungan Anak dibandingkan dengan pasal t entang kekerasan terhadap anak di UU yang sama.
Bunyinya, pelaku kekerasan yang mengakibatkan anak tewas dihukum pidana penjara paling lama 15 tahun dan/atau denda paling banyak 3 miliar rupiah. Kalau pelaku adalah orang tua si anak, hukuman ditambah sepertiga. Ternyata ada perbedaan penyikapan hukum terhadap anak yang belum dilahirkan dan anak yang sudah dilahirkan. Kedua subjek adalah sama: anak-anak. Perlakuan yang mereka terima juga sama: kekerasan yang sengaja dilakukan sedemikian rupa dengan niat untuk menghilangkan nyawa anak.
Namun kontras, konsekuensi hukum atas perbuatan yang sama terhadap anak yang sudah dilahirkan dan anak yang belum dilahirkan pada kenyataannya berbeda dalam takaran beratnya. Pelaku pembunuhan terhadap anak yang sudah dilahirkan dihukum lebih berat ketimbang ketika pembunuhan dilakukan saat anak masih di dalam kandungan. Ini jelas standar ganda. Ini tindak diskriminatif terhadap anak.
Apalagi jika dibayangkan bahwa pelaku aborsi sudah membangun niat menghabisi janinnya. Pelaku menjalankan persiapan untuk itu, termasuk melibatkan pihak lain. Ia boleh jadi juga mengalokasikan anggaran tertentu untuk merealisasi niatnya tersebut. Implikasinya, bukankah rentetan langkah sedemikian rupa yang dilakukan pelaku aborsi adalah setara atau bahkan sama persis dengan aksi kejahatan pembunuhan berencana? Ironisnya, berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, pelaku pembunuhan berencana justru bisa dikenai sanksi maksimal berupa hukuman mati.
Tak pelak, terdapat diskriminasi ganda. Pertama, mengapa anak yang dihabisi secara sengaja sebelum lahir didiskriminasi dengan anak yang dimatikan sesudah ia dilahirkan? Kedua, mengapa pelaku kekerasan (pembunuhan berencana) terhadap anak diancam dengan berat hukuman berbeda bila dibandingkan dengan ketika korban kejahatan yang sama adalah orang dewasa?
Penting untuk dicermati pertimbangan-pertimbangan yang mendasari para penyusun UU Perlindungan Anak sehingga menentukan berat hukuman yang berbeda untuk jenis kejahatan yang sama sebagaimana tertulis di atas. Boleh jadi ini terkait dengan anggapan bahwa anak yang berada di dalam kandungan belum mengenal rasa sakit, sementara sensasi yang sama sudah dimiliki oleh anak yang telah dilahirkan.
Merujuk pada sejumlah hasil riset, para ilmuwan sejauh ini menyimpulkan bahwa bayi atau janin baru bisa mengenal rasa sakit setelah memasuki usia sekitar dua puluh dua minggu. Atas dasar itu, sekian banyak negara dan negara bagian memberlakukan ketentuan hukum bahwa manakala aborsi dilakukan terhadap bayi yang telah berumur minimal dua puluh minggu, dokter harus terlebih dahulu memberikan anestesi ataupun obat-obatan penghilang rasa sakit kepada bayi dimaksud sebelum proses aborsi dimulai.
Dokter yang mengabaikan ketentuan tersebut dapat dikenai denda ratusan ribu dolar dan izin praktiknya juga dapat dicabut. Pertanyaan yang kemudian muncul, apakah aborsi, termasuk yang dilakukan sebelum bayi berumur 22 minggu (belum mengenal rasa sakit) lebih bisa dibenarkan?
Pada sisi lain, berdasarkan kajian mereka atas isi Alquran dan hadis, para fuqaha menyatakan bahwa janin mulai memiliki roh pada bulan keempat sejak peleburan sel telur dan sel sperma. Setali tiga uang, apakah lantas bisa ditarik batasan bahwa sebelum bulan keempat janin (anak) boleh diaborsi?
Saya memilih untuk tidak mengecilkan masalah aborsi ini menjadi terbatas pada ada tidaknya rasa sakit dan sudah ada atau belum adanya ruh di tubuh janin. Aborsi adalah proses peniadaan makhluk yang berasal dari pertemuan sel telur dan sel sperma. Begitu makhluk itu mengada, saat itulah dia menjadi subjek (anak) yang—sekali lagi—berdasarkan UU harus dilindungi. Hanya regulasi resmi yang bisa menggugurkan kewajiban dan tanggung jawab semua pihak untuk menyelenggarakan perlindungan atas anak tersebut.
Tidak bisa disangkal, di dalam peranti hukum atau bahkan lex specialis sekalipun anak masih merupakan warga kelas dua. Juga janin (anak yang belum dilahirkan) tetap tidak punya kemuliaan dengan kadar yang setara dengan setelah ia dilahirkan. Wallahu a’lam.
(thm)