Koalisi Masyarakat Sipil: Pemilu Dibajak, Selamatkan Demokrasi Indonesia!

Jum'at, 16 Februari 2024 - 19:43 WIB
loading...
Koalisi Masyarakat Sipil: Pemilu Dibajak, Selamatkan Demokrasi Indonesia!
Aksi teatrikal Kamisan ke-805 di seberang Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (15/2/2024). Foto/Arif Julianto
A A A
JAKARTA - Masyarakat Indonesia baik di dalam negeri maupun di luar negeri telah menggunakan hak suara dalam Pemilu Serentak 2024 yang digelar Rabu, 14 Februari lalu. Namun, hasil pemilu kali ini diindikasikan marak kejanggalan mulai dari tak sesuainya hasil hitung Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) pada formulir C1 dengan aplikasi Sistem Informasi Rekapitulasi (Sirekap) milik Komisi Pemilihan Umum (KPU).

Merespons hal itu, Ketua Pusat Bantuan Hukum Indonesia (PBHI) Julius Ibrani mewakili Koalisi Masyarakat Sipil menyatakan Pemilu 2024 telah dibajak oleh rezim dan sudah saatnya demokrasi Indonesia diselamatkan. “Koalisi masyarakat sipil menyatakan Pemilu 2024 sudah dibajak rezim dan saatnya demokrasi diselamatkan. Sudah saatnya kelompok masyarakat sipil merapatkan barisan dan bergerak menyelamatkan demokrasi Indonesia," ujar Julius dalam keterangannya, Jumat (16/2/2024).

Julius menjelaskan pemungutan suara Pemilu 2024 yang diselenggarakan pada 14 Februari lalu mengonfirmasi bahwa pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) telah memobilisasi sumber daya negara untuk memenangkan calon presiden (capres) nomor urut 2 Prabowo Subianto yang didampingi oleh anak sulung Jokowi, Gibran Rakabuming Raka.





"Sejak awal Koalisi menilai bahwa Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming adalah paslon yang bermasalah. Prabowo merupakan pelanggar HAM karena telah melakukan penculikan aktivis HAM pada 1997-1998 yang telah diakuinya dan membuatnya dicopot dari dinas kemiliteran oleh Dewan Kehormatan Perwira (DKP) pada 3 Agustus 1998," ucapnya.

"Sedangkan majunya Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden Prabowo Subianto nyata-nyata mengabaikan agenda reformasi 1998. Pencalonan Gibran sarat dengan praktik KKN, serta melanggar etika Konstitusi. Tidak ada kepentingan rakyat yang diwakilinya, karena kepentingan utamanya adalah untuk mengamankan dan melanggengkan kekuasaan pribadi, keluarga, dan kroni-kroni Jokowi," imbuhnya.

Julis menekankan bahwa cawapres Gibran tidak layak sebab dimulai dari pembajakan terhadap Mahkamah Konstitusi (MK) melalui pamannya, Anwar Usman, Ketua Majelis Hakim dalam persidangan MK saat itu. Putusan Mahkamah Kehormatan MK (MKMK) jelas menyatakan terjadi pelanggaran etik berat dalam Putusan 90/2023 yang membuka jalan pencawapresan Gibran.

Pencawapresan Gibran di KPU juga bermasalah karena seharusnya pencawapresan itu ditolak oleh KPU karena tidak sesuai dengan Peraturan KPU (PKPU) sendiri. PKPU baru diubah kemudian setelah pendaftaran pasangan capres-cawapres nomor urut 2 diterima.

"Putusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) menyatakan bahwa Ketua dan Komisioner KPU melanggar etik berat dan diberikan sanksi peringatan keras terakhir terhadap Ketua KPU Hasyim Asy’ari karena telah meloloskan pencalonan Gibran," ujarnya.

Julius menilai hal ini sesungguhnya menunjukkan bagaimana kekuasaan Jokowi, keluarga, dan kroni-kroninya benar-benar telah membajak lembaga negara, seperti MK dan KPU. Mereka tidak lagi memperdulikan etika, konstitusi negara, demokrasi, dan tata pemerintahan yang bersih dari KKN.

"Selain melanggar etika, konstitusi, hukum, dan keadaban politik demokratis, Jokowi telah menyalahgunakan dan memobilisasi sumber daya negara, baik aparat, program, dan anggaran negara, bahkan otoritas yang dimilikinya untuk memenangkan paslon 02," ungkapnya.

Sejak sebelum pemilu, Koalisi Masyarakat Sipil sudah menemukan bahwa kejahatan pemilu (electoral evil) bersifat terstruktur, sistematis, dan masif (TSM). Jumlah kasus pelanggaran sejak penetapan paslon pada 18 November 2023 hingga masa tenang terjadi lonjakan hampir 300 persen dibandingkan jumlah kasus pada periode pemantauan Mei-Oktober 2023.

Bahkan sehari sebelum presiden mengeluarkan kebijakan ‘politik gentong babi’ dengan menaikkan tunjangan Bawaslu. Kebijakan tersebut patut dipersoalkan karena nyata-nyata merupakan upaya untuk 'menaklukkan' Bawaslu.

"Dalam konteks itu, pelanggaran masif yang terjadi pada hari pencoblosan dan pasca itu menunjukkan bahwa kejahatan sebelum hari pencoblosan berlanjut. Kejahatan pemilu dalam bentuk intimidasi (sebagaimana diakui Bawaslu) untuk mendukung paslon 02, salah input (sebagaimana diakui KPU) dan pencurian suara serta penggelembungan suara untuk paslon 02 pada Sistem Rekap KPU, pencoblosan paslon 02 oleh KPPS dan orang-orang tidak bertanggung jawab atas perintah KPPS atau aparat desa, dan lain sebagainya menunjukkan bahwa Pemilu 2024, khususnya pilpres, tidak legitimate, serta meruntuhkan kedaulatan rakyat dan demokrasi," ucap Julius.

Lebih lanjut, Julius menekankan melaporkan pelanggaran pemilu kepada Bawaslu dan MK sebagaimana disampaikan Jokowi adalah tindakan sia-sia. "Sebab MK dan Bawaslu hanyalah kelembagaan negara yang tidak terbukti tunduk pada kebaikan bersama rakyat dan tunduk pada kehendak politik Jokowi dan kroni-kroninya," tegasnya.
(rca)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1783 seconds (0.1#10.140)