SGIE, Spirit Akselerasi Indonesia sebagai Kiblat Ekonomi Islam Dunia?
loading...
A
A
A
Prof DrMuhammad Said
Kelompok Ahli BNPT, Alumni PPSA 23/21 Lemhannas, dan Dewan Pakar Forum Alumni GMNI
DALAM debat calon wakil presiden (cawapres), Jumat, 22 Desember 2023 lalu, salah satu calon menggunakan kata SGIE, kepanjangan dari State of Global Islamic Economics, sebagai pertanyaan untuk lawan politiknya. Terlepas dari penilaian mayarakat terhadap penggunaan istilah SGIE, hal positif diharapkan adanya political will menjadikan potensi ekonomi Islam lebih baik sebagai instrumen pertumbuhan dan pemerataan ekonomi nasional serta ketahanan ekonomi nasional.
Secara global, berdasarkan laporan SGIE yang di-release DinarStandard di Dubai, Uni Emirate Arab pada 31 Maret 2022, ekonomi Islam di Indonesia bertahan pada posisi keempat setelah Malaysia, Arab Saudi, dan Uni Emirate dari 81 negara. SGIE memprediksi tahun 2021 konsumen Muslim belanja makanan, obat-obatan, kosmetik, mode sederhana, perjalanan, dan media senilai USD2 triliun. Pengeluaran ini mencerminkan pertumbuhan 8,9% tahun ke tahun bahkan diprediksi akan mencapai USD2,8 triliun pada 2025 dengan tingkat pertumbuhan tahunan kumulatif (CAGR) sebesar 7,5%.
SGIE juga memperkirakan aset keuangan syariah telah mencapai USD3,6 triliun pada 2022, dan diperkirakan mencapai USD4,9 triliun pada 2025 (State of the Global Islamic Economy Report 2022, dinarstandard.com). Data tersebut menginformasikan bahwa potensi ekonomi dan keuangan syariah Indonesia hari ini mampu berada di urutan keempat tingkat global. Idealnya, Indonesia sebagai negara dengan mayoritas masyarakatnya Muslim berada pada posisi pertama.
Pada sisi lain, Data menvisualkan bahwa akseptibilitas industri ekonomi dan keuangan global terhadap sistem ekonomi Islam baik. Penerimaan ini tidak lepas dari kontribusi besar yang diraup pelakunya dan meneguhkan ekonomi Islam bersifat all inclusive, cocok untuk semua lapisan masyarakat yang berbeda agama, bahasa dan bangsa karena dapat memenuhi dualitas kebutuhan manusia, jasmani dan rohani.
Re-integrasi ini penting untuk mengembalikan marwah dualitas manusia yang hilang sejak terjadinya gerakan renaisance di Eropa pada Abad ke-17, yang menempatkan agama sebagai domain kebutuhan personal, tidak bisa dipakai sebagai standar moral dalam pembangunan publik. Akibatnya, manusia dalam derap pembangunan kehilangan orientasi nilai sehingga menjadi mahluk deterministik dan mekanistik serta mengalami split personality.
Ekonomi Islam menyuplai krisis nilai spiritual dalam pembangunan ekonomi modern melalui tata tata kelola perilaku produksi, distribusi, dan konsumsi yang berdasar etika dan moralitas agama. Daya tarik ini menjadi kekuatan unik sistem ekonomi Islam sehingga para pemimpin negara, pengusaha akademisi, peneliti dan stakeholders luas menerima dan mengembangkannya.
Pemerintah Indonesia telah membuat loncatan-loncatan strategis dalam mengembangkan sistem ekonomi ini dan bertekad menjadikan Indonesia sebagai kiblat ekonomi syariah dunia walaupun pengembangannya masih diperhadapkan pada tantangannya rumit. Strategi konvesri sejumlah bank daerah menjadi bank syariah, dan merger beberapa bank pemerintah menjadi Bank Syariah Indonesia (BSI) telah dilakukan, namun belum mampu menggeser omzet bank syariah melebihi angka 10%.
Pada sisi lain, idealnya mayoritas Muslim di Indonesia belum memberikan kontribusi yang maksimal untuk pengembangan sistem ekonomi Islam. Secara kelembagaan bank syariah di tanah air ibaratkan sebagai bus yang banyak namun sepi penumpang. Kondisi ini tidak by design melainkan sejumlah faktor mengahalngnya. Sejumlah faktor di antaranya public trust, potensi sumber daya manusia, ketrampilan digital lemah, legal stading ekonomi Islam yang out of date di tengarai sebagai faktor pengmbat.
Kondisi faktual ini mengharuskan adanya transformasi tata kelola birokrasi lembaga keuangan syariah di tengah desruspi teknologi digital yang terjadi secara massif. Teknologi digital menjadi pintu transformasi bisnis syariah lebih baik, menjadi instrummen penguatan ekonomi nasional, dan menjadikan Indonesia sebagai mercusuar kiblat ekonomi syariah dunia.
Kelompok Ahli BNPT, Alumni PPSA 23/21 Lemhannas, dan Dewan Pakar Forum Alumni GMNI
DALAM debat calon wakil presiden (cawapres), Jumat, 22 Desember 2023 lalu, salah satu calon menggunakan kata SGIE, kepanjangan dari State of Global Islamic Economics, sebagai pertanyaan untuk lawan politiknya. Terlepas dari penilaian mayarakat terhadap penggunaan istilah SGIE, hal positif diharapkan adanya political will menjadikan potensi ekonomi Islam lebih baik sebagai instrumen pertumbuhan dan pemerataan ekonomi nasional serta ketahanan ekonomi nasional.
Secara global, berdasarkan laporan SGIE yang di-release DinarStandard di Dubai, Uni Emirate Arab pada 31 Maret 2022, ekonomi Islam di Indonesia bertahan pada posisi keempat setelah Malaysia, Arab Saudi, dan Uni Emirate dari 81 negara. SGIE memprediksi tahun 2021 konsumen Muslim belanja makanan, obat-obatan, kosmetik, mode sederhana, perjalanan, dan media senilai USD2 triliun. Pengeluaran ini mencerminkan pertumbuhan 8,9% tahun ke tahun bahkan diprediksi akan mencapai USD2,8 triliun pada 2025 dengan tingkat pertumbuhan tahunan kumulatif (CAGR) sebesar 7,5%.
SGIE juga memperkirakan aset keuangan syariah telah mencapai USD3,6 triliun pada 2022, dan diperkirakan mencapai USD4,9 triliun pada 2025 (State of the Global Islamic Economy Report 2022, dinarstandard.com). Data tersebut menginformasikan bahwa potensi ekonomi dan keuangan syariah Indonesia hari ini mampu berada di urutan keempat tingkat global. Idealnya, Indonesia sebagai negara dengan mayoritas masyarakatnya Muslim berada pada posisi pertama.
Pada sisi lain, Data menvisualkan bahwa akseptibilitas industri ekonomi dan keuangan global terhadap sistem ekonomi Islam baik. Penerimaan ini tidak lepas dari kontribusi besar yang diraup pelakunya dan meneguhkan ekonomi Islam bersifat all inclusive, cocok untuk semua lapisan masyarakat yang berbeda agama, bahasa dan bangsa karena dapat memenuhi dualitas kebutuhan manusia, jasmani dan rohani.
Re-integrasi ini penting untuk mengembalikan marwah dualitas manusia yang hilang sejak terjadinya gerakan renaisance di Eropa pada Abad ke-17, yang menempatkan agama sebagai domain kebutuhan personal, tidak bisa dipakai sebagai standar moral dalam pembangunan publik. Akibatnya, manusia dalam derap pembangunan kehilangan orientasi nilai sehingga menjadi mahluk deterministik dan mekanistik serta mengalami split personality.
Ekonomi Islam menyuplai krisis nilai spiritual dalam pembangunan ekonomi modern melalui tata tata kelola perilaku produksi, distribusi, dan konsumsi yang berdasar etika dan moralitas agama. Daya tarik ini menjadi kekuatan unik sistem ekonomi Islam sehingga para pemimpin negara, pengusaha akademisi, peneliti dan stakeholders luas menerima dan mengembangkannya.
Pemerintah Indonesia telah membuat loncatan-loncatan strategis dalam mengembangkan sistem ekonomi ini dan bertekad menjadikan Indonesia sebagai kiblat ekonomi syariah dunia walaupun pengembangannya masih diperhadapkan pada tantangannya rumit. Strategi konvesri sejumlah bank daerah menjadi bank syariah, dan merger beberapa bank pemerintah menjadi Bank Syariah Indonesia (BSI) telah dilakukan, namun belum mampu menggeser omzet bank syariah melebihi angka 10%.
Pada sisi lain, idealnya mayoritas Muslim di Indonesia belum memberikan kontribusi yang maksimal untuk pengembangan sistem ekonomi Islam. Secara kelembagaan bank syariah di tanah air ibaratkan sebagai bus yang banyak namun sepi penumpang. Kondisi ini tidak by design melainkan sejumlah faktor mengahalngnya. Sejumlah faktor di antaranya public trust, potensi sumber daya manusia, ketrampilan digital lemah, legal stading ekonomi Islam yang out of date di tengarai sebagai faktor pengmbat.
Kondisi faktual ini mengharuskan adanya transformasi tata kelola birokrasi lembaga keuangan syariah di tengah desruspi teknologi digital yang terjadi secara massif. Teknologi digital menjadi pintu transformasi bisnis syariah lebih baik, menjadi instrummen penguatan ekonomi nasional, dan menjadikan Indonesia sebagai mercusuar kiblat ekonomi syariah dunia.