Kirim Petisi ke ICC, IKOHI Minta Pengadilan Pidana Internasional Usut Penculikan Aktivis 1998
loading...
A
A
A
JAKARTA - Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia (IKOHI) meminta Pengadilan Pidana Internasional atau International Criminal Court (ICC) mengusut kasus penculikan aktivis 1997/1998 di Tanah Air. Desakan tersebut tertuang dalam petisi yang telah dikirimkan IKOHI ke ICC.
“Kasus penghilangan orang secara paksa 1997/1998 telah berlangsung selama 25 tahun. Selama 25 tahun ini juga dan empat presiden kami berjuang agar pemerintah membentuk tim pencarian aktivis yang masih hilang dan pengadilan HAM bagi para pelaku, namun pemerintah Indonesia terus mengabaikan,” kata Sekretaris Umum IKOHI Zaenal Muttaqin dalam keterangan tertulisnya, Kamis (1/2/2024).
Dia menuturkan, satu per satu orang tua korban telah meninggal dalam penantian panjang dalam ketidakpastian akan keberadaan anak-anak mereka yang belum dikembalikan. Dia mengungkapkan, beberapa keluarga korban lain juga dalam kondisi kesehatan fisik dan psikis yang menurun akibat hilangnya keluarga yang mereka sayangi.
Dia menambahkan, hingga hari ini status kependudukan para korban hilang juga menjadi persoalan keperdataan bagi keluarga korban. “Hidup tidak, disebut mati juga tidak. Negara Republik Indonesia telah menggantung nasib para korban dan keluarganya,” katanya.
Lebih lanjut dia mengatakan, tuntutan para keluarga korban terhadap kasus penculikan aktivis 1997-1998 juga sudah direkomendasikan oleh Parlemen Republik Indonesia sejak 2009 kepada pemerintah Indonesia. Keempat rekomendasi tersebut, adalah:
1) Membentuk pengadilan HAM adhoc untuk pelaku penculikan;
2) Membentuk tim pencarian aktivis yg masih hilang;
3) Reparasi dan kompensasi pada keluarga aktivis korban penculikan; dan
4) Rativikasi konvensi internasional perlindungan semua orang dari penghilangan paksa (International Convention for the Protection of All Persons from Enforced Disappearance - ICCPED).
“Namun mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan presiden Joko Widodo hingga kini belum melaksanan rekomendasi parlemen tersebut. Sebaliknya, presiden Joko Widodo justru mengangkat Prabowo Subianto, terduga kuat pelaku penghilangan paksa 1997-1998 sebagai menteri pertahanan dan mendukungnya sebagai calon presiden pada Pemilu 2024 saat ini,” ungkapnya.
Dia mengatakan, Prabowo Subianto adalah mantan komandan pasukan khusus Indonesia yang telah melakukan operasi penculikan dan penghilangan aktivis demoktasi pada 1997-1998 dengan sandi operasi bernama “Tim Mawar”. “Atas tindakannya tersebut, pada tahun 1998, Prabowo Subianto telah diberhentikan dengan tidak hormat sebagai anggota tentara nasional Indonesia,” tuturnya.
Dia menuturkan, 20 tahun bukanlah waktu yang pendek. Dikatakannya, keluarga korban telah bertemu dengan semua pihak di Indonesia. Mereka telah bertemu dan mengadu kepada para presiden, anggota parlemen, hingga Komisi Nasional (Komnas) HAM.
“Namun tidak ada kemajuan signifikan, bahkan ketika keluarga korban telah menurunkan tuntutannya kepada pemerintah, yakni untuk membentuk tim pencari korban yang masih hilang dan status kependudukan bagi para korban tersebut. Itu pun tetap tidak dipenuhi,” jelasnya.
Dia mengatakan, keluarga korban telah cukup lelah dan frustasi melihat tidak adanya niat pemerintah Indonesia untuk menyelesaikan kasus pelanggaran berat HAM ini. “Kami ingin mengadu kepada pada lembaga peradilan pidana internasional (ICC) untuk mendukung perjuangan keluarga korban melalui mekanisme yang dimiliki atau meminta pemerintah Indonesia bertindak menuntaskan kasus ini atas dasar kemanusiaan dan mekanisme hukum internasional,” imbuhnya.
Untuk itu, lanjut dia, pada 30-31 Januari 2024, IKOHI telah memasukkan Petisi ke ICC yang berjudul “Prabowo Subianto – Call for Crimes Against Humanity Investigation” melalui portal elektronik ICC. “Kami juga secara fisik melayangkan petisi tersebut melalui surat ke lokasi perwakilan ICC di New York, Amerika Serikat, serta menyerahkannya di lokasi pusat ICC di Den Haag, Negeri Belanda. Kami berharap petisi ini akan membuahkan hasil dan pada akhirnya, keadilan bagi para keluarga korban,” pungkasnya.
“Kasus penghilangan orang secara paksa 1997/1998 telah berlangsung selama 25 tahun. Selama 25 tahun ini juga dan empat presiden kami berjuang agar pemerintah membentuk tim pencarian aktivis yang masih hilang dan pengadilan HAM bagi para pelaku, namun pemerintah Indonesia terus mengabaikan,” kata Sekretaris Umum IKOHI Zaenal Muttaqin dalam keterangan tertulisnya, Kamis (1/2/2024).
Dia menuturkan, satu per satu orang tua korban telah meninggal dalam penantian panjang dalam ketidakpastian akan keberadaan anak-anak mereka yang belum dikembalikan. Dia mengungkapkan, beberapa keluarga korban lain juga dalam kondisi kesehatan fisik dan psikis yang menurun akibat hilangnya keluarga yang mereka sayangi.
Dia menambahkan, hingga hari ini status kependudukan para korban hilang juga menjadi persoalan keperdataan bagi keluarga korban. “Hidup tidak, disebut mati juga tidak. Negara Republik Indonesia telah menggantung nasib para korban dan keluarganya,” katanya.
Lebih lanjut dia mengatakan, tuntutan para keluarga korban terhadap kasus penculikan aktivis 1997-1998 juga sudah direkomendasikan oleh Parlemen Republik Indonesia sejak 2009 kepada pemerintah Indonesia. Keempat rekomendasi tersebut, adalah:
1) Membentuk pengadilan HAM adhoc untuk pelaku penculikan;
2) Membentuk tim pencarian aktivis yg masih hilang;
3) Reparasi dan kompensasi pada keluarga aktivis korban penculikan; dan
4) Rativikasi konvensi internasional perlindungan semua orang dari penghilangan paksa (International Convention for the Protection of All Persons from Enforced Disappearance - ICCPED).
“Namun mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan presiden Joko Widodo hingga kini belum melaksanan rekomendasi parlemen tersebut. Sebaliknya, presiden Joko Widodo justru mengangkat Prabowo Subianto, terduga kuat pelaku penghilangan paksa 1997-1998 sebagai menteri pertahanan dan mendukungnya sebagai calon presiden pada Pemilu 2024 saat ini,” ungkapnya.
Dia mengatakan, Prabowo Subianto adalah mantan komandan pasukan khusus Indonesia yang telah melakukan operasi penculikan dan penghilangan aktivis demoktasi pada 1997-1998 dengan sandi operasi bernama “Tim Mawar”. “Atas tindakannya tersebut, pada tahun 1998, Prabowo Subianto telah diberhentikan dengan tidak hormat sebagai anggota tentara nasional Indonesia,” tuturnya.
Dia menuturkan, 20 tahun bukanlah waktu yang pendek. Dikatakannya, keluarga korban telah bertemu dengan semua pihak di Indonesia. Mereka telah bertemu dan mengadu kepada para presiden, anggota parlemen, hingga Komisi Nasional (Komnas) HAM.
“Namun tidak ada kemajuan signifikan, bahkan ketika keluarga korban telah menurunkan tuntutannya kepada pemerintah, yakni untuk membentuk tim pencari korban yang masih hilang dan status kependudukan bagi para korban tersebut. Itu pun tetap tidak dipenuhi,” jelasnya.
Dia mengatakan, keluarga korban telah cukup lelah dan frustasi melihat tidak adanya niat pemerintah Indonesia untuk menyelesaikan kasus pelanggaran berat HAM ini. “Kami ingin mengadu kepada pada lembaga peradilan pidana internasional (ICC) untuk mendukung perjuangan keluarga korban melalui mekanisme yang dimiliki atau meminta pemerintah Indonesia bertindak menuntaskan kasus ini atas dasar kemanusiaan dan mekanisme hukum internasional,” imbuhnya.
Untuk itu, lanjut dia, pada 30-31 Januari 2024, IKOHI telah memasukkan Petisi ke ICC yang berjudul “Prabowo Subianto – Call for Crimes Against Humanity Investigation” melalui portal elektronik ICC. “Kami juga secara fisik melayangkan petisi tersebut melalui surat ke lokasi perwakilan ICC di New York, Amerika Serikat, serta menyerahkannya di lokasi pusat ICC di Den Haag, Negeri Belanda. Kami berharap petisi ini akan membuahkan hasil dan pada akhirnya, keadilan bagi para keluarga korban,” pungkasnya.
(rca)