Memacu Infrastruktur Berbasis Syariah

Jum'at, 08 Juni 2018 - 07:01 WIB
Memacu Infrastruktur Berbasis Syariah
Memacu Infrastruktur Berbasis Syariah
A A A
PEMBANGUNAN infrastruktur menjadi prioritas pe­me­rin­taha­n Presiden Joko Widodo (Jokowi). Keberadaan in­fra­struktur ini sebuah keniscayaan untuk mendorong ke­majuan ekonomi secara lebih merata di seluruh wilayah Indonesia.

Saat ini infrastruktur Indonesia tidak saja semakin meningkat jum­lahnya dan menjangkau banyak wilayah. Yang menarik adalah sa­­lah satunya didukung oleh semakin besarnya sumber keuangan ber­basis syariah yang diterapkan pemerintah sejak 2013.

Pada 2018, pembiayaan sebagian infrastruktur jalan, jembatan dan sumber daya air akan didanai melalui Surat Berharga Syariah Ne­gara (SBSN) sebesar Rp12,78 triliun. Bahkan, Otoritas Jasa Ke­uangan (OJK) mendorong perbankan syariah terus terlibat pada proyek-proyek infrastruktur.

Selain menggarap pembiayaan in­fra­stru­ktur, OJK berharap perbankan syariah bisa menelurkan produk kre­a­tif, d­i­se­suaikan dengan kebutuhan masyarakat sehingga ke de­pan per­bank­an syariah bisa lebih dikenal masyarakat. Seiring ­de­ngan itu, per­bank­an syariah diharapkan bisa lebih maju dan ber­kem­bang lagi.

Lantas, mengapa pembiayaan syariah dipilih? Sesuai data pe­me­rin­tah, porsi pembiayaan syariah untuk proyek infrastruktur masih ke­cil. Penyebabnya, banyak investor yang belum paham dengan is­ti­lah ekonomi syariah, para investor masih menahan diri untuk meng­gunakan pembiayaan syariah.

Seperti akad murabahah yang berarti per­janjian jual-beli antara kedua pihak dan margin yang sudah di­se­pa­kati. Kemudian, ada lagi mudarabah yang berarti kontrak pe­r­kong­sian antara pemilik modal dan pengelola modal yang nantinya akan menyalurkan modal tersebut.

Dengan istilah-istilah seperti itu, sulit untuk masyarakat umum khu­susnya investor untuk memahami skema syariah. Kurangnya por­si pembiayaan syariah nasional karena kebanyakan bank syariah di Indonesia masih tergolong kecil, yaitu termasuk kelompok bank umum kegiatan usaha (BUKU) 2 dengan modal inti Rp1 triliun hing­ga Rp5 triliun, sehingga tidak bisa ikut membiayai proyek in­fra­struk­tur yang memiliki nilai proyek besar. Sebagai solusinya, di­per­lu­kan lembaga pembiayaan yang dapat memimpin pembiayaan in­fra­­struktur dengan skema syariah.

Namun, Wakil Menteri Keuangan Mardiasmo memastikan jum­l­ah proyek infrastruktur yang dibiayai melalui SBSN semakin besar. Ta­hun ini Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Ke­menterian Keuangan akan mengeluarkan SBSN senilai Rp22,53 tri­liun. Sukuk negara tersebut akan membiayai 587 proyek inf­ra­struk­tur yang tersebar di 34 provinsi. Nilai sukuk negara pada 2018 naik dibandingkan 2017, yang mencapai Rp16,65 triliun.

Sumber dana infrastruktur berbasis syariah berpeluang semakin be­sar seiring upaya pemerintah membentuk Badan Pengelola Ke­uang­an Haji (BPKH) untuk menginvestasikan dana haji di bidang in­fra­struktur. Ada dua opsi yaitu investasi langsung atau melalui pem­bia­yaan surat utang berharga syariah atau sukuk.

Hingga akhir 2017, saldo dana haji dan dana abadi umat mencapai Rp99,3 triliun. Na­mun, hanya Rp36,7 triliun dana tersebut yang diinvestasikan di SBSN. Sisanya Rp62,6 triliun justru masih disimpan dalam deposito di perbankan syariah.

Solusi untuk meningkatkan pembiayaan syariah pada sektor in­fra­struktur yakni dengan membentuk lembaga baru yang fokus me­n­­angani pembiayaan infrastruktur. Tentunya dengan melibatkan ber­bagai pihak terkait, khususnya perbankan.

Selain itu, perlu dibuat regulasi yang jelas dan tegas agar per­bank­an syariah juga berfokus untuk membiayai infrastruktur. Pe­me­rin­tah ju­ga harus mengeluarkan kebijakan yang ramah terhadap produk-pro­duk syariah sehingga perbankan syariah mampu ber­saing dengan per­bankan konvensional dalam hal pembiayaan infrastruktur.
(maf)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6228 seconds (0.1#10.140)