Kampus dan Muhammadiyah Tegas Ingatkan Jokowi, Gus Nadir: Ditunggu Suara PBNU

Sabtu, 03 Februari 2024 - 13:10 WIB
loading...
Kampus dan Muhammadiyah...
Rais Syuriah Pengurus Cabang Internasional Nahdlatul Ulama (PCINU) Australia-Selandia Baru, Nadirsyah Hosen. FOTO/X Nadirsyah Hosen
A A A
JAKARTA - Cendekiawan Nahdlatul Ulama , Nadirsyah Hosen menyoroti situasi politik menjelang pelaksanaan Pilpres 2024. Banyak pihak telah menyatakan bahwa kondisi demokrasi di Indonesia sedang tidak baik-baik saja.

Hal itu ditunjukkan dengan petisi yang disampaikan sejumlah perguruan tinggi terkemuka Indonesia kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi), seperti Universitas Gadjah Mada (UGM), Universitas Islam Indonesia (UII), Universitas Indonesia (UI), Universitas Padjadjaran (Unpad), dan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY). Guru besar dan sivitas akademika kampus-kampus terkemuka tersebut menyampaikan keprihatinan mendalam atas tindakan menyimpang dari prinsip-prinsip moral demokrasi, kerakyatan dan keadilan sosial oleh Presiden Jokowi dan pejabat negara.

Gus Nadir, sapaan akrab Nadirsyah Hosen, melihat semua pihak telah menyuarakan sikapnya atas situasi politik akhir-akhir ini. Karena itu, ia juga menunggu Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) untuk menyatakan sikap yang sama untuk mengingatkan presiden.



"Sejumlah kampus sudah bersuara. Demokrasi kita sedang tidak baik-baik saja. Muhammadiyah juga sudah mengingatkan Presiden soal netralitas. Ditunggu suara PBNU untuk turut mengingatkan Presiden. Tegak lurus pada konstitusi, akal sehat & nurani," cuit Gus Nadir di akun X-nya dikutip, Sabtu (3/2/2024).

Untuk diketahui, sejumlah sivitas akademika yang terdiri dari guru besar, dosen, mahasiswa hingga alumni UGM menyampaikan petisi sebagai kritik terhadap Presiden Jokowi yang dianggap telah melakukan tindakan menyimpang di tengah proses demokrasi. Dalam petisi 'Bulaksumur' yang dibacakan pada Rabu (31/01/2024), mereka menyampaikan berdasarkan hasil pencermatan dinamika perpolitikan Tanah Air yang terjadi beberapa bulan terakhir. Melalui petisi itu, mereka menyampaikan keprihatinan mendalam atas tindakan menyimpang dari prinsip-prinsip moral demokrasi, kerakyatan dan keadilan sosial oleh Presiden Jokowi yang juga sebagai alumnus UGM.

"Kami menyesalkan tindakan-tindakan menyimpang yang justru terjadi dalam masa pemerintahan Presiden Joko Widodo yang juga merupakan bagian dari keluarga besar Universitas Gadjah Mada," bunyi dalam petisi 'Bulaksumur' yang dikutip, Rabu (31/01/2024).



Petisi itu dibacakan oleh Koentjoro didampingi sejumlah guru besar UGM dan juga unsur mahasiswa yang di antaranya diwakili oleh ketua BEM KM UGM Gielbran M. Noor. Adapun, dalam petisi itu terdapat beberapa hal yang dianggap sebagai penyimpangan di antaranya adalah pelanggaran etik di Mahkamah Konstitusi (MK), keterlibatan penegak hukum dalam proses demokrasi perwakilan yang sedang bergulir, serta pernyataan kontradiktif presiden tentang keterlibatan pejabat publik dalam kampanye politik antara netralitas dan keberpihakan.

"Presiden Joko Widodo semestinya selalu mengingat janjinya sebagai alumni Universitas Gadjah Mada. Bagi kami almamaterku berjanji setia. Kupenuhi Dharma Bhakti tuk Ibu Pertiwi. Di dalam persatuanmu jiwa seluruh bangsaku. Kujunjung kebudayaanmu kejayaan Nusantara," tuturnya.

Forum Rektor Perguruan Tinggi Muhammadiyah dan Kampus Aisyiyah (PTMA) juga mengeluarkan pernyataan sikap terkait dinamika politik menjelang pelaksanaan Pemilu 2024. Pernyataan sikap tersebut dikeluarkan oleh Ketua Umum Forum Rektor PTMA Gunawan Budiyanto dan Sekretaris Umum Ma’mun Murod Al-Barbasy.

Dalam pernyataanya, mereka menilai, rakyat Indonesia saat ini disajikan berbagai perilaku elite politik yang tuna etika dan jauh dari nilai-nilai keadaban luhur. Proses demokrasi yang sudah dibangun sejak 25 tahun lalu, kini berjalan dengan penyimpangan yang tidak lagi sesuai dengan cita-cita luhur kemerdekaan Republik Indonesia.

”Penegakan hukum hanya tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Kelompok kritis dan oposisi pun disingkirkan satu per satu dengan menggunakan produk hukum bernama UU ITE dan KUHP. Praktik kebebasan sipil dikebiri atas dalih stabilitas. KPK pun diperlemah melalui revisi UU KPK,” bunyi keterangan tertulis dikutip SINDOnews, Jumat (2/2/2024).

Tidak hanya itu, proses pembuatan sejumlah kebijakan dilaksanakan tanpa melibatkan publik secara luas seperti yang terjadi pada UU Omnibuslaw Cipta Kerja, UU Omnibuslaw Kesehatan, dan UU Ibu Kota Negara (IKN).

Karena itu, momentum 14 Februari 2024 harus menjadi momentum untuk melakukan kontrak politik baru antara rakyat dengan calon pemimpin atau elite politik baru dengan memilih calon pemimpin yang diyakini akan mampu membawa Indonesia menjadi negara yang bermartabat.
(abd)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1797 seconds (0.1#10.140)