Guru Besar FISIP UI Sebut Proses Pemilu 2024 Meragukan dan Manipulatif
loading...
A
A
A
JAKARTA - Guru Besar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (FISIP UI), Valina Singka Subekti menilai, penyelenggaraan Pemilu 2024 belum sesuai konstitusi. Pasalnya, selain menimbulkan kecurigaan masyarakat, Pemilu 2024 dinilai curang dan manipulatif.
Menurutnya, masyarakat meragukan netralitas, independensi, dan kapasitas penyelenggara untuk menghadirkan pemilu yang jurdil.
"Masyarakat meragukan netralitas, independensi, dan kapasitas penyelenggara untuk menghadirkan Pemilu yang jurdil," ujar Valina saat menjadi pembicara pada seminar Kebijakan Publik, Kamis (22/2/2024).
Dia mengatakan, Pemilu yang seharusnya menjadi pintu masuk untuk menghasilkan pemimpin baru yang berkapasitas, berjiwa pemimpin (leadership), memahami prinsip, dan nilai-nilai etik demokrasi, justru sarat kecurangan.
Legitimasi politik dan legitimasi moral yang harus dimiliki seorang pemimpin baru justru dipandang mengecewakan lantaran adanya dugaan kecurangan dan manipulatif.
"Masyarakat meragukan netralitas, independensi, dan kapasitas penyelenggara untuk menghadirkan Pemilu yang jurdil," paparnya.
Keadaan seperti ini, lanjut Valina, belum pernah terjadi pada pemilu-pemilu sebelumnya di negeri ini. Awalnya dia berharap, Pemilu ke-6 pascareformasi ini lebih baik dan menjadi pintu masuk konsolidasi demokrasi Indonesia, yang selama ini berjalan tertatih-tatih. Namun, yang terjadi sebaliknya.
"Konsolidasi demokrasi tidak berjalan baik karena berbagai manuver tidak etis dari elite politik sebelum Pemilu. Isu perpanjangan masa jabatan presiden, isu penundaan Pemilu, cawe-cawe presiden dalam pencalonan capres, dan isu pilpres satu putaran memperkuat opini publik bahwa Pemilu tidak akan jurdil," paparnya.
Valina yang pernah menjabat komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) periode 2004-2007 mengungkapkan, kemarahan publik bermula pada saat tahapan pencalonan berlangsung.
Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan persyaratan batas usia minimal 40 tahun capres dan cawapres ditambah dengan kalimat, atau pernah atau sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah.
Selain itu, sanksi yang dijatuhkan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) berupa pelanggaran etik berat kepada Ketua KPU Hasyim Asy'ari dan enam komisioner KPU karena tidak melaksanakan ketentuan undang-undang dan PKPU yang berlaku, juga diabaikan.
KPU langsung mengeksekusi putusan MK dan menerima pendaftaran Cawapres Gibran Rakabuming Raka, pada last minute, tanpa merevisi PKPU.
PKPU yang berlaku saat itu menggunakan ketentuan UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, khususnya menyangkut batas usia minimal 40 tahun. Sejak proses di MK hingga prosesi pendaftaran, kata dia, sarat intervensi politik penguasa, kolusi, dan nepotisme.
Pada masa kampanye, Valina juga menyoroti keberpihakan Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada paslon tertentu. Dia juga mempertanyakan, netralitas pejabat negara, seperti menteri, gubernur, bupati, wali kota, Aparatur Sipil Negara (ASN), TNI, dan Polri. Bahkan, masa kampanye juga diwarnai politisasi bansos, intimidasi, dan kekerasan yang melibatkan aparat.
"Semua berlangsung secara kasat mata, vulgar, serta beredar luas di masyarakat lewat medsos dan berbagai publikasi lainnya. Pengawasan Bawaslu dan penegakan hukumnya tidak tampak. Mobilisasi ratusan kepala desa di GBK yang dihadiri cawapres Gibran lewat begitu saja tanpa statement mencerahkan dari pihak pengawas Pemilu," kata dia.
Proses penghitungan suara yang kini sedang berlangsung, menurut Valina, justru menambah keriuhan proses Pemilu 2024. Keadaan ini semakin menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat tentang fairness dan akurasi dalam penghitungan suara.
Dalam penghitungan suara ada versi quick qount, versi manual, dan Sirekap KPU. Namun, terdapat perbedaan hasil C1 Plano di TPS dengan data di Sirekap KPU.
"Saya kira ekosistem politik yang kurang demokratis telah memberi kontribusi besar pada kualitas dan integritas penyelenggara," tutup Valina.
Menurutnya, masyarakat meragukan netralitas, independensi, dan kapasitas penyelenggara untuk menghadirkan pemilu yang jurdil.
"Masyarakat meragukan netralitas, independensi, dan kapasitas penyelenggara untuk menghadirkan Pemilu yang jurdil," ujar Valina saat menjadi pembicara pada seminar Kebijakan Publik, Kamis (22/2/2024).
Dia mengatakan, Pemilu yang seharusnya menjadi pintu masuk untuk menghasilkan pemimpin baru yang berkapasitas, berjiwa pemimpin (leadership), memahami prinsip, dan nilai-nilai etik demokrasi, justru sarat kecurangan.
Legitimasi politik dan legitimasi moral yang harus dimiliki seorang pemimpin baru justru dipandang mengecewakan lantaran adanya dugaan kecurangan dan manipulatif.
"Masyarakat meragukan netralitas, independensi, dan kapasitas penyelenggara untuk menghadirkan Pemilu yang jurdil," paparnya.
Keadaan seperti ini, lanjut Valina, belum pernah terjadi pada pemilu-pemilu sebelumnya di negeri ini. Awalnya dia berharap, Pemilu ke-6 pascareformasi ini lebih baik dan menjadi pintu masuk konsolidasi demokrasi Indonesia, yang selama ini berjalan tertatih-tatih. Namun, yang terjadi sebaliknya.
"Konsolidasi demokrasi tidak berjalan baik karena berbagai manuver tidak etis dari elite politik sebelum Pemilu. Isu perpanjangan masa jabatan presiden, isu penundaan Pemilu, cawe-cawe presiden dalam pencalonan capres, dan isu pilpres satu putaran memperkuat opini publik bahwa Pemilu tidak akan jurdil," paparnya.
Valina yang pernah menjabat komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) periode 2004-2007 mengungkapkan, kemarahan publik bermula pada saat tahapan pencalonan berlangsung.
Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan persyaratan batas usia minimal 40 tahun capres dan cawapres ditambah dengan kalimat, atau pernah atau sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah.
Selain itu, sanksi yang dijatuhkan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) berupa pelanggaran etik berat kepada Ketua KPU Hasyim Asy'ari dan enam komisioner KPU karena tidak melaksanakan ketentuan undang-undang dan PKPU yang berlaku, juga diabaikan.
KPU langsung mengeksekusi putusan MK dan menerima pendaftaran Cawapres Gibran Rakabuming Raka, pada last minute, tanpa merevisi PKPU.
PKPU yang berlaku saat itu menggunakan ketentuan UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, khususnya menyangkut batas usia minimal 40 tahun. Sejak proses di MK hingga prosesi pendaftaran, kata dia, sarat intervensi politik penguasa, kolusi, dan nepotisme.
Pada masa kampanye, Valina juga menyoroti keberpihakan Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada paslon tertentu. Dia juga mempertanyakan, netralitas pejabat negara, seperti menteri, gubernur, bupati, wali kota, Aparatur Sipil Negara (ASN), TNI, dan Polri. Bahkan, masa kampanye juga diwarnai politisasi bansos, intimidasi, dan kekerasan yang melibatkan aparat.
"Semua berlangsung secara kasat mata, vulgar, serta beredar luas di masyarakat lewat medsos dan berbagai publikasi lainnya. Pengawasan Bawaslu dan penegakan hukumnya tidak tampak. Mobilisasi ratusan kepala desa di GBK yang dihadiri cawapres Gibran lewat begitu saja tanpa statement mencerahkan dari pihak pengawas Pemilu," kata dia.
Proses penghitungan suara yang kini sedang berlangsung, menurut Valina, justru menambah keriuhan proses Pemilu 2024. Keadaan ini semakin menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat tentang fairness dan akurasi dalam penghitungan suara.
Dalam penghitungan suara ada versi quick qount, versi manual, dan Sirekap KPU. Namun, terdapat perbedaan hasil C1 Plano di TPS dengan data di Sirekap KPU.
"Saya kira ekosistem politik yang kurang demokratis telah memberi kontribusi besar pada kualitas dan integritas penyelenggara," tutup Valina.
(maf)