Koalisi Masyarakat Sipil: Pemilu Dibajak, Selamatkan Demokrasi Indonesia!
loading...
A
A
A
Julius menilai hal ini sesungguhnya menunjukkan bagaimana kekuasaan Jokowi, keluarga, dan kroni-kroninya benar-benar telah membajak lembaga negara, seperti MK dan KPU. Mereka tidak lagi memperdulikan etika, konstitusi negara, demokrasi, dan tata pemerintahan yang bersih dari KKN.
"Selain melanggar etika, konstitusi, hukum, dan keadaban politik demokratis, Jokowi telah menyalahgunakan dan memobilisasi sumber daya negara, baik aparat, program, dan anggaran negara, bahkan otoritas yang dimilikinya untuk memenangkan paslon 02," ungkapnya.
Sejak sebelum pemilu, Koalisi Masyarakat Sipil sudah menemukan bahwa kejahatan pemilu (electoral evil) bersifat terstruktur, sistematis, dan masif (TSM). Jumlah kasus pelanggaran sejak penetapan paslon pada 18 November 2023 hingga masa tenang terjadi lonjakan hampir 300 persen dibandingkan jumlah kasus pada periode pemantauan Mei-Oktober 2023.
Bahkan sehari sebelum presiden mengeluarkan kebijakan ‘politik gentong babi’ dengan menaikkan tunjangan Bawaslu. Kebijakan tersebut patut dipersoalkan karena nyata-nyata merupakan upaya untuk 'menaklukkan' Bawaslu.
"Dalam konteks itu, pelanggaran masif yang terjadi pada hari pencoblosan dan pasca itu menunjukkan bahwa kejahatan sebelum hari pencoblosan berlanjut. Kejahatan pemilu dalam bentuk intimidasi (sebagaimana diakui Bawaslu) untuk mendukung paslon 02, salah input (sebagaimana diakui KPU) dan pencurian suara serta penggelembungan suara untuk paslon 02 pada Sistem Rekap KPU, pencoblosan paslon 02 oleh KPPS dan orang-orang tidak bertanggung jawab atas perintah KPPS atau aparat desa, dan lain sebagainya menunjukkan bahwa Pemilu 2024, khususnya pilpres, tidak legitimate, serta meruntuhkan kedaulatan rakyat dan demokrasi," ucap Julius.
Lebih lanjut, Julius menekankan melaporkan pelanggaran pemilu kepada Bawaslu dan MK sebagaimana disampaikan Jokowi adalah tindakan sia-sia. "Sebab MK dan Bawaslu hanyalah kelembagaan negara yang tidak terbukti tunduk pada kebaikan bersama rakyat dan tunduk pada kehendak politik Jokowi dan kroni-kroninya," tegasnya.
"Selain melanggar etika, konstitusi, hukum, dan keadaban politik demokratis, Jokowi telah menyalahgunakan dan memobilisasi sumber daya negara, baik aparat, program, dan anggaran negara, bahkan otoritas yang dimilikinya untuk memenangkan paslon 02," ungkapnya.
Sejak sebelum pemilu, Koalisi Masyarakat Sipil sudah menemukan bahwa kejahatan pemilu (electoral evil) bersifat terstruktur, sistematis, dan masif (TSM). Jumlah kasus pelanggaran sejak penetapan paslon pada 18 November 2023 hingga masa tenang terjadi lonjakan hampir 300 persen dibandingkan jumlah kasus pada periode pemantauan Mei-Oktober 2023.
Bahkan sehari sebelum presiden mengeluarkan kebijakan ‘politik gentong babi’ dengan menaikkan tunjangan Bawaslu. Kebijakan tersebut patut dipersoalkan karena nyata-nyata merupakan upaya untuk 'menaklukkan' Bawaslu.
"Dalam konteks itu, pelanggaran masif yang terjadi pada hari pencoblosan dan pasca itu menunjukkan bahwa kejahatan sebelum hari pencoblosan berlanjut. Kejahatan pemilu dalam bentuk intimidasi (sebagaimana diakui Bawaslu) untuk mendukung paslon 02, salah input (sebagaimana diakui KPU) dan pencurian suara serta penggelembungan suara untuk paslon 02 pada Sistem Rekap KPU, pencoblosan paslon 02 oleh KPPS dan orang-orang tidak bertanggung jawab atas perintah KPPS atau aparat desa, dan lain sebagainya menunjukkan bahwa Pemilu 2024, khususnya pilpres, tidak legitimate, serta meruntuhkan kedaulatan rakyat dan demokrasi," ucap Julius.
Lebih lanjut, Julius menekankan melaporkan pelanggaran pemilu kepada Bawaslu dan MK sebagaimana disampaikan Jokowi adalah tindakan sia-sia. "Sebab MK dan Bawaslu hanyalah kelembagaan negara yang tidak terbukti tunduk pada kebaikan bersama rakyat dan tunduk pada kehendak politik Jokowi dan kroni-kroninya," tegasnya.
(rca)