Debat Cawapres Perdana: Gibran Kombinasikan Gaya Jokowi dan Prabowo
loading...
A
A
A
Yasmin Muntaz
Praktisi Media
DALAM Debat Calon Wakil Presiden (Cawapres) Jumat 22 Desember 2023, Gibran Rakabuming Raka tampil di luar dugaan dan menjungkirbalikkan prediksi yang memperkirakan ia bakal kewalahan menghadapi Muhaimin Iskandar dan Mahfud MD . Harus diakui saat opening statement, delivery Gibran mengesankan, terlepas dari adanya anggapan miring bahwa apa yang disampaikannya sekadar hafalan yang belum tentu dipahami.
Secara presentasi (informasi, substansi, speed dan akurasi bicara, serta pemanfaatan dan disiplin waktu), Gibran unggul di sesi pertama. Ucapan Selamat Hari Ibu menjadi penutup yang pas. Dalam visi misi, Gibran juga menyebut percepatan, selain keberlanjutan dan penyempurnaan sebagai narasi besarnya. Padahal ‘percepatan’ saat ini adalah ‘positioning’ pasangan cakin nomor urut 3 (sesuai tagline: Sat Set).
Dari sisi ketepatan waktu, Muhaimin dan Mahfud sama-sama over durasi. Sesuatu yang sebenarnya bisa dicegah dalam opening statement. Mahfud mengawali penyampaian visi misi dengan ajakan untuk bersujud kepada ibu (dalam rangka Hari Ibu). Karena tempo bicaranya agak lambat di awal, prolog itu memakan waktu hampir 30 detik. Akibatnya, di akhir visi misinya, sekitar 5 kata melewati durasi. Sesuai kapasitasnya sebagai ahli hukum, Mahfud mengaitkan masalah ekonomi dengan permasalahan hukum, yakni korupsi yang disebutnya sebagai salah satu penghambat pertumbuhan ekonomi (padahal bisa mencapai 7%, seperti yang ditargetkan Ganjar – Mahfud). Ketika menyebut pemerataan dan pasal dalam Undang-Undang Dasar (UUD), Mahfud salah ucap dengan menyebut pasal 3. Saya yakin yang dimaksud adalah pasal 33 UUD. Yang menarik, ketika mengajak untuk melawan korupsi, Mahfud meminjam bahasa gaul anak muda yang viral di TikTok : “Mundur (kau) Wiirr..! Hendak korupsi Saya tabrak!”
Muhaimin menggunakan waktu hingga 1 menit lebih di awal, untuk prolog. Ketika waktu tersisa sekitar 2 menit 43 detik, ia baru masuk ke inti. Jika prolog tersebut dimaksudkan untuk mengkritik Presiden Joko Widodo (Jokowi) sebagai pimpinan tertinggi Pemerintah, maka pesannya tidak sampai. Muhaimin menyebutkan: ‘slepet’ itu disrupsi (inovasi atau cara baru untuk menggantikan cara lama) dan disrupsi adalah awal dari perubahan. Muhaimin menyebut kata slepet sebanyak 6 kali dalam 2 menit, termasuk ketika ia menyoroti kesenjangan antara si kaya dan si miskin, harga-harga yang mahal dan juga masih tingginya angka pengangguran dan pekerja di sektor informal. Sayangnya, Muhaimin tidak dapat menuntaskan visi misinya karena amat kehabisan waktu. Akibat over durasi dan beberapa kali slip of tongue, presentasi Muhaimin terasa kedodoran. Padahal ‘menunya bergizi’ dan cukup bervariasi.
Sesi dua dan tiga adalah pertanyaan panelis. Ketika menjawab pertanyaan panelis soal investasi maupun merespons tanggapan kandidat lain, Muhaimin lagi-lagi kehabisan waktu. Perlu menjadi perhatian ke depannya, agar selalu bicara dengan lugas dan to the point untuk menghincari over durasi serta tidak terburu-buru dalam pengucapan untuk menghindari slip of tongue. Sedangkan Mahfud MD beberapa kali juga (nyaris) kehabisan waktu, namun tertutup oleh kata: "selesai" di akhir ia bicara. Sebuah taktik yang jitu.
Soal Ibu Kota Negara (IKN) muncul ketika Gibran menjawab pertanyaan tentang Keuangan, Pajak, dan Tata Kelola APBN. Muhaimin kena sentil ketika inkonsistensinya soal IKN dipertanyakan Gibran. Saat Gibran ditanya soal investor IKN, mulai tampak kesan meremehkan lawan bicara. Ia meminta Mahfud MD yang seorang Profesor untuk googling mengenai investor di IKN. Mungkin yang dimaksud Mahfud adalah investor asing, tapi tidak ada peluang baginya untuk mengoreksi pertanyaan. Mestinya Gibran bisa mengatakan: jika yang dimaksud adalah investor asing, maka tanggapan saya begini. Kalau investor lokal sudah ada, dan seterusnya. Lebih elegan dan terlihat menghargai kandidat lain yang usianya terpaut jauh.
Gibran kembali menyentil soal IKN ketika Muhaimin menjawab pertanyaan tentang Perkotaan. Muhaimin mengatakan akan membangun 40 kota baru yang selevel Jakarta. Lagi-lagi ia diserang Gibran, yang menurut saya tidak patut karena Gibran menjuluki Muhaimin 'aneh'. Memberi julukan negatif adalah bullying. Tidak patut dilontarkan, apalagi disampaikan dalam forum resmi dan di level Debat Pilpres pula. Gibran memang banyak dibully dan dijuluki dengan beragam panggilan negatif di medsos. Tapi bukan berarti, ia bisa menyebut Cawapres lain 'aneh'. Komisi Pemilihan Umum (KPU) rasanya perlu memberi teguran atas ucapan GIibran tersebut.
Muhaimin mungkin saja kurang lugas, tapi dari jawabannya bisa ditafsirkan bahwa: dari kota yang sudah ada, akan dibuat setara Jakarta. Bukan membangun kota dari nol seperti IKN. Alangkah baiknya jika Gibran mempertegas dengan bertanya yang santun namun kritis, ketimbang menyebut Muhaimin aneh. Kalau membangun baru kenapa tidak setuju IKN? Atau: apakah yang dimaksud adalah kota yang sudah ada, lalu ingin disetarakan dengan Jakarta? Apakah itu mungkin? Pertanyaan semacam itu justru keluar dari Mahfud MD. Saat merespons, Muhaimin sebenarnya bisa sambil mempertegas maksudnya soal membangun 40 kota setara Jakarta tersebut (bahwa bukan kota baru, melainkan meng-upgrade kota existing). Tapi hal itu tidak dilakukan atau tidak tertangkap jelas.
Sesi empat dan lima adalah sesi yang paling ditunggu, yakni segmen tanya jawab. Gibran bertanya soal State of the Global Islamic Economy (SGIE) ke Muhaimin dan soal regulasi Carbon Capture and Storage (CCS) ke Mahfud, yang belakangan diprotes karena dianggap keluar dari tema. Saya tidak akan banyak membahas pronounciation SGIE yang disebutkan dalam bahasa Indonesia, padahal itu adalah singkatan dalam bahasa Inggris. Tapi, caranya bertanya pun tidak tepat. Gibran bertanya : “Bagaimana langkah Gus Muhaimin untuk menaikkan peringkat Indonesia di SGIE?” Penggunaan kata ‘di’ tidak pas karena mengacu pada pertanyaan soal tempat/event dan sejenisnya. Padahal SGIE adalah laporan. Jadi pertanyaan yang tepat adalah menggunakan kata: ‘dalam’ (Bagaimana menaikkan peringkat Indonesia dalam SGIE?). Entah apakah itu disengaja atau memang Gibran tidak paham.
Muhaimin dengan jujur mengakui tidak tahu SGIE. Padahal ketika menjawab, ia bisa saja mengkritik Gibran karena pertanyaannya tidak jelas. Sedangkan Mahfud MD bisa keluar dari jebakan CCS, bahkan ia bisa ‘memukul balik’ dengan mengatakan: "Anda pasti tidak tahu kalau saya tanya..." Mahfud juga mencecar Gibran ketika bertanya soal rasio pajak. Dari pertanyaan CCS dan Tax Ratio tersebut, terjadi dinamika debat antara Gibran dan Mahfud MD. Di pertanyaan rasio pajak, Gibran menganalogikan wajib pajak sebagai binatang, sebuah perumpamaan yang kurang etis, kendati istilah tersebut sudah lazim di dunia perpajakan.
Ketika ditanya Muhaimin tips and trick supaya daerah lain bisa mendapat banyak proyek besar seperti di Solo, Gibran menuding pertanyaan tersebut tendensius. Jawaban Gibran soal readyness criteria sebenarnya bagus. Namun menjadi minus karena sikapnya defensif terhadap pertanyaan. Kalaupun Gibran ditanya to the point: apakah ia mendapatkan berbagai proyek besar karena anak Presiden? Seharusnya bisa dijawab dengan santai tanpa menuding tendensius. Toh menurut Gibran, ia mendapatkannya secara fair. Seperti Putusan Mahkamah Konstitusi (MK), seharusnya pertanyaan semacam ini sudah diantisipasi karena wajar saja untuk ditanyakan tanpa perlu merasa diserang.
Apakah pertanyaan yang menjebak perlu dilarang? Karena walau dibungkus dengan pertanyaan lain, Gibran sesungguhnya sedang menguji pengetahuan soal singkatan atau istilah, ketimbang ingin menggali wawasan seseorang. Patut diduga, targetnya adalah agar kompetitor mengaku tidak tahu atau tidak bisa menjawab. Mengutip pakar komunikasi politik Effendi Gazali: “Menurut komunitas Komunikolog Indonesia, pertanyaan yang diajukan oleh Gibran tentang SGIE, dalam ilmu debat dianggap sebagai pertanyaan yang mengandung niat kurang baik”. Khusus di pertanyaan SGIE, Gibran memang mendapatkan banyak sentimen negatif. Drone Emprit menyebutkan, dari 35.500 mention soal SGIE di platform X, 71% merupakan sentimen negatif untuk Gibran, 24% positif, dan sisanya netral. Jadi kalau target debat adalah untuk meraih suara undecided voters, pertanyaan semacam itu justru bisa menjadi bumerang.
Membuat pertanyaan yang bermutu memang tidak mudah. Pertanyaan jebakan, sesungguhnya adalah pertanyaan yang mudah dibuat dan kurang bermutu, tapi dikesankan sebagai pertanyaan yang sulit karena ada yang disembunyikan. Pertanyaan semacam itu bukanlah level pertanyaan untuk Debat Pilpres. Tentunya kita berharap, pertanyaan jebakan (yang mengurangi mutu debat dan diduga bertujuan untuk mempermalukan lawan), tidak ada lagi dalam Debat Capres/Cawapres mendatang.
Saya yakin, kalau Muhaimin dan Mahfud mau, mereka pun bisa mengeluarkan pertanyaan jebakan. Tapi rasanya tidak akan dilakukan karena marwah Debat Pilpres perlu dijaga. Ke depan, moderator perlu diberi kewenangan lebih supaya bisa meminta penanya agar menjelaskan singkatannya atau memperjelas pertanyaannya (apabila tidak jelas). Apalagi ketika waktu si penanya masih banyak tersisa (sehingga mestinya tidak sampai merugikan waktu kandidat yang ditanya). Mungkin diperlukan juga moderator yang berlatar belakang pakar sesuai tema debat, sehingga bisa langsung menganulir pertanyaan jika dianggap melenceng.
Dalam closing statement, Gibran menyampaikannya tanpa membaca. Namun setengah waktunya dipergunakan untuk mengucapkan terima kasih dan menyalami Prabowo Subianto serta kedua kandidat lainnya. Gibran terkesan ingin menyampaikan 2 hal : Pertama, mengirimkan pesan bahwa ia tidak kalah dengan Ketua Umum Partai dan Profesor (yang disampaikannya lewat pujian). Kedua, Gibran berusaha menghapus kesan arogan yang timbul dalam debat dan kesan memposisikan diri lebih pintar dari kandidat lain (kesan meremehkan terasa dominan ketika Gibran bicara, antara lain ketika mengatakan kandidat lain kurang paham). Sikap ofensif saat menanggapi maupun ketika menjawab pertanyaan, juga menimbulkan kesan adanya semangat untuk menjatuhkan lawan. Untuk mengubah image negatif, Gibran perlu low profile dan bersikap santun, serta menunjukkan kedewasaan dengan tidak memprovokasi penonton setiap debat.
Muhaimin Iskandar dan Mahfud MD yang merupakan politisi senior justru bersikap santun dan low profile baik dalam bertanya, menjawab, maupun menanggapi. Sehingga ketika closing statement, mereka memanfaatkan durasi secara maksimal (tanpa merasa perlu mengalokasikan waktu untuk membangun pencitraan tertentu). Karena ini bukan kontes hafalan, jadi sah-sah saja kalau keduanya membaca. Toh memang diizinkan oleh KPU. Muhaimin menyebut slepetnomics untuk memberantas ketidakadilan dan pemerataan ekonomi. Ia 3 kali menyebut: pembangunan dilaksanakan pakai hati pakai otak. Mahfud MD tuntas membacakan 21 program unggulan Ganjar-Mahfud.
Dalam Debat Cawapres kali ini, Muhaimin Iskandar dan Mahfud MD terlihat agak menahan diri. Keduanya terkesan sungkan pada anak Presiden (atau mungkin kaget, karena Gibran agresif menyerang sejak awal sesi kedua). Muhaimin kehilangan 'slepetnya' alias sentilan yang disampaikan dengan jenaka seperti pidatonya saat pengundian nomor urut di KPU (yang mestinya bisa dikeluarkan sesekali). Kelugasan Mahfud MD pun belum sepenuhnya tampak.
Orang banyak menyamakan gaya Gibran dengan Jokowi. Menurut saya, persamaan Gibran dengan Prabowo, juga tak kalah banyak. Persamaan dengan Jokowi adalah ketika Gibran melontarkan pertanyaan jebakan ala cerdas cermat (seperti TPID di Pilpres 2014 dan Unicorn di Pilpres 2019) serta dari intonasi dan gaya bicaranya. Ketika mendengar intonasi suaranya, Saya bertanya-tanya, apakah memang seperti itu gaya bicara Gibran di forum resmi, atau apakah ia sedang impersonate ayahnya? Sedangkan persamaan Gibran dengan Prabowo adalah: sikap terhadap lawan debat, dan seolah fokus ke orang tertentu. Prabowo terkesan lebih fokus menyerang Anies Baswedan dan bersikap underestimate lewat intonasi sapaan: Mas Anies..Mas Anies.. Gibran pun terkesan lebih fokus ke Muhaimin, bahkan menjuluki ‘aneh’ (yang masuk kategori bullying dan meremehkan). Keduanya juga membawa ke personal, seperti ketika Gibran mempertanyakan inkonsistensi soal IKN ke Muhaimin, dan Prabowo ke Anies soal oposisi. Gibran dan Prabowo juga sama-sama menuding pertanyaan kandidat lain tendensius. Gibran ke Muhaimin soal proyek di Solo, sedangkan Prabowo ke Ganjar ketika ditanya soal Pengadilan HAM. Di luar itu, kesan kurang menghargai lawan debat juga ditunjukkan Gibran ke Mahfud, dengan mengatakan : “jangan mengambang ke mana-mana” ketika Mahfud menjawab pertanyaan soal CCS. Bandingkan dengan kesantunan Ganjar Pranowo ketika Prabowo dianggap belum menjawab pertanyaan soal pelanggaran HAM berat.
Kalau saya termasuk undecided voters yang hampir 29% itu, maka Gibran akan kehilangan suara akibat kesan arogan anak Presiden yang ditampilkannya dan sikap underestimate terhadap kandidat lain. Menunjukkan kesetaraan dengan kandidat lain yang lebih berpengalaman, bukanlah dengan berusaha ‘menerkam’ alias menjatuhkan. Dari analisis Drone Emprit di platform X, dalam debat kali ini: Gibran mendapat sentimen positif tertinggi yakni 70% dan sentimen negatif 23% (di bawah Muhaimin yang mendapat sentimen negatif tertinggi : 41%). Mahfud MD mendapat sentiment positif 69%, dengan sentimen negatif terendah yakni 16%. Sedangkan Muhaimin mendapat sentimen positif terendah, yakni 48%.
Harus diakui dalam Debat Cawapres kali ini, Gibran telah mengerjakan Pekerjaan Rumah (PR)-nya dengan baik dan tampil percaya diri. Gibran unggul dari sisi show, karena sebelumnya ia dipandang sebelah mata. Sehingga ada unsur kejutannya. Apakah skornya tinggi? Belum tentu. Sikapnya yang terkesan ingin menjatuhkan lawan itulah yang mengurangi skor. Juga karena pertanyaannya bersifat menjebak. Gibran punya kesempatan bertanya satu kali ke masing-masing kandidat, tapi yang disiapkan hanya pertanyaan jebakan. Dari sisi etika dan penerapan aturan main debat, Mahfud MD dan Muhaimin Iskandar lebih unggul. Hanya saja, mereka berdua belum dalam penampilan terbaiknya. Dari aspek show (pertunjukan), jika debat ini diibaratkan pertandingan sepak bola, Gibran bermain tidak cantik dan kalah dalam ball possession. Tapi ia unggul skor mencetak gol, lewat serangan balik akibat kelengahan lawan.
Praktisi Media
DALAM Debat Calon Wakil Presiden (Cawapres) Jumat 22 Desember 2023, Gibran Rakabuming Raka tampil di luar dugaan dan menjungkirbalikkan prediksi yang memperkirakan ia bakal kewalahan menghadapi Muhaimin Iskandar dan Mahfud MD . Harus diakui saat opening statement, delivery Gibran mengesankan, terlepas dari adanya anggapan miring bahwa apa yang disampaikannya sekadar hafalan yang belum tentu dipahami.
Secara presentasi (informasi, substansi, speed dan akurasi bicara, serta pemanfaatan dan disiplin waktu), Gibran unggul di sesi pertama. Ucapan Selamat Hari Ibu menjadi penutup yang pas. Dalam visi misi, Gibran juga menyebut percepatan, selain keberlanjutan dan penyempurnaan sebagai narasi besarnya. Padahal ‘percepatan’ saat ini adalah ‘positioning’ pasangan cakin nomor urut 3 (sesuai tagline: Sat Set).
Dari sisi ketepatan waktu, Muhaimin dan Mahfud sama-sama over durasi. Sesuatu yang sebenarnya bisa dicegah dalam opening statement. Mahfud mengawali penyampaian visi misi dengan ajakan untuk bersujud kepada ibu (dalam rangka Hari Ibu). Karena tempo bicaranya agak lambat di awal, prolog itu memakan waktu hampir 30 detik. Akibatnya, di akhir visi misinya, sekitar 5 kata melewati durasi. Sesuai kapasitasnya sebagai ahli hukum, Mahfud mengaitkan masalah ekonomi dengan permasalahan hukum, yakni korupsi yang disebutnya sebagai salah satu penghambat pertumbuhan ekonomi (padahal bisa mencapai 7%, seperti yang ditargetkan Ganjar – Mahfud). Ketika menyebut pemerataan dan pasal dalam Undang-Undang Dasar (UUD), Mahfud salah ucap dengan menyebut pasal 3. Saya yakin yang dimaksud adalah pasal 33 UUD. Yang menarik, ketika mengajak untuk melawan korupsi, Mahfud meminjam bahasa gaul anak muda yang viral di TikTok : “Mundur (kau) Wiirr..! Hendak korupsi Saya tabrak!”
Muhaimin menggunakan waktu hingga 1 menit lebih di awal, untuk prolog. Ketika waktu tersisa sekitar 2 menit 43 detik, ia baru masuk ke inti. Jika prolog tersebut dimaksudkan untuk mengkritik Presiden Joko Widodo (Jokowi) sebagai pimpinan tertinggi Pemerintah, maka pesannya tidak sampai. Muhaimin menyebutkan: ‘slepet’ itu disrupsi (inovasi atau cara baru untuk menggantikan cara lama) dan disrupsi adalah awal dari perubahan. Muhaimin menyebut kata slepet sebanyak 6 kali dalam 2 menit, termasuk ketika ia menyoroti kesenjangan antara si kaya dan si miskin, harga-harga yang mahal dan juga masih tingginya angka pengangguran dan pekerja di sektor informal. Sayangnya, Muhaimin tidak dapat menuntaskan visi misinya karena amat kehabisan waktu. Akibat over durasi dan beberapa kali slip of tongue, presentasi Muhaimin terasa kedodoran. Padahal ‘menunya bergizi’ dan cukup bervariasi.
Sesi dua dan tiga adalah pertanyaan panelis. Ketika menjawab pertanyaan panelis soal investasi maupun merespons tanggapan kandidat lain, Muhaimin lagi-lagi kehabisan waktu. Perlu menjadi perhatian ke depannya, agar selalu bicara dengan lugas dan to the point untuk menghincari over durasi serta tidak terburu-buru dalam pengucapan untuk menghindari slip of tongue. Sedangkan Mahfud MD beberapa kali juga (nyaris) kehabisan waktu, namun tertutup oleh kata: "selesai" di akhir ia bicara. Sebuah taktik yang jitu.
Soal Ibu Kota Negara (IKN) muncul ketika Gibran menjawab pertanyaan tentang Keuangan, Pajak, dan Tata Kelola APBN. Muhaimin kena sentil ketika inkonsistensinya soal IKN dipertanyakan Gibran. Saat Gibran ditanya soal investor IKN, mulai tampak kesan meremehkan lawan bicara. Ia meminta Mahfud MD yang seorang Profesor untuk googling mengenai investor di IKN. Mungkin yang dimaksud Mahfud adalah investor asing, tapi tidak ada peluang baginya untuk mengoreksi pertanyaan. Mestinya Gibran bisa mengatakan: jika yang dimaksud adalah investor asing, maka tanggapan saya begini. Kalau investor lokal sudah ada, dan seterusnya. Lebih elegan dan terlihat menghargai kandidat lain yang usianya terpaut jauh.
Gibran kembali menyentil soal IKN ketika Muhaimin menjawab pertanyaan tentang Perkotaan. Muhaimin mengatakan akan membangun 40 kota baru yang selevel Jakarta. Lagi-lagi ia diserang Gibran, yang menurut saya tidak patut karena Gibran menjuluki Muhaimin 'aneh'. Memberi julukan negatif adalah bullying. Tidak patut dilontarkan, apalagi disampaikan dalam forum resmi dan di level Debat Pilpres pula. Gibran memang banyak dibully dan dijuluki dengan beragam panggilan negatif di medsos. Tapi bukan berarti, ia bisa menyebut Cawapres lain 'aneh'. Komisi Pemilihan Umum (KPU) rasanya perlu memberi teguran atas ucapan GIibran tersebut.
Muhaimin mungkin saja kurang lugas, tapi dari jawabannya bisa ditafsirkan bahwa: dari kota yang sudah ada, akan dibuat setara Jakarta. Bukan membangun kota dari nol seperti IKN. Alangkah baiknya jika Gibran mempertegas dengan bertanya yang santun namun kritis, ketimbang menyebut Muhaimin aneh. Kalau membangun baru kenapa tidak setuju IKN? Atau: apakah yang dimaksud adalah kota yang sudah ada, lalu ingin disetarakan dengan Jakarta? Apakah itu mungkin? Pertanyaan semacam itu justru keluar dari Mahfud MD. Saat merespons, Muhaimin sebenarnya bisa sambil mempertegas maksudnya soal membangun 40 kota setara Jakarta tersebut (bahwa bukan kota baru, melainkan meng-upgrade kota existing). Tapi hal itu tidak dilakukan atau tidak tertangkap jelas.
Sesi empat dan lima adalah sesi yang paling ditunggu, yakni segmen tanya jawab. Gibran bertanya soal State of the Global Islamic Economy (SGIE) ke Muhaimin dan soal regulasi Carbon Capture and Storage (CCS) ke Mahfud, yang belakangan diprotes karena dianggap keluar dari tema. Saya tidak akan banyak membahas pronounciation SGIE yang disebutkan dalam bahasa Indonesia, padahal itu adalah singkatan dalam bahasa Inggris. Tapi, caranya bertanya pun tidak tepat. Gibran bertanya : “Bagaimana langkah Gus Muhaimin untuk menaikkan peringkat Indonesia di SGIE?” Penggunaan kata ‘di’ tidak pas karena mengacu pada pertanyaan soal tempat/event dan sejenisnya. Padahal SGIE adalah laporan. Jadi pertanyaan yang tepat adalah menggunakan kata: ‘dalam’ (Bagaimana menaikkan peringkat Indonesia dalam SGIE?). Entah apakah itu disengaja atau memang Gibran tidak paham.
Muhaimin dengan jujur mengakui tidak tahu SGIE. Padahal ketika menjawab, ia bisa saja mengkritik Gibran karena pertanyaannya tidak jelas. Sedangkan Mahfud MD bisa keluar dari jebakan CCS, bahkan ia bisa ‘memukul balik’ dengan mengatakan: "Anda pasti tidak tahu kalau saya tanya..." Mahfud juga mencecar Gibran ketika bertanya soal rasio pajak. Dari pertanyaan CCS dan Tax Ratio tersebut, terjadi dinamika debat antara Gibran dan Mahfud MD. Di pertanyaan rasio pajak, Gibran menganalogikan wajib pajak sebagai binatang, sebuah perumpamaan yang kurang etis, kendati istilah tersebut sudah lazim di dunia perpajakan.
Ketika ditanya Muhaimin tips and trick supaya daerah lain bisa mendapat banyak proyek besar seperti di Solo, Gibran menuding pertanyaan tersebut tendensius. Jawaban Gibran soal readyness criteria sebenarnya bagus. Namun menjadi minus karena sikapnya defensif terhadap pertanyaan. Kalaupun Gibran ditanya to the point: apakah ia mendapatkan berbagai proyek besar karena anak Presiden? Seharusnya bisa dijawab dengan santai tanpa menuding tendensius. Toh menurut Gibran, ia mendapatkannya secara fair. Seperti Putusan Mahkamah Konstitusi (MK), seharusnya pertanyaan semacam ini sudah diantisipasi karena wajar saja untuk ditanyakan tanpa perlu merasa diserang.
Apakah pertanyaan yang menjebak perlu dilarang? Karena walau dibungkus dengan pertanyaan lain, Gibran sesungguhnya sedang menguji pengetahuan soal singkatan atau istilah, ketimbang ingin menggali wawasan seseorang. Patut diduga, targetnya adalah agar kompetitor mengaku tidak tahu atau tidak bisa menjawab. Mengutip pakar komunikasi politik Effendi Gazali: “Menurut komunitas Komunikolog Indonesia, pertanyaan yang diajukan oleh Gibran tentang SGIE, dalam ilmu debat dianggap sebagai pertanyaan yang mengandung niat kurang baik”. Khusus di pertanyaan SGIE, Gibran memang mendapatkan banyak sentimen negatif. Drone Emprit menyebutkan, dari 35.500 mention soal SGIE di platform X, 71% merupakan sentimen negatif untuk Gibran, 24% positif, dan sisanya netral. Jadi kalau target debat adalah untuk meraih suara undecided voters, pertanyaan semacam itu justru bisa menjadi bumerang.
Membuat pertanyaan yang bermutu memang tidak mudah. Pertanyaan jebakan, sesungguhnya adalah pertanyaan yang mudah dibuat dan kurang bermutu, tapi dikesankan sebagai pertanyaan yang sulit karena ada yang disembunyikan. Pertanyaan semacam itu bukanlah level pertanyaan untuk Debat Pilpres. Tentunya kita berharap, pertanyaan jebakan (yang mengurangi mutu debat dan diduga bertujuan untuk mempermalukan lawan), tidak ada lagi dalam Debat Capres/Cawapres mendatang.
Saya yakin, kalau Muhaimin dan Mahfud mau, mereka pun bisa mengeluarkan pertanyaan jebakan. Tapi rasanya tidak akan dilakukan karena marwah Debat Pilpres perlu dijaga. Ke depan, moderator perlu diberi kewenangan lebih supaya bisa meminta penanya agar menjelaskan singkatannya atau memperjelas pertanyaannya (apabila tidak jelas). Apalagi ketika waktu si penanya masih banyak tersisa (sehingga mestinya tidak sampai merugikan waktu kandidat yang ditanya). Mungkin diperlukan juga moderator yang berlatar belakang pakar sesuai tema debat, sehingga bisa langsung menganulir pertanyaan jika dianggap melenceng.
Dalam closing statement, Gibran menyampaikannya tanpa membaca. Namun setengah waktunya dipergunakan untuk mengucapkan terima kasih dan menyalami Prabowo Subianto serta kedua kandidat lainnya. Gibran terkesan ingin menyampaikan 2 hal : Pertama, mengirimkan pesan bahwa ia tidak kalah dengan Ketua Umum Partai dan Profesor (yang disampaikannya lewat pujian). Kedua, Gibran berusaha menghapus kesan arogan yang timbul dalam debat dan kesan memposisikan diri lebih pintar dari kandidat lain (kesan meremehkan terasa dominan ketika Gibran bicara, antara lain ketika mengatakan kandidat lain kurang paham). Sikap ofensif saat menanggapi maupun ketika menjawab pertanyaan, juga menimbulkan kesan adanya semangat untuk menjatuhkan lawan. Untuk mengubah image negatif, Gibran perlu low profile dan bersikap santun, serta menunjukkan kedewasaan dengan tidak memprovokasi penonton setiap debat.
Muhaimin Iskandar dan Mahfud MD yang merupakan politisi senior justru bersikap santun dan low profile baik dalam bertanya, menjawab, maupun menanggapi. Sehingga ketika closing statement, mereka memanfaatkan durasi secara maksimal (tanpa merasa perlu mengalokasikan waktu untuk membangun pencitraan tertentu). Karena ini bukan kontes hafalan, jadi sah-sah saja kalau keduanya membaca. Toh memang diizinkan oleh KPU. Muhaimin menyebut slepetnomics untuk memberantas ketidakadilan dan pemerataan ekonomi. Ia 3 kali menyebut: pembangunan dilaksanakan pakai hati pakai otak. Mahfud MD tuntas membacakan 21 program unggulan Ganjar-Mahfud.
Dalam Debat Cawapres kali ini, Muhaimin Iskandar dan Mahfud MD terlihat agak menahan diri. Keduanya terkesan sungkan pada anak Presiden (atau mungkin kaget, karena Gibran agresif menyerang sejak awal sesi kedua). Muhaimin kehilangan 'slepetnya' alias sentilan yang disampaikan dengan jenaka seperti pidatonya saat pengundian nomor urut di KPU (yang mestinya bisa dikeluarkan sesekali). Kelugasan Mahfud MD pun belum sepenuhnya tampak.
Orang banyak menyamakan gaya Gibran dengan Jokowi. Menurut saya, persamaan Gibran dengan Prabowo, juga tak kalah banyak. Persamaan dengan Jokowi adalah ketika Gibran melontarkan pertanyaan jebakan ala cerdas cermat (seperti TPID di Pilpres 2014 dan Unicorn di Pilpres 2019) serta dari intonasi dan gaya bicaranya. Ketika mendengar intonasi suaranya, Saya bertanya-tanya, apakah memang seperti itu gaya bicara Gibran di forum resmi, atau apakah ia sedang impersonate ayahnya? Sedangkan persamaan Gibran dengan Prabowo adalah: sikap terhadap lawan debat, dan seolah fokus ke orang tertentu. Prabowo terkesan lebih fokus menyerang Anies Baswedan dan bersikap underestimate lewat intonasi sapaan: Mas Anies..Mas Anies.. Gibran pun terkesan lebih fokus ke Muhaimin, bahkan menjuluki ‘aneh’ (yang masuk kategori bullying dan meremehkan). Keduanya juga membawa ke personal, seperti ketika Gibran mempertanyakan inkonsistensi soal IKN ke Muhaimin, dan Prabowo ke Anies soal oposisi. Gibran dan Prabowo juga sama-sama menuding pertanyaan kandidat lain tendensius. Gibran ke Muhaimin soal proyek di Solo, sedangkan Prabowo ke Ganjar ketika ditanya soal Pengadilan HAM. Di luar itu, kesan kurang menghargai lawan debat juga ditunjukkan Gibran ke Mahfud, dengan mengatakan : “jangan mengambang ke mana-mana” ketika Mahfud menjawab pertanyaan soal CCS. Bandingkan dengan kesantunan Ganjar Pranowo ketika Prabowo dianggap belum menjawab pertanyaan soal pelanggaran HAM berat.
Kalau saya termasuk undecided voters yang hampir 29% itu, maka Gibran akan kehilangan suara akibat kesan arogan anak Presiden yang ditampilkannya dan sikap underestimate terhadap kandidat lain. Menunjukkan kesetaraan dengan kandidat lain yang lebih berpengalaman, bukanlah dengan berusaha ‘menerkam’ alias menjatuhkan. Dari analisis Drone Emprit di platform X, dalam debat kali ini: Gibran mendapat sentimen positif tertinggi yakni 70% dan sentimen negatif 23% (di bawah Muhaimin yang mendapat sentimen negatif tertinggi : 41%). Mahfud MD mendapat sentiment positif 69%, dengan sentimen negatif terendah yakni 16%. Sedangkan Muhaimin mendapat sentimen positif terendah, yakni 48%.
Harus diakui dalam Debat Cawapres kali ini, Gibran telah mengerjakan Pekerjaan Rumah (PR)-nya dengan baik dan tampil percaya diri. Gibran unggul dari sisi show, karena sebelumnya ia dipandang sebelah mata. Sehingga ada unsur kejutannya. Apakah skornya tinggi? Belum tentu. Sikapnya yang terkesan ingin menjatuhkan lawan itulah yang mengurangi skor. Juga karena pertanyaannya bersifat menjebak. Gibran punya kesempatan bertanya satu kali ke masing-masing kandidat, tapi yang disiapkan hanya pertanyaan jebakan. Dari sisi etika dan penerapan aturan main debat, Mahfud MD dan Muhaimin Iskandar lebih unggul. Hanya saja, mereka berdua belum dalam penampilan terbaiknya. Dari aspek show (pertunjukan), jika debat ini diibaratkan pertandingan sepak bola, Gibran bermain tidak cantik dan kalah dalam ball possession. Tapi ia unggul skor mencetak gol, lewat serangan balik akibat kelengahan lawan.
(zik)