Politik dan Kamtibmas adalah Panglima, sedangkan Hukum adalah Kurcaci
loading...
A
A
A
Romli Atmasasmita
PERISTIWA hukum menjelang pilpres/pemilu mengalami kejadian luar biasa di luar kelaziman baik dari aspek teoritik hukum maupun dari aspek praktik.
Pertama, sidang Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI) dalam hal syarat capres dan cawapres bisa dimainkan melalui politik kolusi dan nepotisme tetapi putusan MKRI dipandang diakui sah oleh majelis hakim MK sekalipun dua di antaranya dissenting opinion.
Peristiwa kedua jauh sebelumnya, Jaksa Agung tentu dengan sepengetahuan Presiden Joko Widodo dengan alasan politis, mengeluarkan Instruksi Nomor 6 Tahun 2023 yang menginstruksikan kepada seluruh jajaran kejaksaan untuk menunda penyelidikan/penyidikan tindak pidana yang melibatkan kepala daerah dan anggota legislatif pusat dan daerah demi menjaga objektivitas kejaksaan selama menjelang pemilu untuk mencegah kemungkinan politisasi terhadap kinerja kejaksaan. Bagaimana masalah hukumnya jika terjadi politik uang dalam dan pada waktu kampanye dan pencoblosan hari H pemilu?
Peristiwa hukum ketiga, laporan tersangka korupsi Syahrul Yasin Limpo (SYL) kepada Polda Metro Jaya (PMJ) atas dugaan pemerasan oleh Ketua KPK kala itu, Firli Bahuri . Laporan dari seorang tersangka korupsi pada masa KPK Jilid III lazim ditanggapi secara reaktif ditanggapi sinis sebagai perlawanan balik koruptor (corruptor’s fight back). Ganjil, terhadap laporan pemerasan ini tidak ada sama sekali sinisme tersebut termasuk dari kelompok yang menamakan dirinya IM57 atau "pemimpin antikorupsi". Sebaliknya, muncul sentimen negatif terhadap Firli Bahuri secara personal.
Tiga peristiwa hukum tersebut tampaknya sarat pengaruh politik kekuasaan sekalipun dibungkus rapi dengan ketentuan hukum yang berlaku. Ketiga peristiwa hukum itu pula yang mencerminkan bahwa hukum dan kekuasaan tidak dapat dipisahkan satu sama lain kecuali hanya dapat dibedakan kekuasaan akan menjadi anarki jika tidak dilandaskan atau dibatasi hukum, dan hukum hanya angan-angan belaka jika diwujudkan tanpa kekuasaan.
Tarik ulur keduanya dalam praktik ketatanegaraan di negara mana pun di dunia tidak akan lepas dari kritik masyarakat terutama para ahli hukum dan ahli politik. Namun demikian peristiwa tersebut telah terjadi sejak awal sejarah kelahiran suatu negara. Sekalipun telah diakui dalam sistem pemerintahan negara di dunia terdapat tiga jenis kekuasaan yakni eksekutif, legislatif, dan yudikatif, tetap saja syahwat kekuasaan untuk selalu campur tangan terutama dari eksekutif dan legislatif terhadap kekuasaan yudikatif selalu ada dan tidak terelakkan.
Campur tangan ini semakin menjadi-jadi di dalam sistem otoritarian/diktator, bahkan terjadi di negara yang mengakui paling demokratis. Syahwat kekuasaan sedemikian cocok dengan pendapat Hobbes, homo homini lupus, bellum omnium contra omnes: manusia bagaikan serigala terhadap sesamanya. Syahwat kekuasaan yang melampaui batas toleransi perasaan kemanusiaan yang adil dan beradab sering dirasakan tetutama oleh masyarakat yang lemah secara sosial, politik, dan ekonomi (the powerless people).
Sejarah politik dan pemerintahan di berbagai negara di dunia menunjukkan bahwa syahwat sedemikian yang berhasil menggunakan sewenang-wenang hukum sebagai tamengnya, selalu berakhir tragis dijatuhkan melalui kekuatan rakyat (people power) seperti di Indonesia terjadi di ujung kekuasaan Soekarno dan Soeharto. Tuhan yang Maha Kuasa yang sangat menentukan meskipun manusia boleh merencanakan segala sesuatu sekehendak hatinya.
PERISTIWA hukum menjelang pilpres/pemilu mengalami kejadian luar biasa di luar kelaziman baik dari aspek teoritik hukum maupun dari aspek praktik.
Pertama, sidang Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI) dalam hal syarat capres dan cawapres bisa dimainkan melalui politik kolusi dan nepotisme tetapi putusan MKRI dipandang diakui sah oleh majelis hakim MK sekalipun dua di antaranya dissenting opinion.
Peristiwa kedua jauh sebelumnya, Jaksa Agung tentu dengan sepengetahuan Presiden Joko Widodo dengan alasan politis, mengeluarkan Instruksi Nomor 6 Tahun 2023 yang menginstruksikan kepada seluruh jajaran kejaksaan untuk menunda penyelidikan/penyidikan tindak pidana yang melibatkan kepala daerah dan anggota legislatif pusat dan daerah demi menjaga objektivitas kejaksaan selama menjelang pemilu untuk mencegah kemungkinan politisasi terhadap kinerja kejaksaan. Bagaimana masalah hukumnya jika terjadi politik uang dalam dan pada waktu kampanye dan pencoblosan hari H pemilu?
Peristiwa hukum ketiga, laporan tersangka korupsi Syahrul Yasin Limpo (SYL) kepada Polda Metro Jaya (PMJ) atas dugaan pemerasan oleh Ketua KPK kala itu, Firli Bahuri . Laporan dari seorang tersangka korupsi pada masa KPK Jilid III lazim ditanggapi secara reaktif ditanggapi sinis sebagai perlawanan balik koruptor (corruptor’s fight back). Ganjil, terhadap laporan pemerasan ini tidak ada sama sekali sinisme tersebut termasuk dari kelompok yang menamakan dirinya IM57 atau "pemimpin antikorupsi". Sebaliknya, muncul sentimen negatif terhadap Firli Bahuri secara personal.
Tiga peristiwa hukum tersebut tampaknya sarat pengaruh politik kekuasaan sekalipun dibungkus rapi dengan ketentuan hukum yang berlaku. Ketiga peristiwa hukum itu pula yang mencerminkan bahwa hukum dan kekuasaan tidak dapat dipisahkan satu sama lain kecuali hanya dapat dibedakan kekuasaan akan menjadi anarki jika tidak dilandaskan atau dibatasi hukum, dan hukum hanya angan-angan belaka jika diwujudkan tanpa kekuasaan.
Tarik ulur keduanya dalam praktik ketatanegaraan di negara mana pun di dunia tidak akan lepas dari kritik masyarakat terutama para ahli hukum dan ahli politik. Namun demikian peristiwa tersebut telah terjadi sejak awal sejarah kelahiran suatu negara. Sekalipun telah diakui dalam sistem pemerintahan negara di dunia terdapat tiga jenis kekuasaan yakni eksekutif, legislatif, dan yudikatif, tetap saja syahwat kekuasaan untuk selalu campur tangan terutama dari eksekutif dan legislatif terhadap kekuasaan yudikatif selalu ada dan tidak terelakkan.
Campur tangan ini semakin menjadi-jadi di dalam sistem otoritarian/diktator, bahkan terjadi di negara yang mengakui paling demokratis. Syahwat kekuasaan sedemikian cocok dengan pendapat Hobbes, homo homini lupus, bellum omnium contra omnes: manusia bagaikan serigala terhadap sesamanya. Syahwat kekuasaan yang melampaui batas toleransi perasaan kemanusiaan yang adil dan beradab sering dirasakan tetutama oleh masyarakat yang lemah secara sosial, politik, dan ekonomi (the powerless people).
Sejarah politik dan pemerintahan di berbagai negara di dunia menunjukkan bahwa syahwat sedemikian yang berhasil menggunakan sewenang-wenang hukum sebagai tamengnya, selalu berakhir tragis dijatuhkan melalui kekuatan rakyat (people power) seperti di Indonesia terjadi di ujung kekuasaan Soekarno dan Soeharto. Tuhan yang Maha Kuasa yang sangat menentukan meskipun manusia boleh merencanakan segala sesuatu sekehendak hatinya.
(zik)