Pemilu di Tengah Demokrasi yang Cacat

Sabtu, 17 Februari 2024 - 21:06 WIB
loading...
Pemilu di Tengah Demokrasi...
Arjuna Putra Aldino, Ketua Umum DPP GMNI. Foto/Dok. Pribadi
A A A
Arjuna Putra Aldino
Ketua Umum DPP GMNI

DALAM laporan The Economist Intelligent Unit, posisi demokrasi Indonesia berada dalam status demokrasi cacat (flawed democracy). Aspek budaya politik dan kebebasan sipil, secara mencolok dan konsisten memposisikan Indonesia dalam stagnasi dan dapat juga disebut regresi demokrasi.

Hasil quick count Pilpres 2024 menunjukkan pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka mendominasi perolehan suara di hampir semua provinsi. Dengan rentang perolehan 57-58% maka peluang Pilpres satu putaran punya kemungkinan yang sangat besar.

Namun, di balik angka perolehan suara yang cukup siginifikan mengandung “ketakwajaran” dan proses-proses sebelumnya yang mendegradasi demokrasi. Gelombang kritik sejumlah guru besar dan dosen Universitas yang menyampaikan keprihatinan terhadap demokrasi saat ini tentu bukanlah angin lalu atau isapan jempol belaka.

Ada indikasi Indonesia mengarah pada pseudo-democracy. Di mana pemilihan umum sebagai salah satu instumen demokrasi dijalankan justru dengan banyak mengabaikan bahkan menabrak prinsip-prinsip dan nilai-nilai demokrasi.

Elections without Democracy: Bias Otoritarianisme dan Demokrasi
Era Orde Baru terkenal dengan operasi khusus Ali Murtopo. Sebuah operasi senyap menggembosi partai-partai peserta pemilu yang menjadi lawan dari Golkar. Di lain sisi operasi tersebut juga memuat bagian untuk menggelembungkan suara Golkar melalui mobilisasi pegawai negeri sipil, kepala desa hingga penerapan aturan yang diskriminatif terhadap partai-partai lain namun menguntungkan Golkar.

Praktik yang dilakukan Orde Baru ini dalam bahasa Andreas Schedler bisa disebut dengan “rezim otoritarianisme hegemonik”. D imana kekuasaan eksekutif mengendalikan penuh (full-control) proses elektoral dan persaingan hanya menjadi bagian dari rekayasa atau manipulasi kekuasaan.

Sejatinya dalam tipe rezim ini, tidak ada persaingan melainkan hanya penyelenggaran teknis-elektoral prosedural rutin yang diklaim sebagai wujud pelaksanaan demokrasi. Lembaga-lembaga demokrasi pun dikontrol penuh oleh kekuatan koersif dan kapasitas kekuasaan organisasional negara sehingga rezim mampu mengkonsolidasikan kekuatan secara hegemonik untuk mengendalikan proses pemilu.

Namun pascagelombang demokrasi liberal di era 1990an, negara-negara yang dulu dipimpin oleh kediktatoral militer mencoba menganut model demokrasi liberal dengan pendekatan neo-institusionalisme akan tetapi tak juga menghasilkan demokrasi yang berkualitas dan substantif. Steven Levitsky dan Lucan A Way menemukan bahwa pascaperang dingin, negara-negara yang mulanya berwatak kediktatoral militer tak juga berubah menjadi negara demokratis, melainkan bertransformasi menjadi “rezim otoritarianisme kompetitif”.

Dalam rezim otoritarianisme kompetitif, kekuasaan petahana tidak memiliki kapasitas koersif dan organisasional untuk mengkonsolidasikan kekuasaan hegemonik dalam rangka untuk meniadakan kompetisi dalam pemilu. Namun terjadi banyak penyalahgunaan kekuasaan yang melanggar prinsip-prinsip demokrasi secara serius demi mengkondisikan “arena pertarungan yang tak adil” dalam kompetisi elektoral.
Halaman :
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1161 seconds (0.1#10.140)