Galang Koalisi di Pilpres 2019, Elite Parpol Mulai Saling Incar

Sabtu, 21 April 2018 - 08:00 WIB
Galang Koalisi di Pilpres 2019, Elite Parpol Mulai Saling Incar
Galang Koalisi di Pilpres 2019, Elite Parpol Mulai Saling Incar
A A A
JAKARTA - Jelang pendaftaran calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) yang hanya menyisakan waktu 3,5 bulan lagi, sejumlah elite partai politik (parpol) pun mulai bermanuver. Salah satunya saling incar untuk berkoalisi.

Sejumlah pertemuan elite parpol pun digelar. Seperti Ketua Umum DPP Partai Gerindra Prabowo Subianto yang mengutus Wakil Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra sekaligus Wakil Gubernur DKI Jakarta Sandiaga Uno untuk menemui Ketua Umum DPP PPP M Rommahurmuziy (Romi). Ada lagi Ketua Umum DPP Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang juga mengutus Wakil Ketua Umum DPP Demokrat Syarief Hasan untuk membuka jalur komunikasi dengan Presiden PKS Sohibul Iman dan kedua pimpinan tertinggi partai tersebut dijadwalkan akan bertemu pada akhir April.

Sebelumnya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) sudah mengutus Menteri Koordinator (Menko) Kemaritiman sekaligus politikus Partai Golkar Luhut Binsar Pandjaitan untuk bertemu Prabowo. Serta mengutus Menko, Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) sekaligus politikus Partai Hanura Wiranto untuk bertemu SBY.

Sekretaris Jenderal (Sekjen) DPP PPP Arsul Sani mengatakan, pertemuan antara Ketua Umum PPP Romi dan Sandiaga yang juga merupakan Ketua Tim Sukses Gerindra untuk Pilpres 2019 pada Kamis (19/4/2018) malam bukan kali pertamanya. Elite PPP dan Sandi sudah sering bertemu sebelumnya guna membahas dukungan PPP terhadap Anies-Sandi di Pemprov DKI.

Namun khusus pada Kamis malam, Arsul mengakui ada pembahasan terkait pilpres. "Tapi memang harus kami akui pertemuan tadi (kemarin) malam ada pembicaraan terkait dengan pemilu khususnya Pilpres 2019. Pembicaraannya apa? tidak bisa semua disampaikan kepada publik," ungkap Arsul di Gedung DPR, Jakarta, Jumat (20/4/2018).

Menurut Arsul, berdasarkan pertemuan tersebut, semua opsi terkait koalisi Prabowo maupun Jokowi masih terbuka bagi PPP. Seperti misalnya, terjadi kontestasi kembali antara Prabowo dan Jokowi secara langsung, kontestasi antara Jokowi dan tokoh dari sipil atau militer yang ditunjuk Prabowo di Pilpres 2019, dan kemungkinan Jokowi dan Prabowo berpasangan sebagai capres-cawapres.

"Itu yang memang dibicarakan dan menunjukkan bahwa opsi Prabowo sebagai cawapres Jokowi bukan opsi yang terkubur sama sekali, meskipun sebagian teman-teman Gerindra secara tegas membantah kemungkinan adanya opsi ini," ujarnya.

Bahkan, lanjut Arsul, Sandi juga menyampaikan bahwa ada kemungkinan Prabowo menunjuk orang lain di pilpres tapi tidak dibahas namanya. Dan dari pertemuan tersebut ada harapan bahwa pesan-pesan dari pertemuan itu bisa disampaikan kepada Jokowi. "Jadi yang jelas, opsinya itu terbuka, tidak ada yang tertutup baik opsi 1, 2, 3. Kalau opsi itu (PPP dilamar Gerindra), opsi becandaan saja. Artinya opsi sambil ketawa," paparnya.

Arsul mengakui, saat ini banyak elite parpol yang menawarkan PPP untuk bergabung di koalisi, bukan hanya Gerindra saja, tapi ada parpol lain juga yang coba mendekati. "Ada pihak-pihak lain yang mencoba membangun komunikasi termasuk untuk menghidupkan poros ketiga," ujarnya.

Wakil Ketua Umum DPP Partai Demokrat Syarief Hasan mengakui bahwa pertemuan antara SBY dan Sohibul dijadwalkan pekan ini tapi ditunda karena SBY sedang ada di Banten. Pertemuan diperkirakan dijadwalkan setelah 25 April. Adapun yang dibahas terkait maslaah politik nasional. "Ya tentunya pertama menyangkut masalah politik nasional. Yang kedua, tentang bagaimana ke depan," kata Syarief.

Menurut dia, meski tidak dalam koalisi atau pun bersama-sama dalam koalisi, komunikasi harus tetap berlangsung. Demokrat juga masih berkomunikasi terus dengan partai pemerintah. Jadi, ungkapnya, pertemuan antara ketua umum partai itu sesuatu hal yang biasa saja terlepas apakah berkoalisi atau tidak. "Kita kan sangat membuka diri untuk berkomunikasi dan setahu saya juga PKS belum secara resmi menyatakan koalisi dengan Gerindra. Jadi semuanya masih cair," tandasnya.

Sementara itu, Presiden PKS Moh Sohibul Iman mengakui bahwa awalnya Syarief Hasan meminta untuk bertemu pada Selasa (17/4/2018). Dan tindak lanjut atas pertemuan itu adalah pertemuan lanjutan dengan SBY. Namun pihaknya belum dikabari mengenai kapan pertemuan itu akan dilakukan dan kemungkinan akan berlangsung setelah SBY selesai melakukan safari di Banten. "Kalau dari pembicaraan dengan Pak Syarief sih katanya Pak SBY ingin diskusi terkait kemungkinan munculnya poros ketiga," kata Sohibul.

Ketua DPP Partai Gerindra Ahmad Riza Patria menanggapi rencana pertemuan SBY dengan Sohibul. Menurut dia, dalam politik masing-masing parpol punya fatsun dan tentu antarparpol saling menghormati saling menghargai. Dan Gerindra, ujarnya, tentu tidak bisa mengatur atau mengintervensi partai lain.

"Jadi kami mempersilakan semua partai untuk melakukan silturahmi, koordinasi, lobi-lobi, siapapun termasuk Partai Demorkat. Kami yakin Partai Demokrat dan SBY sekalipun mau ketemu dan lobi PKS dalam rangka silaturahmi membangun komitmen yang sama untuk NKRI, bangsa, negara, dan rakyat, kita yakin itu," kata Riza.

Dia meyakini, PKS yang selama ini sudah berhubungan baik dengan Gerindra, apalagi sama-sama sebagai parpol oposisi, sehingga punya kesamaan komitmen, pandangan, dan kebersamaan yang panjang. Karena itu, dia optimistis PKS tetap akan berkoalisi dengan Gerindra. "Kami punya keyakinan dan optimisme, PKS juga tentu punya pandangan yang positif. Kan kalau diundang kita semua partai pasti mencoba memenuhi. Kami sendiri juga sering bertemu dengan Demokrat, ketemu juga dengan partai-partai lain. Itu kan sesuatu yang biasa-biasa saja," ujarnya.

Direktur Eksekutif Sinergi Masyarakat untuk Demokrasi Indonesia (Sigma) Said Salahuddin menilai, manuver sejumlah elite dengan mengagendakan pertemuan merupakan hal yang wajar. Sebab, setiap capres pasti ingin menang, begitu juga dengan Jokowi.

Untuk menang, Jokowi harus membatasi pergerakan lawan, sehingga merasa perlu untuk mengutus Wiranto bertemu SBY dan menugasi Luhut bertemu Prabowo. Sebab, kedua tokoh ini dipandang paling potensial menjadi lawan bagi Jokowi di pilpres nanti. "Jika Prabowo maju kembali, lalu Yudhoyono membangun blok politik tersendiri, maka mereka tentu bisa menjadi sandungan yang merepotkan bagi Jokowi," kata Said.

Menurut dia, Jokowi tentu masih ingat tentang cerita kekalahannya dari Prabowo di sejumlah wilayah. Prabowo pernah unggul di 10 provinsi atas dirinya, bahkan selisih suara mereka di suatu provinsi sempat membuat Jokowi merasa sangat tidak enak hati. Prabowo membabat hampir 77% suara sementara Jokowi hanya mendapat sisanya sekira 23% suara.

Jadi, ujarnya, jika Prabowo tetap maju atau menyiapkan tokoh lain yang setara untuk menjadi lawan dirinya, kemudian SBY ikut membantu kubu Gerindra atau justru membangun blok politik ketiga, itu artinya ancaman bagi Jokowi semakin nyata. "Maka, dalam upaya membatasi pergerakan Prabowo dan Yudhoyono itulah, saya kira kita dapat mengintip alasan Jokowi menerjunkan dua jenderalnya menemui dua jenderal lainnya melalui strategi politik utusan," ujarnya.

Said melihat, politik utusan ini sudah terbaca arahnya yaitu menjadikan Pilpres 2019 sebagai panggung bagi Jokowi untuk melenggang. Sebab, jika Luhut berhasil menggandeng Prabowo sebagai cawapres Jokowi, kemudian Wiranto mampu menggalang dukungan dari SBY dan PKB tetap berada dibarisan Jokowi, maka tuntaslah misi dari politik utusan itu. Pilpres 2019 hanya akan diikuti oleh satu pasangan calon.

"Tetapi apakah misi Jokowi lewat Luhut dan Wiranto itu akan berhasil? Saya meragukannya. Sebab jika Prabowo bersedia mendampingi Jokowi, itu artinya Gerindra sedang menggali kuburnya sendiri. Tetapi seandainya pun Prabowo bersedia bersanding dengan Jokowi, maka akan ada Yudhoyono yang pasti sangat sigap memanfaatkan kondisi itu dengan membangun blok penantang Jokowi-Prabowo," paparnya.

Said menjelaskan, koalisi politik Demokrat itu sangat mungkin mendapat dukungan PKB, PAN, dan bahkan PKS. Jika koalisi baru ini benar-benar terbentuk untuk berhadapan dengan koalisi Jokowi plus Gerindra, maka tidak mustahil 2019, Indonesia akan punya Presiden dan Wakil Presiden baru. Dan koalisi Jokowi-Prabowo itu berpeluang menang.

Sebab, selain didukung oleh para konstituen partai masing-masing, koalisi ini sangat mungkin akan menjadi tempat berkumpul berbagai elemen masyarakat yang saat ini justru dalam posisi saling berseberangan. "Kelompok anti-Jokowi, para pembenci Prabowo, kelompok politik Islam baru yang terkonsolidasi pascaaksi 212, bahkan loyalis Prabowo yang merasa dikhianati boleh jadi akan ikut bergabung dalam blok politik yang dipimpin oleh Yudhoyono ini," ujarnya.
(amm)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.9651 seconds (0.1#10.140)